Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

EMPAT

Neta melompat diatas kasurnya saat layar ponselnya menyala dan menunjukan pesan dari Gerry. Ya, pemuda itu menepati kata-katanya yang akan memberikan kontak Dimi. Tanpa merasa tak enak sama sekali, Neta membalas pesan Gerry dengan sebuah ucapan terima kasih berikut dengan emoticon hati di belakangnya.

"Gerry." Neta menggumamkan nama mantan kekasihnya itu.

Dari empat mantan pacarnya, Gerry adalah pemuda yang paling lama menyandang status sebagai pacar Neta. Bukan tanpa alasan Neta memberikan waktu yang cukup lama untuk Gerry memilikinya. Pemuda itu benar-benar memperlakukan Neta seperti seorang ratu, selalu menuruti apa yang Neta inginkan. Bahkan mungkin Gerry bersedia keluar dari tim basket jika Neta memintanya.

Sesungguhnya Neta menaruh hati pada Gerry. Namun hanya sedikit, benar-benar sedikit sampai gadis itu pun tak menyadarinya sama sekali.

Neta membuang ponselnya, entah mengapa ia kehilangan mood untuk menghubungi Dimi sekarang. Jemari gadis itu menyentuh pucuk kepalanya sendiri, hatinya sedikit berdesir mengingat perlakuan Gerry tadi.

"Apa gue keterlaluan ya, sama Gerry?" Entah mengapa tiba-tiba saja gadis itu merasa tidak enak. Harusnya Neta merasa lebih dari sekedar tidak enak. Dirinya sudah beberapa kali mengabaikan Gerry namun pemuda itu tetap setia berada di sebelahnya.

"Enggak! Neta itu nomor satu. Wajar kalo Gerry perlakuin Neta kayak gitu!" Lagi, Neta bergumam pada dirinya sendiri, menolak hari nuraninya yang sedikit terketuk.

"Argghhh!" Neta kesal. Gadis itu membanting tubuhnya di atas kasur.

"Anak Mami kenapa, sih?" Vinaya masuk kedalam kamar Neta saat mendengar gadis itu berteriak. Vinaya Oswald nama lengkapnya. Wanita paruh baya yang masih tetap cantik meski kerutan mulai nampak di wajahnya.

"Eh, Mami? Kok ada dirumah?" Neta bangkit dari tidurnya, kaget ternyata ibunya itu ada di rumah. Biasanya Vinaya berada di restoran sampai jam lima sore. Sedangkan sekarang, jarum jam di dinding kamar Neta baru menunjukan pukul setengah empat sore.

"Kenapa? Kamu enggak suka kalo Mami ada di rumah?" tanya Vinaya sambil mendudukan bokongnya di ujung kasur Neta.

"Enggak, lah, Mi!" Neta merenggut. "Masa Neta begitu."

"Ya, kan. Siapa tau, Sayang." Vinaya membawa Neta kedalam pelukannya. Kegiatan yang sering wanita itu lakukan sejak putri bungsunya mengalami kecelakaan.

Neta yang dulu lebih sering mengunci dirinya di dalam kamar setiap pulang sekolah. Gadis itu bahkan jarang berbicara dan hanya keluar dari kamar ketika jam makan datang. Sungguh, Neta yang dulu sering membuat keluarganya khawatir dengan pergaulannya di sekolah. Keluarga Neta takut jika gadis itu menjadi korban bullying seperti yang marak terjadi belakangan ini.

Neta yang sekarang, meskipun sering kali berulah, keluarganya justru senang. Bukan tak perduli dengan pergaulan putri bungsungnya. Setidaknya Neta menjadi pribadi yang lebih ceria dan menyenangkan untuk keluarganya. Gadis itu bahkan tak segan mengadukan apa saja yang terjadi di sekolahnya meski ia baru saja membuat masalah.

"Tadi sama Gerry?" Vinaya yang membelai lembut rambut Neta itu pun bertanya. Pasalnya wanita itu mendengar suara bising yang khas. Karena memang cuma Gerry, laki-laki yang Neta kenalkan pada keluarganya.

"Iya. Mami tau, kan? Kak Wina, as always. Dia sering banget, deh, nginvasi Pak Herman. Untung Gerry lewat. Kalo enggak, Neta udah kayak malika kali sekarang." Neta kembali menekuk wajahnya mengingat kejadian yang membuatnya kesal setengah mati tadi.

"Malika siapa, Ta?" Vinaya menghentikan gerakan tangannya yang mengusap-usap rambut Neta.

"Itu, Mi. Masa Mami enggak tau? Kedelai hitam! Ih, kebayang kalo tadi Gerry enggak dateng." Neta mendengus sebal.

"Kamu sama Gerry ... masih?" tanya Vinaya iseng.

"Udah enggak, lah, Mi." Neta menatap langit-langit kamarnya. Gadis itu memainkan jemarinya sebelum akhirnya memilih untuk menegakan tubuhnya.

"Kenapa? Dia cowok pertama yang kamu bawa ke rumah, lho." Vinaya menatap heran putrinya.

"Bosen aja," jawab Neta asal karena dia sendiri pun tak tau mengapa ia memutuskan Gerry yang lebih dari sekedar baik.

"Ta, saran Mami, kamu jangan suka main-main sama perasaan orang. Kamu harus inget, Ta, bukan kamu doang yang punya perasaan. Orang lain juga," ujar Vinaya dengan nada yang sangat lembut hingga Neta merasakan sesuatu yang aneh menjalar di hatinya.

"Iya." Neta menjawab singkat. Gadis itu malas untuk berdebat meski hatinya sedang merasa tidak enak sedari tadi.

"Mi, menurut Mami ... Gerry orangnya gimana?" tanya Neta tiba-tiba. Jujur, gadis itu tidak sadar saat bertanya. "Lupain, Mi. Neta asal nanya doang."

"Gerry? Secara tampang sih, ya ... ganteng. Tipe Mami banget. Idungnya mancung, alisnya tebel, bibirnya merah, tinggi, putih lagi. Kayak cowok-cowok yang waktu itu kamu nonton konsernya, Ta." Vinaya sedikit terkekeh dengan ucapannya.

"Lha? Tapi Papi kuntet tuh." Neta terbahak saat Vinaya mencubit lengannya. "Enggak lah, Mi. Papi tinggi kok. Tapi kurang mancung aja."

"Enak aja kamu! Papi itu tipe Mami banget, tau!" Vinaya mendengus sebal.

"Tadi kata Mami, Gerry yang tipe Mami banget. Mami labil, ah." Neta lagi-lagi terbahak. "Maksud Neta, Gerry secara personal, Mi. Kalo tampang juga Neta tau. Kalo enggak ganteng, enggak mungkin lah Neta terima Gerry."

"Ya, kan, selama ini kamu yang jalanin hubungan sama Gerry. Mana Mami tau?" Vinaya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tapi, ya, dia lumayan sopan, sih. Keliatan banget anaknya baik dan enggak macem-macem."

"Gitu, ya?" Neta kini menatap kosong ke arah meja riasnya yang dipenuhi oleh berbagai macam skincare mahal andalannya.

"Udah, udah. Ganti baju kamu sana. Abis ini temenin Mami ke Resto, mau liat anak band manggung." Vinaya bangkit dari duduknya.

"Anak band?" Neta menaikkan sebelah alisnya. Heran mendengar ucapan Vinaya.

"Iya. Hari ini ada band yang bakalan ngisi di resto setiap malem minggu. Mami mau liat dulu, bagus enggak bandnya. Kalo bagus, ya ... Mami mau kontrak mereka buat netep di resto," jelas Vinaya.

"Yaelah, Mi. Udah kayak prosedur aja, kontrak-kontrak." Neta terkekeh.

"Produser, Ta." Vinaya kembali mencubit lengan putrinya itu.

"Tau, Mi, tau. Biar Mami kesel aja." Neta menjulurkan lidahnya sebelum bangkit dari atas kasurnya.

"Dasar. Yaudah, Mami tunggu di bawah, ya." Vinaya pun berlalu, memberikan putri bungsunya itu waktu untuk mengganti bajunya.

***

Neta turun dari lantai dua rumahnya, tempat kamar gadis itu berada. Gadis itu menggunakan dress selutut berwarna kuning dengan sling bag kecil menyilang di tubuhnya. Tak lupa sneakers keluaran terbaru membalut manis di kakinya.

Neta menekuk wajahnya saat melihat Wina melewati pintu masuk rumahnya.

"Enak, ya." Neta menyindir Wina yang berjalan santai masuk ke dalam rumah.

"Enak, dong." Wina menjulurkan lidahnya, membuat Neta menghentakan kakinya kesal.

"Mamiiii! Pokoknya Neta enggak mau kalo besok-besok Kak Wina nginvasi Pak Herman lagi. Pokoknya Neta enggak ikhlas lahir dan batin!" Neta bersedekap sambil menatap garang Wina yang malah tak takut dengan ucapannya.

"Miii!" Neta merengek.

"Wina, kamu kalo emang enggak mau bawa mobik sendiri, bilang aja. Nanti Mami minta Pak Herman cariin supir buat kamu. Jangan ngacak-ngacak Neta terus. Kasian dia tadi nunggu di jalan. Untung ada Gerry. Kalo enggak?" Vinaya berujar dengan lembut, sama sekali tak ada kemarahan dalam nada bicaranya yang menegur Wina itu.

"Dasar manja!" Wina menatap jengah adiknya itu. Tidak serius. Hanya untuk membuat Neta kembali kesal padanya.

"Mamiiiiiii!" Neta berjalan menghampiri Vinaya. Lengan gadis itu melingkari perut ibunya dengan kepala yang ia benamkan di lekukan leher Vinaya. "Kak Wina jahat."

"Dih? Enak, kan, lu? Bareng sama Gerry cokolatos!" Wina masih saja meledek adiknya itu.

"Rowina Oswald." Vinaya menyebut nama lengkap putri sulungnya itu, membuat Wina bungkam mendengarnya. Di dalam keluarga mereka, menyebut nama panjang adalah sebuah tanda peringatan untuk diam. "Mami sama Neta mau ke resto. Mau ikut?"

"Enggak, ah, Mi. Capek," ujar Wina. Kini gadis itu sudah berhenti mengganggu Neta yang sudah menormalkan posisi berdirinya. Neta menjulurkan lidahnya dari balik punggung Vinaya. Mau tak mau Wina melotot ke arah adiknya itu. Kesal karena Neta berhasil membuat Vinaya memanggil nama lengkapnya.

"Yaudah. Mami bentar doang, kok. Nanti makan malem juga pulang." Vinaya mengambil tas jinjingnya yang ada di sofa. "Ayo, Ta."

***

Neta berjalan mengekori Vinaya yang berjalan di depannya. Mereka baru saja sampai di restoran Vinaya, hadiah pernikahan yang ke sepuluh tahun dari August Oswald, suaminya. Ayah Neta memang darah campuran karena Kakek Neta itu asli orang Amerika.

Neta memang jarang mengunjungi restoran milik Vinaya hingga karyawan baru di restoran itu tak mengenali siapa dirinya. Neta hanya malas makan di restoran seperti itu. Menurut Neta, masakan rumahan rasanya lebih enak dari pada masakan western yang tersedia di restorannya.

"Nah, itu kayaknya anak-anak bandnya." Vinaya menunjuk ke arah empat orang pemuda yang sedang mengobrol di dekat panggung.

"Permisi ... ini yang mau manggung disini?" tanya Vinaya ramah membuat ke empat pemuda itu menoleh ke arahnya. Sontak saja Neta yang berada di sebelah Vinaya tercengang melihat siapa yang ada di sana.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel