TUJUH
Jam kosong adalah jam pelajaran yang paling di tunggu oleh siswa di setiap sekolah. Seperti saat ini, kelas Neta dan Goldi sedang dihadiahi jam kosong oleh guru mata pelajaran Bahasa Indonesia mereka yang tidak bisa mengajar di kelas karena ada rapat dadakan.
"Ta, asli. Gue penasaran, deh." Goldi menolehkan wajahnya, menatap Neta yang sedang memainkan ponselnya. "Lo sama Gerry beneran pernah pacaran?"
"Lo udah nanya itu berapa kali, Di?" Neta memainkan jemarinya, seolah menghitung pertanyaan yang sama yang telah Goldi lontarkan. "Empat puluh satu kali."
"Lebay, lo, Ta!" Goldi mendengus kesal sementara Neta malah tertawa. "Gerry kan temennya Kak Dimi, ya?"
"Kok lo tau, Di?" tanya Neta yang bingung.
"Satu sekolah ini juga tau, Ta." Goldi memelankan suaranya. "Rame banget, deh, pokoknya waktu itu."
"Maksudnya gimana?" Neta menaikan sebelah alisnya.
"Lah? Katanya lo mantannya Gerry? Masa enggak tau?" Goldi menatap Neta bingung. "Lo beneran pernah pacaran sama dia apa enggak, sih?"
Neta mematung di tempatnya. Rasanya ia juga mempertanyakan pertanyaan yang sama pada dirinya kemarin, saat Gerry ternyata punya sebuah band. Kemana saja Neta selama ini?
"Gue kan anak baru juga di sekolah Gerry." Neta mengelak. "Mana gue tau apa yang lo maksud."
"Jadi, setahun yang lalu lah kira-kira." Goldi menatap menerawang. "Ada turnamen basket antar sekolah gitu. Waktu itu Smapram lawan sekolah kita. Kapten basketnya ya tuh orang berdua. Kak Dimi sama Gerry. Waktu itu gue masih kelas sepuluh. Masih awal-awal masuk sini lah."
"Terus?" Neta menunggu kelanjutan cerita Goldi.
"Waktu udah deket hari H, malemnya Kak Dimi kecelakaan. Kita semua baru tau waktu udah di stadium. Keluarganya baru ngabarin pas pertandingan mau mulai." Goldi mengingat semua kejadian yang menggemparkan stadium itu. "Kak Dimi enggak dateng-dateng. Kita semua kiranya dia telat. Sampe akhirnya pelatih basket dateng dan bilang kalo Kak Dimi semalem kecelakaan. Si Mika sampe nangis-nangis waktu itu di stadium. Heboh deh pokoknya."
"Lah? Hubungannya sama Gerry dimana?" Neta bingung.
"Si Gerry enggak mau ikut pertandingan karena Kak Dimi kecelakaan. Dia langsung ke rumah sakit," jelas Goldi. "Pertandingan sih tetep lanjut karena enggak mungkin juga di batalin. Tapi ... ya, gitu. Smapram dan sekolah kita duel tanpa ada kaptennya."
"Setia juga, ya, Si Geger." Neta terkekeh sendiri dengan perkataannya.
"Gara-gara itu juga, sih, Kak Dimi keluar dari basket. Bahunya cedera parah," ujar Goldi.
"Ngomong-ngomong, ya, Di." Neta berusaha mengalihkan topik pembicaraan tentang Dimi, ia tak nyaman. "Lo manggil Kak Dimi pake 'Kakak' tapi nyebut Gerry cuma namanya aja."
"Itu kan karena gue enggak kenal sama Gerry, Ta." Goldi terkekeh. "Kenalin, dong."
"Lo mau?" tanya Neta.
"Mau, lah! Masa iya gue enggak mau kenalan sama cowok kayak Gerry? Sama temennya aja setia, apa lagi sama ceweknya," jawab Goldi lantang.
Neta terdiam. Ada perasaan tidak suka saat Goldi terang-terangan mengatakan jika dirinya ingin dikenalkan pada Gerry.
"Gue enggak mau ngenalin tapi," ujar Neta serius.
"Lah? Mantan kok posesif?" Goldi terbahak. "Bercanda. Gue enggak sesuka itu sama Gerry. Ngefans doang."
Neta bernapas lega. Untuk sekian detik, Neta merasa aneh pada dirinya sendiri. Gadis itu terus berpikir, kenapa ia jadi seperti ini?
"Lo ... masih ada rasa sama Gerry?" tanya Goldi pada akhirnya.
Neta diam. Ia sendiri bingung akan menjawab apa. Biasanya, ia akan lantang menjawab tentang perasaannya. Namun pertanyaan yang baru saja Goldi tanyakan terasa sulit untuk Neta jawab.
"Lo diem berarti masih." Sebuah senyum tercetak di bibir Goldi. "Kenapa enggak balikan aja? Kayaknya Gerry masih ada perasaan sama lo."
"Balikan?" Neta membeo.
"Ya, iya. Balikan." Goldi menatap Neta yang kelihatan bingung. "Enggak ada salahnya balikan sama mantan, Ta. Balikan sama mantan emang kayak baca ulang novel yang lo udah tau endingnya. Tapi kalo lo baca dari sudut yang beda, lo bakal ngerasain ending yang beda juga."
"Lo pakar cinta, ya, Di?" Neta terkekeh.
"Yaaahh, eluuuhh. Gue bilangin enggak percaya." Goldi melipat kedua tangannya diatas meja.
"Lo emang pernah balikan sama mantan?" tanya Neta pada akhirnya. Penasaran.
"Ya, belom, sih. Soalnya belom putus." Goldi tertawa.
"Gue doain, deh, kalo gitu. Biar lo bisa balikan ntar." Neta mengaduh karena Goldi mencubit lengannya.
"Amit-amit, Ta. Amit-amit," ujar Goldi dengan tatapan membunuhnya.
"Kenapa emang?" Neta pura-pura tak mengerti. "Tadi katanya belom putus. Yaudah, gue doain, lah."
"Niko tuhhh, apa ya? Dia kayak emang diciptain buat gue gitu lho, Ta." Goldi tersenyum membayangkan wajah Niko, kekasihnya. "Dia enggak pernah marah sama gue. Ya, tapi emang kadang dia nyebelin, sih. Suka ngilang enggak ada kabar. Kadang enggak mau nganter gue ke Mall."
Neta terdiam. Sepertinya gadis itu mulai menyadari sesuatu. Bukan dirinya yang tak tahu kegiatan Gerry atau kehidupan pribadi Gerry selain dirinya. Tapi pemuda itu lah yang memang selalu ada untuknya, tak pernah absen sedikit pun untuk membahagiakan Neta.
"Kadang, ya, gue suka bertanya-tanya sama diri gue sendiri. Gue udah cukup baik belum buat Niko? Karena buat gue, Niko udah baik banget buat gue." Goldi tampak berpikir tanpa menyadari Neta yang turut berpikir.
"Woyy!" Rizal menggebrak meja Neta dan Goldi. "Ngomongin gue lo ya?"
"Idih!" Goldi menatap garang Rizal. "Najis!"
"Lo di panggil, tuh, sama Mbak Jum," ujar Rizal pada Goldi.
"Lah? Ngapain Mbak Jum manggil gue?" Goldi mengerutkan alisnya heran. Mbak Jum adalah penjual batagor satu-satunya di kantin sekolah mereka.
"Katanya, kapan mati?" Rizal terbahak. Pemuda itu hanya iseng saja karena melihat Goldi dan Neta yang terlihat seperti berbicara serius.
"Tai, lo!" Goldi merenggut kesal membuat Neta tak bisa lagi menahan tawanya.
"Sono lo!" usir Goldi pada Rizal si ketua kelas gagal. Bagaimana tidak gagal? Kelakuan Rizal bahkan lebih bobrok dari pada murid laki-laki yang duduk di barisan paling belakang. Sampai sekarang, Goldi pun masih heran dengan alasan terpilihnya Rizal menjadi ketua kelas di kelasnya.
"Galak banget sih, lo, Dee. Ntar suka aja sama si Rizal," bisik Neta membuat Goldi menggeram kesal di tempatnya.
***
"Ayo semuanya, mulai pemanasan!" perintah Pak Teguh, guru olahraga yang mengajar kelas Neta.
"Yah, Pak! Panas banget ini, udah. Apanya yang mau di panasin lagi." Suara Rizal terdengar. Udara pagi menjelang siang itu memang bisa dikatakan cukup terik.
"Sini kamu, Zal!" Pak Teguh memberi kode pada Rizal untuk mendatanginya. "Pimpin pemanasan kamu. Kalo salah, nilai kamu saya kurangin sepuluh!"
"Yah, jangan dong, Pak. Nilai saya aja enggak nyampe sepuluh. Bapak mau ngurangin lagi. Masa nilai saya minus." Rizal menatap sedih ke arah Pak Teguh.
"Cepat sana pimpin pemanasan!" ujar Pak Teguh dengan suara tegasnya, membuat teman sekelas Neta yang sedari tadi tertawa mendengar kekonyolan Rizal terdiam seketika.
Neta tak bisa fokus mengikuti pemanasan sebab jadwal olahraga di kelasnya sama dengan jadwal olahraga Dimi. Gadis itu memperhatikan Dimi dari sudut matanya, memikirkan apa yang sempat Goldi ceritakan tadi di jam kosongnya.
"Heh, kamu! Anak baru!" Suara Pak Teguh terdengar cukup keras hingga Neta yang sedari tadi fokus dengan pikirannya sendiri tersentak. "Ngapain kamu?"
"E-enggak, Pak! Saya enggak ngapa-ngapain," jawab Neta gelagapan.
"Kamu kira saya enggak liat kamu ngelirik-lirik terus ke kelas sebelah?" Pak Teguh menatap kesal ke arah Neta yang tak fokus dengan pelajarannya.
"Sini kamu!" Pak Teguh memanggil Neta. "Ikut saya!"
Barisan teman-teman Neta yang sedari tadi tak teratur karena kekonyolan Rizal memimpin pemanasan itu mendadak rapi. Neta menundukan kepalanya, malu karena tertangkap basah tengah melirik ke kelas sebelah.
"Pak Bambang," sapa Pak Teguh pada guru olahraga kelas Dimi.
"Eh? Pak Teguh? Ada apa?" tanya Pak Bambang.
"Ini murid saya matanya kesini terus. Dari pada copot matanya, saya titip dia di kelas Bapak, ya, sampe jam olahraga selesai." Suara Pak Teguh yang terdengar sangat kencang itu membuat Neta semakin menundukan kepalanya karena kakak kelasnya menertawakannya.
"Boleh, Pak," jawab Pak Bambang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya menatap Neta.
"Belajar yang bener kamu. Saya udah kasih kamu jalur orang dalam. Kalo enggak, bisa copot mata kamu ngelirik kesini terus," ujar Pak Teguh pada Neta sebelum meninggalkan gadis itu sendirian.
"Sini, Ta!" Garda memanggil Neta. "Samping gue."
"Wooo!" Teman-teman Garda menyoraki pemuda itu. "Maunya lo!"
Neta akhirnya tersenyum karena kini pusat perhatian telah berpindah ke Garda.
"Sana ke samping Garda," perintah Pak Bambang dan langsung disetujui oleh Neta.
"Gue bilangin Geger luhh, liatin gue mulu," bisik Garda tepat ketika Neta berdiri di sebelahnya.
"Pede banget, sih, Kak!" Wajah Neta nampak cemberut. Tangan Neta mencubit lengan Garda hingga pemuda itu mengaduh kesakitan.
Tanpa Neta sadari, Dimi yang berdiri di belakang Garda tersenyum tipis karena ulahnya. Bahkan Dimi sendiri tidak sadar dengan apa yang telah ia lakukan.
