Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Chapter 8 : Dinner

Lorna menaiki tangga mansion pelan-pelan, gedung itu tampak tinggi dan berbeda. Semuanya seakan berubah cepat, dulu tempat itu adalah rumah singgahnya untuk mendapatkan rasa aman tapi sekarang tempat yang paling sulit untuk ia datangi.

Huhhhh~ Lorena menarik napas kembali, menguatkan dirinya untuk bertemu dengan sosok yang cukup ia hindari. Senyuman tipis terbentuk mencoba membuktikan bahwa saat ini ia baik-baik saja.

"Hello Sweety," sapa seorang wanita yang memandang angkuh ke arah Lorna. Gadis itu mendelik, mengabaikan sapaan tersebut begitu santai.

"Aku harap kau baik-baik saja di luar sana, rumah ini terasa nyaman,"sindir Sandra Jeane Dulce— ibu tiri Lorna— dengan nada sinis, sejenak pandangan mereka menegang seakan ada sengatan listrik di antaranya.

"Lorna, kau sudah sampai?"sebuah suara hadir sayup namun berhasil membuat keduanya segera menoleh. Lorna bisa melihat jelas ayahnya itu masih begitu gagah dan tampan. Kebanggaan yang selalu di kait-kaitkan dengan actor sukses Luke Evans.

"Daddy,"sapa Lorna santai tanpa melemparkan senyuman seperti biasa. Gadis itu mengedarkan pandangan ke tiap mansion yang sekarang hanya terpajang potret keluarga baru dari seorang Ferdinand Dulce bersama aktivis wanita yang munafik serta anak tirinya Jace.

"Kau bisa lihat-lihat dulu, aku yakin kau merindukan rumah ini,"tegur Sandra seakan ingin pamer pada gadis itu. Lorna tersenyum tipis sambil melirik ke arah wanita tersebut.

"Rumah ini tidak cocok dengan ku, aku rasa debunya sangat menumpuk. Kau tahu aku alergi!"wajah Lorna menegas, bahasa sarkasnya begitu ketara dan sekarang Sandra menelan saliva mencoba mencari kalimat untuk membalas anak tiri nya tersebut.

"Aku rasa kita bisa bicara di meja makan, mungkin itu lebih baik,"tawar Ferdinand sambil mengedarkan pandangannya ke arah Lorna dan istri barunya itu.

"Ya, tentu saja. Aku harap makanan yang aku sediakan cocok untuk mu Lorna. Tanganku sampai terluka demi menyiapkan semuanya,"Sandra kembali menyindir seakan ia begitu perhatian terhadap gadis itu. Ia memutar tubuhnya dan melangkah ke ruang makan.

"Jam berapa tamu mu datang?"tanya Sandra sambil melirik ke arah Ferinand yang kini duduk tepat di sebelah Lorna.

"Tamu?"tanya Lorna sambil melirik sekilas.

"Yah— kau juga akan tahu nanti, di mana Jace?"Ferdinand tidak ingin banyak bicara, ia mencoba memahami putrinya itu diam-diam dengan caranya.

"Dia sedikit terlambat, pekerjaannya sedang menumpuk akhir-akhir ini,"Sandra menjawab cepat lalu melihat beberapa pelayan menuangkan minuman ke tiap gelas yang ada di meja makan.

"Hey Mom, dad..."Jace tiba-tiba muncul, mata pria itu liar mengelilingi gadis spesial yang kini berada tidak jauh darinya.

"Jace, kau bilang akan terlambat?"tanya Sandra sambil meraih pria itu dan memeluknya sedikit erat.

"Aku tidak ingin melewatkan makan malam ini,"Jace kembali melirik ke arah Lorna dan gadis itu cepat-cepat memalingkan wajah ke arah lain.

"Daddy, apa kita bicara sebentar?"Lorna memiringkan kepalanya mencoba mengabaikan apapun kegiatan yang sedang di lakukan orang-orang yang ada di sekitarnya, terutama Jace dan ibu tiri nya itu.

"Hm— tentu saja. Kau bisa katakan apapun,"

"Hanya berdua. Please!"pinta Lorna tanpa mengalihkan pandangannya sedetikpun dari Ferdinand. Pria itu diam sejenak lalu menganggukkan kepala sambil berdiri untuk memenuhi permintaan putri tunggalnya itu.

"Selamat malam Mr. Dulce."sapa seseorang membuat seluruh mata langsung tertuju pada seorang sosok tampak mencolok bersama beberapa bodyguardnya.

"Alexander,"balas Ferdinan sedikit kaku dan melangkah mendekati tamu istimewanya itu. Melihat itu Lorna sedikit malas, ia memutar bola mata dan sedikit terkejut dengan kunjungan Alexander.

"Sepertinya aku terlambat,"Alex melirik ke arah Lorna, gadis itu seperti pemanis saat duduk di meja makan bersama Jace yang hanya lekat memperhatikan sosok impiannya.

"Tentu saja tidak, kau datang tepat waktu,"Sandra ikut menyapa dan Alex senang mendengar hal tersebut.

"Kita bicara di meja makan,"ucap Ferdinand singkat, para bodyguard tampak mundur untuk mengawasi saat Alexander melangkah ke meja makan dan memilih tempat duduknya di sisi kanan Lorna sedikit jauh, gadis itu perlu memalingkan kepala untuk mencuri pandang ke arah pria arogant tersebut.

"Hallo Alexander, kau tidak membawa penyicip makananmu?"tegur Lorna sedikit santai dan berani seperti biasa.

"Aku rasa, akan aman makan di sini,"

"Owh! Jadi kau pikir Dulce Family's akan menyerang mu dengan senjata tajam hingga kau memilih membawa bodyguard sebanyak itu?"Lorna mengedarkan pandangan, Jace langsung menutup mulutnya menahan tawa terhadap mulut pedas Lorna.

"Aku harap makanan ini tidak di racuni,"balas Alexander terdengar kaku dan kehabisan kata-kata karena Lorna.

"Tentu saja tidak, maafkan putri ku. Dia hanya bercanda,"Ferdinand melirik Lorna yang sedang beradu tatapan bersama Alexander. Di benak mereka seakan berada di medan perang sambil membawa senjatanya masing-masing sekarang, saling menusuk, memukul hingga menendang sampai puas.

"Tenang saja Mr.Dulce, aku sangat paham sampai ke dalam-dalam terhadap sahabat adikku ini,"sindir Alexander sambil tersenyum tipis dan menggigit bibirnya.

"Dia menghinaku,"batin Lorna lalu memalingkan pandangannya "malam ini sangat sempurna, aku berkumpul dengan semua orang menyebalkan," Lorna mengeluh lalu menenggak segelas wine yang tersedia di samping air mineralnya.

"Sebaiknya kita langsung makan,"ajak Sandra mulai terganggu dengan interaksi yang ada di atas meja.

"Ya— kau benar. Kita bisa sambil memulai membicarakan semuanya,"terang Ferdinand memasang wajah canggung ke tiap orang, dan semuanya mulai makan apapun yang ada di atas meja mereka.

"Hm— Lorna, aku sempat mengatakan ada sesuatu yang harus di sampaikan malam ini padamu,"Ferdinand mulai mencoba mengambil alih di tengah rasa makanan yang terasa nikmat. Lorna menaruh garpunya lalu melirik ke arah Ferdinan seorang.

"Aku harap kau bisa paham dengan maksudku, aku sudah memikirkan hal ini matang. Sebelumnya kau harus tahu bahwa saat ini seluruh perusahaan ku mengalami kemerosotan dan Alexander..... Adalah satu-satunya yang bisa membantu saat ini,"Ferdinan melirik Alex bersaman dengan Lorna hingga pria itu mengunyah makanannya sambil mengedarkan pandangan.

"Daddy, itu bukan masalah untuk ku."balas Lorna lalu merasakan tangan Ferdinand menyentuh punggung tangannya. Ia bahkan terlupa bagaimana hangatnya sikap seorang ayah.

"Lorna, aku tahu itu. Tapi— daddy ingin kau melanjutkan study mu di luar Negeri, kau harus punya masa depan yang lebih baik,"

"Daddy.. Kau ingin menyingkirkan ku?"potong Lorna dengan cepat. Pria itu harusnya tahu, ia memiliki keinginan di bidang lain. Bukan hanya duduk di bangku pembelajaran tanpa habisnya.

"Lorna, aku akan menanggung semuanya sampai kau benar-benar lulus dan mendapatkan pekerjaan layak, tapi aku mohon pergilah."pinta Ferdinand dengan nada suara yang sedikit tinggi, gadis itu menunduk sejenak. Ia merasa begitu tidak di harapkan dan sekarang Ferdinand malah ingin membuatnya begitu jauh.

Lorna berdiri secepat kilat, ia mengedarkan pandangannya ke tiap orang lalu berhenti kembali ke arah daddy-nya itu.

"Jika kau tidak ingin melihatku katakan saja dengan mudah, jangan mempersulit dirimu dengan mengirim ku ke luar Negeri,"Lorna segera memutar tubuhnya, ia meraih tas kecil yang sedari tadi tetap di sisinya lalu melangkah pergi meninggalkan meja makan.

"Lorna!!"panggil Ferdinand tampak kacau sambil melihat melihat ke arah Lorna yang terus menjauh.

"Aku harus pergi, pekerjaan ku masih banyak."Jace beralasan sambil berdiri dan melempar senyuman, ia bergerak lebih cepat menyusul Lorna.

"Kalau begitu, sebaiknya aku juga pulang. Besok lusa aku akan mengadakan rapat direksi untuk proses akuisisi,"

"Ya, aku minta maaf atas apa yang harus kau lihat malam ini, walaupun pembicaraan ini belum selesai aku harap kau tidak merubah pikiran mu,"Ferdinand begitu canggung, bagaimana bisa ia lebih memilih perasaan orang lain dari pada putri kebanggaannya tersendiri. Alexander mengangguk merasa semua biasa saja untuk ia tonton.

"Dia hanya sedikit keras kepala,"sambung Sandra mencoba menjelkkan Lorna secara tersirat. Alexander kembali mengangguk lalu berdiri angkuh sambil memasang kacamata yang tadinya bergantung di kerah kaos miliknnya.

"Lorna, wait!" Jace menahan lengan gadis itu, menariknya dan memepetkan tubuhnya di tembok.

"Jace menjauh lah, aku tidak butuh hiburan dari mu,"Lorna mencoba mendorong kuat tubuh tinggi itu, Namun sedikitpun Jace tidak bergerak seperti biasanya.

"Lorna! Aku tahu kau ingin menangis,"papar Jace membuat mata hazel gadis itu bergerak ke wajahnya.

"Maksudku, menangislah!"Jace sedikit tersenyum, ia mengedarkan pandangan ke wajah Lorna yang menatapnya begitu dekat untuk pertama kali, ia tidak pernah punya kesempatan seperti saat ini.

Lorna menunduk sedikit, ia menelan Saliva lalu mengarahkan pandangannya pada Jace hingga sepersekian detik ia mulai merasa sedikit tenang, setidaknya ada satu orang yang peduli denganmu walaupun pria itu menyebalkan.

"Lorna,"Jace mendorong Lorna dengan satu tangannya ke tembok, mendekap dan menciumi bibir gadis itu cukup kasar hingga Lorna berusaha mencari-cari oksigen yang belum sempat ia hirup.

Alexander yang tanpa sengaja melihat adegan tersebut, langsung berhenti melangkah dan melepas kacamatanya. Ia mendiamkan diri sejenak lalu memalingkan wajah sepersekian detik. Alex memunculkan ekspresi smirk lalu kembali melangkah menuruni tangga untuk meninggalkan mansion.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel