DELAPAN
Neta memantulkan bolanya berkali-kali ke tanah, kesal karena tak ada satupun lemparannya yang berhasil memasukan bola basketnya ke dalam ring.
Neta terdiam. Memikirkan dirinya yang lagi-lagi mendapati kepalanya dipenuhi oleh Gerry. Neta ingat betul apa yang pemuda itu lakukan saat dirinya merengek karena tak berhasil menguasai pelajaran basket. Gerry dengan sabar mengajarinya. Bahkan di akhir pekan sekali pun, Gerry menuruti keinginan Neta yang ingin bermain basket di Game Center.
Bel pulang sekolah sudah berbunyi sedari tadi namun Neta masih tinggal di lapangan sekolahnya untuk melancarkan permainan basketnya. Neta itu gadis nomor satu. Dengan pemikiran itu, Neta memaksa dirinya harus bisa melakukan semuanya. Namun sialnya, dari semua keahlian Neta, bidang olahraga adalah hal yang paling sulit untuk ia ikuti.
Neta kesal karena tak perduli sebanyak apa pun ia mencoba, bola yang dilemparnya tetap saja tak berhasil masuk kedalam lubang sialan itu. Neta berjongkok ditengah lapangan yang sepi karena kebanyakan penghuni sekolah sudah kembali ke rumahnya masing-masing. Gadis itu menenggelamkan wajahnya di lipatan tangannya.
"Kenapa harus susah banget, sih?!" gumam Neta kesal. "Kenapa dari semua yang gue bisa, olahraga doang yang enggak bisa gue kuasain."
"Kalo enggak bisa, jangan dipaksa." Tiba-tiba terdengar suara seseorang yang hampir familiar di telinga Neta. Gadis itu menengadahkan kepalanya, melihat siapa yang berbicara kepadanya.
"Lo tau salah lo apa?" tanya Dimi yang berdiri menutupi terik matahari siang itu. "Lo itu terlalu maksa sama hal yang lo enggak bisa. Ada hal yang bisa berjalan sesuai keinginan lo dan ada yang enggak."
"Udah?" Neta bangkit dari posisinya. Gadis itu kesal melihat Dimi. Ditambah lagi pemuda itu malah menceramahinya.
Neta memang si kepala batu. Semua keinginan gadis itu harus terpenuhi. Tapi ada satu hal yang sungguh gadis itu keramatkan. Dirinya sendiri. Neta mencintai dirinya sendiri melebihi siapapun karena Neta ya, si gadis nomor satu. Perkataan Dimi semalam tentunya masih terekam jelas di dalam kepala gadis itu.
"Gue enggak butuh nasehat lo," ujar Neta datar sebelum membalikan tubuhnya. Namun, belum sempat gadis itu berjalan pergi meninggalkan Dimi, tangan pemuda itu menahannya.
"Maaf yang semalem," ujar Dimi sebelum melepaskan tangannya. "Gue enggak bermaksud kayak gitu."
"It's okay," jawab Neta sebelum gadis itu pergi meninggalkan Dimi sendirian. Rasanya ia terlalu sayang pada dirinya sendiri untuk berada di dekat Dimi.
Neta mengambil tasnya yang ada di pinggir lapangan sebelum gadis itu mengeluarkan ponselnya dari sana. Ternyata ponselnya mendapat lima panggilan tak terjawab. Neta cepat-cepat mengeceknya, takut jika itu adalah panggilan penting.
"Pak Herman?" Neta mengerutkan alisnya saat nama Pak Herman lah yang muncul di layar ponselnya.
Belum sempat Neta menelepon Pak Herman, layar ponsel gadis itu kembali menunjukan panggilan masuk dari nama yang sama dengan yang ada di daftar panggilan terakhir di ponselnya.
"Hallo?" Neta mengangkat telepon itu.
"Non, maaf. Ban mobilnya bocor. Ini saya bawa serep tapi cuma satu. Bannya bocor dua, Non." Suara Pak Herman terdengar dari seberang sana.
"Pak Herman beneran? Pak Herman bohong, ya? Bapak nganter Kak Wina lagi, kan?" tuduh Neta.
"Beneran, Non. Ini saya ada di bengkel deket sekolah Non yang kemaren," jelas Pak Herman.
"Iya, Neta percaya. Yaudah, Neta pulang naik taksi aja, deh, Pak. Pak Herman nanti langsung pulang aja. Ntar Neta yang bilang ke Mami."
"Maaf, Non, sekali lagi." Jelas sekali suara Pak Herman terdengar sarat akan rasa tidak enak dan rasa bersalah.
"Enggak apa-apa, Pak. Pak Herman hati-hati nanti pulangnya." Neta memutuskan panggilan itu setelah Pak Herman mengucapkan terima kasih.
Neta menghela napas kasar. Harusnya ia sudah berada di rumah sekarang. Dengan langkah lemas, Neta berjalan meninggalkan lapangan.
Neta menghubungi Gerry beberapa kali. Bahkan ia mengirimkan pesan dan bertanya dimana keberadaan Gerry sekarang. Namun semakin lama ia menunggu teleponnya diangkat, semakin cepat baterai ponselnya habis.
"Uhh!" Neta berdecak kesal. "Kenapa matinya enggak tepat banget, sih? Mana PB juga abis lagi gara-gara udah lama enggak di charge."
Neta melangkahkan kakinya menuju gerbang sekolah. Kepala gadis itu beberapa kali menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari kendaraan umum atau taksi yang mungkin saja lewat. Neta menghembuskan napasnya kasar saat tak menenumukan satupun kendaraan yang bisa ia tumpangi.
Neta memejamkan matanya sebentar. Hal pertama yang terlintas di kepalanya saat Pak Herman mengatakan jika pria tua itu tak bisa menjemput Neta adalah Gerry. Neta bingung, apakah dirinya yang memang sudah terbiasa dengan kehadiran Gerry atau memang Gerry yang selalu ada di sekitarnya hingga gadis itu memikirkan Gerry di saat-saat seperti ini.
Sekali lagi, Neta menghembuskan napasnya kasar sebelum membuka matanya dan terkejut mendapati Dimi yang sedang duduk diatas motornya kini menatapnya. Pemuda itu bahkan memarkirkan motornya dua langkah di depan Neta.
"Enggak pulang?" tanya Dimi. Neta masih diam dalam keterkejutannya.
"Hei?" Suara Dimi akhirnya menyadarkan Neta.
"Apa?" tanya Neta. Gadis itu hanya bingun kenapa pemuda di hadapannya ini lagi-lagi berbicara padanya.
"Enggak pulang?" Dimi mengulang lagi pertanyaannya. Kali ini suara Dimi terdengar lebih lembut, membuat Neta mengingat nyanyian pemuda itu semalam.
"Enggak." Neta akhirnya menjawab setelah terdiam beberapa saat. "Supir gue enggak bisa jemput. Ban mobilnya bocor katanya."
"Ayo." Dimi tersenyum tipis. Sangat tipis sampai-sampai Neta tak melihatnya. "Gue anter."
"Enggak usah. Makasih," tolak Neta.
"Lo ... masih marah karena yang semalem?" tanya Dimi hati-hati.
"Enggak," jawab Neta cepat. "Cuma enggak mau ngerepotin orang yang enggak kita kenal."
"Dimitri Stone." Dimi menyodorkan tangannya, pemuda itu bermaksud mengajak Neta berkenalan. Jujur saja, Dimi merasa tersindir dengan ucapan Neta barusan. Namun alih-alih marah seperti biasanya, Dimi malah mengajak Neta berkenalan. Hal yang sama sekali tak pernah terlintas di pikiran pemuda itu.
"Zaneta Oswald." Neta meraih tangan Dimi dan menjabatnya. Gadis itu tersenyum kecil, tak menyangka jika Dimi akan mengajaknya berkenalan duluan. Neta mulai mengurangi rasa malasnya untuk berada di sekitar Dimi.
"Udah kenalan, kan?" tanya Dimi masih mempertahankan keramahan dalam nada bicaranya. "Ayo, gue anter."
"Enggak ngerepotin?" Neta merasa tidak enak. Padahal biasanya gadis itu selalu merasa menang jika pemuda incarannya mengajaknya pulang bersama. Tapi kali ini berbeda. Neta ingin Gerry yang berada di hadapannya meski ia tak bisa memungkiri jika hatinya merasa sedikit senang dengan kehadiran Dimi saat ini.
"Enggak." Dimi memasang helmnya sebelum pemuda itu mengangkat kaca helmnya ke atas. "Ayo, nanti keburu sore."
Neta pun melangkahkan kakinya ke dekat Dimi. Gadis itu menaiki motor Dimi dengan hati-hati karena pemuda yang memberinya tumpangan itu sama sekali tak berniat untuk membantunya.
"Rumah lo dimana?" tanya Dimi setelah Neta naik ke atas motornya.
"Di Perumahan Bima Sakti, Kak. Tau, kan?" tanya Neta balik. Gadis itu hanya mendapati Dimi menganggukan kepalanya untuk menjawab.
Selama perjalanan, tak ada sama sekali yang berbicara. Dimi memilih untuk diam karena memang seperti itu lah dirinya. Neta berbeda. Gadis itu biasanya cerewet. Namun kali ini ia terdiam karena disibukan oleh pikirannya sendiri.
Neta merasa jika sekarang dirinya membanding-bandingkan apa pun yang pemuda lain lakukan kepadanya dengan apa yang Gerry biasa lakukan. Contoh paling jelasnya saja saat tadi gadis itu naik ke atas motor Dimi. Seandainya itu adalah Gerry, Neta sangat yakin jika pemuda itu akan membantunya naik ke atas motor. Atau contoh yang entah mengapa benar-benar membuat Neta menginginkan Gerry yang berada di hadapannya sekarang. Gerry pasti akan melepaskan jaketnya dan meminta Neta untuk memakainya. Pemuda itu benar-benar mengkhawatirkan Neta. Gerry sama sekali tak perduli jika kulitnya tersengat sinar matahari.
"Gerry," gumam Neta lirih. Selirih angin yang menerpa wajah cantiknya.
Neta menolehkan kepalanya tepat saat ia melihat dua orang anak kecil berjenis kelamin laki-laki terjatuh dari atas sepedanya. Gadis itu terkejut namun ia cepat-cepat menepuk bahu Dimi.
"Kak, Kak. Berenti dulu!" seru Neta dari balik punggung Dimi. Beruntung pemuda itu memacu kendaraannya pelan. Dimi pun memberhentikan motornya tak jauh dari anak kecil yang terjatuh itu.
Dengan sigap, Neta turun dari atas motor Dimi dan berlari kecil menghampiri kedua anak kecil itu.
"Elo sihhh, tadi kelitikin ketek gue," ujar seorang anak laki-laki saat Neta berada di dekat mereka. Sementara yang di marahi oleh bocah itu malah tertawa saja.
"Eh? Kalian kenapa?" tanya Neta sambil mengangkat sepeda yang menindih tubuh kedua anak kecil itu.
"Jatoh, Kak," jawab anak kecil yang tadi memarahi temannya.
"Sakit, enggak?" tanya Neta setelah gadis itu meminggirkan sepeda si anak kecil, menyenderkannya ke pohon besar yang berada di dekat situ.
"Enggak, kok, Kak. Lecet aja." Kini anak kecil yang tadi tertawa yang menjawab Neta.
"Hati-hati." Neta mengusap kepala kedua anak itu. "Lain kali jangan bercanda di jalan, ya? Bahaya. Untung kalian jatohnya ke pinggir."
"Iya, Kak," jawab mereka kompak. "Makasih, ya."
"Iya, sama-sama." Neta tersenyum sebelum kembali melangkahkan kakinya ke arah Dimi yang sedari tadi melihat apa yang Neta lakukan dari kaca spionnya.
"Ayo, Kak." Neta kembali menepuk bahu Dimi hingga pemuda itu menoleh dan mendapati Neta yang tersenyum ke arahnya. Dimi hanya menganggukan kepalanya sebelum akhirnya mereka kembali melanjutkan perjalanan.
