Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

TIGA

Neta tengah merengut kesal karena Pak Herman, supir pribadinya, harus terlambat menjemputnya. Apa lagi alasannya kalau bukan karena Rowina Oswald, kakak Neta satu-satunya. Wina sering kali meminta Pak Herman untuk menjemputnya dengan alasan jika mobil gadis itu rusak. Padahal Wina hanya malas untuk mengendarai mobilnya sendiri.

Neta benar-benar berbeda setelah kecelakaan yang membuat gadis itu kehilangan ingatannya. Neta yang memang tidak bisa mengendarai mobilnya sendiri itu harus diantar-jemput oleh supir. Selain karena kedua orang tuanya yang menjadi lebih protektif, kepribadian Neta pun berubah, seolah gadis itu adalah tuan putri yang setiap keinginannya harus dituruti. Neta tidak suka panas dan keringat. Jadi, gadis itu benar-benar membutuhkan supir pribadi.

Neta mengipasi wajahnya dengan tangannya. Kesal karena keringat mulai membanjiri tubuhnya. Beruntung gadis itu selalu menggunakan sunblock yang waterproof. Jika tidak, wajahnya pasti sudah lengket karena sunblock yang digunakannya itu luntur.

Dari sudut mata Neta, gadis itu melihat Dimi tengah berjalan ke arah sebuah motor. Tanpa berpikir panjang, Neta pun segera menghampiri Dimi.

"Kak, saya bareng, dong," ujar Neta sambil mengusap peluh yang membanjiri wajah cantiknya.

"Enggak," jawab Dimi singkat dan jelas.

"Jemputan saya belum dateng nih, Kak. Sekali aja." Neta menatap Dimi dengan pandangan memohon.

"Bukan urusan gue." Dimi hendak mengambil helmnya saat Neta kembali berbicara.

"Yaudah, deh. Kalo gitu kenalan aja." Neta menyodorkan tangannya.

"Lo budek?" Dimi menatap Neta tajam.

"Lo belum ngomong apa-apa, tuh, Kak." Neta menghilangkan kesopanannya. Sopan untuk Dimi sepertinya tidak berlaku.

"Gue enggak mau kenalan sama lo," ujar Dimi sebelum mengambil helmnya dan memasangnya di kepalanya.

"Alesannya?" tanya Neta yang sama sekali belum menyerah.

"Enggak penting." Dimi naik ke atas kuda besinya, menghiraukan Neta yang tampak menekuk wajahnya.

Neta menghela napas kasar. Ternyata Dimi berbeda dengan pria-pria incarannya. Itu berarti Neta harus menggunakan tak-tik yang berbeda pula. Untuk kali ini, Neta mengalah. Gadis itu akan kembali menyerang Dimi besok.

Neta berlalu, meninggalkan Dimi yang menatap kepergiannya dari spion motor miliknya. Dimi menghela napas lega. Pemuda itu benar-benar malas jika berurusan dengan wanita.

Neta berjalan sambil menghentak-hentakan kakinya. Rasa kesal gadis itu naik menjadi dua kali lipat setelah Dimi mengabaikannya. Kini Neta berdiri tak jauh dari depan gerbang sekolahnya bersama dengan beberapa murid yang belum dijemput atau sedang menunggu kendaraan umum lewat. Beberapa dari murid yang berada disana menatap Neta secara terang-terangan. Bahkan diantara mereka ada yang membicarakan Neta dengan suara yang lumayan kencang. Neta sama sekali tidak marah. Justru sebaliknya, gadis itu senang bukan main. Kini dirinya menjadi perbincangan hangat di sekolahnya.

Sebuah motor besar melewati kumpulan murid-murid SMA Nusa Raya. Namun tak sampai sepuluh detik, motor itu kembali dan berhenti di kumpulan murid yang belum pulang itu. Seulas senyum tercetak di wajah Neta. Gadis itu tersenyum tipis saat mengetahui siapa yang kini berhenti dihadapannya. Sebentar lagi, Neta akan kembali menjadi buah bibir.

"Neta?" Gerry yang melepas helmnya itu mengajak bicara Neta yang berdiri tepat disebelahnya.

"Gerry?" Neta pura-pura kaget saat Gerry menyebut namanya. Tak perlu waktu lama, bisik-bisik tentang dirinya mulai terdengar.

"Lo kok sekolah disini? Lo enggak bilang ke gue kalo pindah sekolah," ujar Gerry sambil meletakan helmnya diatas tanki bensin motornya.

"Iya. Gue pindah." Neta tersenyum tipis, pura-pura mengabaikan Gerry. Padahal gadis itu senang, sebentar lagi ia bisa pulang.

"Gara-gara kasus Ayu?" tanya Gerry yang tampak berpikir sebelumnya.

Neta tertawa mengingat hal itu. Dua minggu yang lalu, Ayunda, kakak kelasnya mencari masalah dengannya. Karena kesal konsetrasi belajarnya di ganggu oleh Ayunda yang tiba-tiba datang menghampirinya, Neta mendorong Ayunda hingga tubuh gadis itu menabrak rak buku di belakangnya. Nasib naas sepertinya sedang berada di pihak Ayunda. Buku-buku yang berada di rak yang ia tabrak itu jatuh menimpanya hingga gadis itu pingsan.

Kasus itu cukup ramai karena teman-teman Ayunda yang tak terima mengadukan Neta ke guru BK. Akibatnya, orang tua Neta di panggil oleh pihak sekolah. Pihak sekolah pun menyatakan sudah angkat tangan dengan kelakuan Neta karena itu bukan pertama kalinya gadis itu terlibat masalah di sekolah.

"Iya," jawab Neta dengan senyumannya yang selalu berhasil meluluhkan hati Gerry.

"Kok belum pulang? Pak Herman belum jemput?" tanya Gerry sedikit terkekeh karena jawaban Neta barusan.

"Iya, Ger." Neta kembali menekuk wajahnya, kesal dengan fakta yang satu itu.

"Kak Wina lagi? Ayo, gue anter pulang." Gerry tersenyum.

"Enggak, ah. Nanti ngerepotin." Neta berpura-pura tidak enak padahal gadis itu tengah senang setengah mati karena akhirnya bisa pulang juga. Terlebih lagi kini gadis-gadis yang berdiri di belakangnya teriak histeris saat melihat Gerry tersenyum.

"Kaya sama siapa aja, sih. Ayo." Gerry yang gemas dengan jawaban Neta itu pun mengacak pucuk kepala gadis itu.

"Geeeer!" Neta merengek, kesal karena kebiasaan Gerry yang satu itu masih saja belum hilang.

"Iya, maaf." Gerry terkekeh. Tangan pemuda itu lantas bergerak, merapikan kembali rambut Neta yang telah ia acak. Kebiasaannya dari dulu.

"Ayo, pulang." Neta lagi-lagi tersenyum saat gadis-gadis dibelakangnya kembali histeris.

"Gue Zaneta, cewek nomor satu dan bakalan terus jadi nomor satu," batin Neta saat Gerry melepaskan jaketnya.

"Nih, pake. Nanti masuk angin," ujar Gerry sambil menyodorkan jaketnya. Neta pun menerimanya dan langsung memakainya.

Gerry tetap lah Gerry. Pemuda yang tetap cinta mati pada Neta bahkan setelah hubungan mereka berakhir satu bulan yang lalu.

"Ayo." Gerry mengulurkan tangannya, membantu Neta naik ke atas motornya. Pemuda itu pun kembali memasang helmnya. Setelah itu, ia menarik tangan Neta agar melingkar di pingganggnya dan Neta pun menurut saja. Toh, memang itu yang Neta inginkan, membuat gadis-gadis di belakangnya histeris untuk yang ketiga kalinya.

***

"Lo sekolah di Nusa Raya, Ta?" tanya Gerry setelah menghentikan motornya tepat di depan gerbang rumah Neta dan melepaskan helmnya.

"Iya. Kenapa emang?" tanya Neta balik setelah turun dari atas motor Gerry.

"Gue ada temen disana. Namanya Dimi. Lo kenal?" Sontak saja pertanyaan Neta pun membuat senyum gadis itu mengembang.

"Kenal!" jawab Neta antusias. Tanpa sadar, gadis itu telah membuat Gerry tersenyum kecut.

"Oh, kenal," ujar Gerry singkat. Hatinya sedikit kecewa mendengar Neta begitu antusias menjawab pertanyaannya.

"Lo punya nomornya, Ger?" tanya Neta lagi. Lagi-lagi tanpa menyadari perubahan raut wajah Gerry.

"Punya. Dia tetangga gue. Beda berapa rumah doang," jawab Gerry sedikit lesu.

"Kalo gitu, nanti kalo lo main bareng sama dia, bilang gue, ya? Nanti gue main ke rumah lo." Keantusiasan Neta sama sekali tidak berkurang.

"Iya, Neta. Iya." Gerry tersenyum lalu mengacak lagi pucuk kepala Neta. Pemuda itu berharap jika sentuhan tangannya akan menyampaikan perasaannya. Gerry masih mencintai Neta. Perasaan pemuda itu belum berubah sama sekali pada Neta si adik kelasnya.

Gerry dan Dimi memang seumuran. Mereka sama-sama satu tahun lebih tua dari pada Neta. Namun karena sempat berpacaran dengan Neta, Gerry pun meminta Neta untuk berhenti memanggilnya dengan embel-embel 'Kak'. Itu lah sebabnya Neta memanggil mantan kekasihnya itu dengan namanya langsung.

Gerry mencintai Neta begitu dalam karena Neta adalah cinta pertamanya. Pemuda itu sama sekali tidak mengetahui jika Neta menerimanya bukan karena gadis itu menyukai Gerry. Neta hanya ingin menjadi gadis nomor satu di SMA Pramudia. Selain dengan otaknya yang pintar, Neta ingin diakui keberadaannya melalui statusnya sebagai pacar dari pemuda nomor satu di SMA Pramudia-Gerry.

Neta sudah melakukan hal itu lebih dari empat kali, sama banyak dengan jumlah sekolah yang telah ia singgahi.

"Mana nomornya?" Neta menyodorkan tangannya, meminta ponsel Gerry.

"Nanti gue Line," ujar Gerry.

"Jangan lupa, Ger!" seru Neta sebelum membuka gerbang rumahnya, sama sekali tidak menawari Gerry untuk mampir ke rumahnya.

"Sampe ketemu, Ta." Gerry berujar tanpa jawaban sebelum kembali memasang helmnya dan melajukan kuda besinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel