DUA
"Permisi." Neta berujar sopan saat sampai di meja Dimi dan Garda. Ternyata, gadis itu sama sekali tak main-main dengan ucapannya.
"Eh? Ada apa?" Garda menatap Neta dengan matanya yang berbinar-binar, tak menyangka jika gadis yang sempat menarik perhatiannya tadi pagi itu kini menghampirinya.
"Saya boleh duduk disini, Kak?" tanya Neta sopan. Sesekali gadis itu melirik ke arah Dimi yang mengacuhkan kehadirannya.
"Boleh, dong. Bole- Ah! Sakit, anjir, Dim!" Garda mengaduh kesakitan saat Dimi menginjak kakinya yang berada di bawah meja. Bukan apa-apa. Dimi hanya tak suka jika ada orang yang sok kenal dengannya.
"Duduk aja," perintah Garda lembut, mengabaikan Dimi yang kini menatapnya kesal.
Neta yang tengah menahan tawanya itu pun mendudukan bokongnya. Gadis itu duduk tepat di sebelah Dimi, membuatnya menjadi perhatian dan objek kengirian para siswi yang ada di kantin. Goldi menatap Neta tak percaya dari bangku tempatnya makan.
"Gila!" gumam Goldi pelan. Gadis itu masih tidak percaya dengan aksi teman sebangkunya.
"Kakak kelas apa?" tanya Neta pada Garda sebelum menyuap kembali Siomaynya yang sudah dingin itu.
"Gue, maksudnya kira berdua, kelas dua belas IPA satu." Garda tak bisa berhenti memandangi wajah Neta. Seakan terhipnotis oleh pahatan sempurna yang ada di depannya.
"Nama Kakak siapa? Saya, Neta." Neta menyodorkan tangannya pada Garda. Pemuda itu pun langsung menyabet tangan Neta, sama sekali tak mau kehilangan kesempatan seperti itu.
"Nama gue Garda," ujar Garda sambil menggerak-gerakan jabatan tangannya.
"Kalo Kakak, siapa?" Neta kini beralih pada pemuda di sampingnya. Tangan gadis itu masih mengambang di udara, menunggu untuk Dimi menyambutnya.
"Gue rasa, karena lo udah manggil gue 'Kakak', lo udah tau siapa gue," ujar Dimi datar, membuat senyum yang terpatri rapi di wajah Neta sedikit menghilang. Neta menggepalkan tangannya di udara sebelum kembali menariknya.
"Oh, begitu?" ujar Neta dengan sisa senyumnya. Entah mengapa suasana di meja itu tiba-tiba mendadak canggung.
"Lo kelas berapa?" Garda akhirnya bertanya pada Neta. Pemuda itu berusaha mencairkan suasana.
"Saya kelas sebelas IPA satu, Kak," jawab Neta dengan senyumnya yang telah kembali seperti semula. Gadis itu memang malu karena perlakuan Dimi barusan. Tapi bukan Neta namanya jika tak memiliki rencana besar.
"Kakak masih enggak mau ngasih tau nama Kakak ke saya?" Neta menolehkan wajahnya, kembali menatap Dimi yang hampir saja tersedak makananannya karena terkejut oleh Neta yang kembali bertanya kepadanya.
"Enggak," jawab Dimi singkat sebelum kembali menyantap makanannya.
"Kenapa?" Neta masih menatap wajah pemuda itu yang mulai risih dengan kehadirannya.
"Emang gue harus punya alesan buat ngasih tau nama gue ke lo?" Dimi meletakan sendok dan garpunya. Selera makan pemuda itu tiba-tiba saja hilang.
"Harus, Kak. Saya kan mau kenalan secara langsung." Neta sama sekali tak mengalihkan pandangannya. Gadis itu masih setia menatap Dimi.
"Ck. Gue enggak mau pacaran. Itu poin pertama yang lo harus tau. Jadi, sia-sia lo ngajak gue kenalan." Dimi menolehkan kepalanya, berujar dan menatap datar Neta yang kini terpaku. Bukan. Gadis itu bukan terpaku karena ucapan Dimi. Jantung Neta berdegup kencang dengan sendirinya ketika Dimi menatapnya.
"Ekhm." Neta berdehem, membersikhan tenggorokannya yang tiba-tiba saja menjadi serak sekaligus menormalkan degupan jantungnya.
"Kakak narsis juga, ya? Saya emang pasti ngajak Kakak pacaran? Saya cuma mau kenalan secara langsung aja, kok." Neta berujar santai. Gadis itu berhasil mengontrol emosinya.
Tawa Garda terdengar sangat kencang. Pemuda itu terbahak-bahak mendengar ucapan Neta. Untuk pertama kalinya Garda melihat sahabatnya kehabisan kata-kata.
"Nga-ngapain emang lo ngajak gue kenalan kalo ujungnya bukan buat kesana?" tanya Dimi sedikit tergagap. Pemuda itu berusaha membersihkan namanya agar tak menjadi bulan-bulanan Garda yang berisik.
"Saya anak baru, Kak. Emang salah, ya, kalo anak baru ngajak kenalan?" Neta menaikan sebelas alisnya. Untuk pertama kalinya, Dimi merasa sedikit terintimidasi oleh seorang perempuan yang seumuran dengannya. Hanya ibunya yang bisa membuat Dimi merasa terintimidasi. Kini, gadis yang duduk di sebelahnya ternyata bisa melakukan hal yang sama.
"Enggak, kok, Neta. Enggak salah. Dimi ini emang kayak gitu," ujar Garda tak mau suasana canggung kembali menyelimuti mereka.
"Kayak gitu gimana, Kak? Sombong dan kepedean?" Sebelah bibir Neta sedikit terangkat. Rupanya keputusannya untuk mendatangi meja ini bukan lah suatu kesalahan.
"Iya, iya. Dimi emang begitu." Garda terbahak sementara Neta mendengar dengan jelas Dimi menggeram ditempatnya.
"Oh, begitu. Berarti di pertemuan kita selanjutnya, Kakak harus kasih tau nama Kakak, ya, ke saya." Neta meneguk Es Jeruknya yang belum sama sekali gadis itu sentuh.
"Enggak akan," jawab Dimi singkat, padat, dan jelas. Neta menggenggam gelas Es Jeruknya dengan erat. Kini gadis itu tengah dilanda kekesalan akibat ucapan Dimi.
"Sabar Zaneta. Lo bisa taklukin nih orang kayak yang udah-udah," batin Neta sambil mengatur napasnya. Neta butuh bernapas dengan lancar untuk menetralkan kekesalannya.
"Lo ngapain disini?!" Tiba-tiba saja segerombolan gadis datang, mengganggu Neta yang tengah menetralkan kekesalannya. Kini gadis itu menjadi dua kali lebih kesal.
"Enggak liat?" Neta menjawab sekenanya. Gadis itu melepaskan genggaman tangannya pada gelas Es Jeruk yang ia genggam.
"Enggak liat?" Gadis yang bertanya kepada Neta itu mengulang pertanyaan Neta.
"Gue lagi duduk," jawab Neta pada akhirnya sambil menatap santai ke arah gadis yang berbicara kepadanya. Neta yakin satu hal. Gadis yang tengah berbicara kepadanya itu adalah pemimpin gerombolan sapi yang kini berdiri di hadapannya.
"Lo enggak tau siapa gue?" Gadis itu bersungut kesal karena jawaban Neta.
"Enggak," jawab Neta lagi. Kini selera makannya benar-benar sudah hilang. Neta kesal bukan main karena ada yang berani mengusiknya.
"Gue Mikayla dan tempat yang lo dudukin itu, tempat gue!" Mika berseru kesal, merasa gadis yang duduk di sebelah calon pacarnya itu tak takut kepadanya.
Sebuah seringaian tipis terbit di wajah cantik Neta. Tak ada yang dapat menyadari itu. Ternyata gadis yang berdiri di hadapannya adalah Mika yang tadi dibicarakan oleh Goldi. Bak sekali dayung dua tiga pulau terlampaui, Neta merasa senang bukan main. Tak ada takut sama sekali di hatinya. Dia Zaneta Oswald. Si Angsa Hitam yang ambisius dan tak gentar. Kedatangan Mika tentu membuatnya dengan mudah menjadi gadis nomor satu di sekolah barunya.
Neta memandang Mika, menilai seberapa besar poin kepopuleran yang akan dia dapatkan jika berhasil membungkam gadis itu. Lagi, Neta kembali menyeringai. Poinnya cukup besar kali ini.
"Bangku ini kosong waktu gue dateng," ujar Neta yang sama sekali tidak mau bangkit dari kursinya.
Garda menatap takjub kepada Neta sementara Dimi hanya diam saja, menunggu kelanjutan perang ini. Sebenarnya Dimi kadang merasa beruntung karena memiliki fans seperti Mika. Ia hanya perlu menghadapi gadis itu karena gadis-gadis yang mengejarnya sudah terlebih dulu Mika singkirkan.
"Sekarang gue udah dateng dan lo harus pergi dari sini!" Mika bersedekap. Gadis itu memandang Neta dengan tatapan membunuhnya. Namun Neta adalah Neta. Tak ada yang bisa membuat gadis itu takut sama sekali. Bahkan Pak Wahyu dan Bu Nina pun memilih untuk mengalah terhadapnya.
"Gue enggak mau," ujar Neta datar. Garda dan Dimi pun mematung di tempat mereka. Tak percaya jika ada anak baru semacam Neta.
"Gue bilang bangun, ya, bangun!" seru Mika dengan suaranya yang kencang, menarik perharian seisi kantin. Goldi yang mendengar itu hanya bisa mendoakan Neta dari kejauhan, sama sekali tak berani membawa kabur Neta dari hadapan Mika.
"Kalo gue bilang enggak mau, ya, berarti gue enggak mau. Lo enggak denger? Cari kursi lain sana!" Neta mengikuti cara Mika berbicara, membuat gadis itu kesal setengah mati.
"Lo enggak tau siapa gue?! Gue ini Mikayla! Kakak kelas lo!" seru Mika kesal.
"Enggak tau. Tapi, makasih. Berarti lo kenal gue. Buktinya lo jabarin kalo lo kakak kelas gue saat gue enggak tau lo siapa," balas Neta telak. Seisi kantin menahan tawanya termasuk Garda yang duduk di hadapan Neta.
Karena habis kesabaran, tangan Mika bergerak, hendak menampar wajah cantik Neta. Namun karena bisa membaca gerakan Mika, Neta berhasil menahan tangan gadis yang tengah berapi-api itu. Suara decitan kursi yang bergesekan dengan lantai terdengar di kantin yang mendadak sepi itu. Neta bangkit dari kursinya sebelum menghempaskan tangan Mika dengan kasar.
"Jangan suka mulai main fisik sama gue. Gue enggak suka!" seru Neta yang kini menatap tajam ke arah Mika. Semua orang yang berada di kantin itu pun seolah menahan napas mereka.
"Makanya jangan suka cari masalah sama gue!" Mika menatap tajam ke arah Neta.
"Cari masalah? Bukannya lo yang dateng-dateng ganggu gue?" Satu fakta yang membuat Neta mendapatkan poin besar.
"Ini tempat gue! Lo duduk disitu berarti lo cari masalah sama gue!" seru Mika yang tak terima.
Byurr.
Tiba-tiba Es Jeruk yang baru diminum sedikit oleh Neta itu tumpah tepat di atas kepala Mika. Seisi kantin lagi-lagi dibuat melongo oleh ulah Neta.
"Ini baru namanya cari masalah," ujar Neta santai.
"Lo!" seru Mika kesal bukan main sementara teman-teman gadis itu menahan Mika, berusaha membawa sahabatnya pergi dari sana karena Neta sudah benar-benar mempermalukannya.
"Selera makan gue jadi rusak. Besok-besok, tolong, jangan diulangin. Atau gue bakalan cari masalah yang lebih dari ini." Neta meletakan gelas Es Jeruknya dengan kencang, membuat seisi kantin ikut tersentak. Neta berlalu begitu saja, meninggalkan kekacauan yang telah dibuatnya.
"Ayo, Mik. Malu tau." Seorang teman Mika menarik paksa gadis itu, menjauhkannya dari keramaian.
"Gila! Tuh cewek bener-bener gila!" seru Garda setelah kepergian dua singa betina itu. Garda masih tak percaya jika ada orang semacam Neta.
Dimi menghela napas kasar. Nyatanya menghadapi Mika memang lebih mudah dari pada gadis yang ada di sebelahnya tadi. Sepertinya Dimi butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi gadis itu di lain waktu.
