LIMA
Keempat orang pemuda yang mendengar suara Vinaya itu menolehkan kepalanya, menatap terkejut kedatangan Vinaya dengan seorang gadis cantik yang berada di belakangnya.
"Lho? Gerry?" Vinaya sedikit kaget karena menemukan Gerry di salah satu kumpulan pemuda itu.
"Eh? Sore, Tante." Gerry pun bangkit dari kursinya dan menyalami Vinaya. "Neta?"
"Hai, Ger." Neta tersenyum membuat Ravi-teman Gerry, bersiul di tempatnya. Sementara kedua pemuda yang lainnya menatap heran.
"Kok Tante Vina sama Neta disini?" tanya Gerry sopan.
"Mami yang punya resto ini, Ger," jawab Neta masih dengan senyumnya. Entah lah, gadis itu hanya ingin tersenyum kepada Gerry untuk menutupi kekesalannya pada Dimi yang duduk di salah satu bangku yang ada di sana.
"Lho? Ini restonya Tante? Gerry baru tau, lho." Gerry tertawa, memamerkan gigi rapihnya. "Kenalin Tante, temen-temen Gerry."
"Saya Ravi, Tante." Ravi bangkit dari duduknya, menyalami Vinaya. Dia Ravi Alandra, sahabat Gerry sejak pemuda itu duduk di bangku SMP.
"Saya Garda." Gantian, kini Garda yang menyalami Vinaya. Iya, Garda yang itu. Yang tadi di kantin tak bisa mengalihkan pandangannya dari Neta.
"Dimi," ujar Dimi singkat sambil menyalami Vinaya. Tanpa sadar, Neta memutar kedua bola matanya karena sikap sok cool Dimi.
"Saya Vinaya. Ini anak bungsu saya, namanya Neta. Gerry pasti udah kenal, kan?" Vinaya menggoda Gerry membuat pemuda itu salah tingkah.
"Miiii," rengek Neta. Gadis itu menegur Vinaya agar tak menggoda Gerry. "Nanti Gerry malu."
"Masa malu, sih, Ta?" Gerry tertawa mendengar ucapan Neta.
"Udah, udah. Kalian mau makan dulu atau langsung manggung?" tanya Vinaya mengalihkan topik pembicaraan, takut Neta akan kembali merajuk.
"Manggung dulu aja kali, ya?" Gerry menolehkan kepalanya, meminta persetujuan ketiga temannya.
"Boleh," jawab Dimi singkat. Diikuti oleh Ravi dan Garda yang melakukan hal yang sama.
"Yaudah, boleh cek sound dulu." Vinaya tersenyum. "Eh? Kalian udah minum? Tante pesenin dulu, ya. Kalian kesana aja."
Vinaya pun berlalu meninggalkan putrinya bersama dengan keempat pemuda itu untuk memesankan minum.
"Sehat, Ta?" tanya Ravi. Pemuda itu masih terkejut menemui Neta disana. Apa lagi ia baru tahu jika orang tua Neta yang memiliki restoran itu.
"Sehat, Kak Ravi. Kak Ravi sehat?" Neta tersenyum. "Kaget gue liat Kak Ravi disini."
"Lah, gue lebih kaget lagi, Ta. Lo kaga nongol-nongol di sekolah sampe bikin si Geger jadi geger beneran." Ravi terkekeh. "Gue sehat, kok."
"Bentar, bentar. Kalian saling kenal?" Garda akhirnya menyuarakan apa yang ada didalam pikirannya.
"Siapa yang enggak kenal Neta, sih, Gar? Satu sekolah juga kenal siapa Neta." Ravi yang menjawab pertanyaan Garda itu. "Pacarnya kapten basket Smapram."
"Anjir!" Garda membuka mulutnya lebar-lebar. "Lo pacarnya Gerry, Ta?"
"Udah enggak, Gar." Kini gantian, Gerry yang menjawab. Takut Neta merasa tidak enak dengan topik pembahasan itu. "Udah, ah. Ayo, manggung."
Neta hanya tersenyum. Namun sedetik kemudia senyum gadis itu hilang karena Dimi masih sama, tak mau melihat ke arahnya.
Gerry dan teman-temannya itu pun naik ke atas panggung kecil. Panggung yang sepertinya baru di buat di restoran itu.
Suara tabuhan drum mulai terdengar, sebagai tanda lagu yang mereka bawakan sudah di mulai.
Dimi memegang mikrofon, secara tak langsung memberi tahu jika dirinya ada di posisi vokali. Gerry memegang gitar yang sudah di sediakan oleh restoran Vinaya. Sedangkan Garda ada di posisi bassis. Terakhir, Ravi sebagai drummer.
Hello there, the angel from my nightmare
The shadow in the background of the morgue
The unsuspecting victim of darkness in the valley
We can live like Jack and Sally if we want
Where you can always find me
And we'll have Halloween on Christmas
And in the night we'll wish this never ends
We'll wish this never ends
I miss you, I miss you
I miss you, I miss you
Neta menatap ke arah panggung, terhanyut dengan suara merdu Dimi.
Where are you? and I'm so sorry
I cannot sleep, I cannot dream tonight.
Neta mematung. Dirinya seakan mendengar penderitaan Dimi. Pemuda itu seperti merindukan seseorang.
Neta terus menatap ke arah panggung, pikiran gadis itu sekarang kosong. Bahkan Neta sudah tak mendengar sama sekali lagu yang band mantan pacarnya itu bawakan karena terlalu fokus pada pikirannya sendiri.
"Ta?" Vinaya kembali ke meja tadi dan menemukan putrinya tengah berdiri dengan tatapan kosong. "Kamu enggak duduk?"
"Eh? Mami?" Neta kaget. Benar-benar kaget. "Enggak. Mau nunggu Mami aja."
"Gimana?" Vinaya memberi kode ke arah panggung kecil di sudut restorannya. "Bagus?"
"Bagus, kok, Mi." Neta tersenyum kecil.
"Bagus bandnya atau Gerrynya?" Vinaya menggoda putri bungsunya.
"Mi. Enggak enak kalo Gerry denger. Nanti Gerry salah paham." Neta merajuk.
"Iya, iya. Mami tau, kok." Vinaya mengusap puncak kepala Neta, membuat gadis itu sedikit tersentak.
Bukan. Neta bukan tersentak karena Vinaya mengusap kepalanya. Neta tersentak karena dibayangannya, Gerry yang tengah melakukan itu sambil tersenyum.
"Kamu kenapa?" Vinaya berhasil menangkap gelagat aneh putrinya. "Capek?"
"Enggak, kok, Mi. Neta enggak apa-apa." Neta tersenyum, tak mau membuat Vinaya khawatir dan kembali bertanya-tanya. Sebab dari sudut mata Neta, gadis itu menangkap Gerry dan teman-temannya tengah berjalan ke arahnya.
"Gimana, Tante?" tanya Gerry dengan senyuman di wajahnya.
"Bagus, kok." Vinaya balas tersenyu. "Iya, kan, Ta?"
"Iya. Bagus, kok, Ger." Neta mengacungkan kedua ibu jarinya.
Gerry nampak senang hingga membuat Ravi menyenggol-nyenggol tubuh pemuda itu.
"Jadi, gimana?" Kini Dimi angkat bicara. "Apa kita bisa netep manggung disini?"
"Oh, itu. Bisa, dong." Vinaya menyodorkan map yang sedari tadi wanita bawa setelah kembali dari memesan minuman. "Kalian baca dulu aja. Ini kontrak kerja sama. Ya, emang enggak seluar biasa itu, sih. Tapi saya ini tipe orang yang enggak bisa main-main sama sesuatu. Kalo ada kontrak, kan sama-sama enak."
Dimi menganggukan kepalanya sebelum menerima map yang disodorkan oleh Vinaya. "Kita baca dulu ya, Tante," ujar Dimi.
***
"Terima kasih, ya, sudah mau bergabung di sini." Vinaya menjabat satu persatu tangan dari keempat pemuda yang kini menatapnya senang.
"Kami yang makasih, Tante." Gerry tersenyum.
"Ta, kamu mau pulang sekarang?" Vinaya menatap putrinya yang sedang berdiri di dekat Gerry. "Udah jam segini. Bentar lagi makan malem. Nanti Wina nungguin kasian."
"Emm ... Neta sama Gerry aja deh, Mi." Neta menatap Gerry. "Enggak apa-apa, kan, Ger?"
"Enggak apa-apa, kok, Neta. Buat Neta pokoknya boleh," jawab Ravi. Pemuda itu langsung mendapat pelototan dari Gerry.
"Lo mau bareng gue, Ta?" tanya Gerry tak bisa menyembunyikan ekspresinya yang kelewat senang.
"Iya, Ger. Enggak boleh?" Neta memainkan jarinya. "Kalo enggak boleh, gue balik sama Mami aja sekarang."
"Boleh, kok, Ta." Gerry tersenyum.
"Yaudah. Hati-hati, ya, nanti. Mami duluan." Vinaya berpamitan kepada orang-orang yang ada di hadapannya itu.
"Mami yang hati-hati." Neta tersenyum. "Jangan kangen sama Neta."
Vinaya hanya menggeleng-gelengkan kepalanya menanggapi putrinya yang tertawa ke arahnya.
"Permisi." Seorang pelayan mendatangi meja mereka tepat setelah kelima orang itu mendudukan bokongnya diatas kursi. "Ini pesanannya."
"Edaaan. Dipesenin minum yang dateng makanan," ujar Ravi dengan wajah cengengesannya.
Seporsi Tenderloin Steak dengan tingkat kematangan well done diletakan dihadapan tiap orang yang duduk melingkar itu. Tak lupa segelas lemon tea ikut di letakan di sisi atas piring yang berisi makanan itu. Kecuali Neta, gadis itu lebih memilih untuk meminum Milkshake Vanilla.
"Sini, Ta." Gerry mengambil piring Neta lalu memotong-motong daging steak milik mantan kekasihnya itu.
"Makasih, Ger." Untuk pertama kalinya, Neta berujar dengan tulus kepada Gerry. Gadis itu tak bisa berhenti memikirkan Gerry sejak ia tiba di kamarnya. Neta masih tidak mengerti, kenapa baru sekarang ia kepikiran dengan Gerry.
"Ekhm." Ravi berdehem. "Aku juga mau dong Kak Geger."
"Lo ngerusak suasana banget, Bung!" Garda terbahak di tempatnya.
"Tau ya, Gar. Anjir banget emang si Ravi." Gerry menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kurang belaian kali ya."
"Anjing lo, Ger!" Ravi yang kesal itu pun melempar Gerry dengan kentang goreng yang menjadi pelengkap menu makan malamnya kali ini.
"Astaga, Vi. Mulut lo kontrol dikit napa." Gerry menyentil kening Ravi kencang hingga pemuda itu kesakitan. Neta tertawa melihatnya. Namun tawa gadis itu tak berlangsung lama saat melihat Dimi yang diam saja.
"Kak," tegur Neta. "Diem aja. Sariawan?"
Dimi hanya menatap Neta sekilas sebelum memulai makan malamnya. Suasana di meja itu mendadak canggung karena sikap Dimi yang seperti itu. Bukan. Bukan karena ketiga teman Dimi yang tak mengenal pria itu. Ketiga temannya itu sangat mengenal Dimi. Namun Neta?
"Kak." Neta menatap Dimi yang sama sekali tak menjawab panggilannya. "Kita beneran belom kenalan, lho."
"Penting?" Dimi menjatuhkan garpu dan pisaunya lumayan keras hingga Neta tersentak di tempatnya.
"Dim." Gerry menegur tingkah Dimi. Pemuda itu tak suka jika ada yang berperilaku seperti itu pada Neta. Pasalnya, Gerry saja selalu memperlakukan Neta seperti ratunya. Wajar jika pemuda itu tak terima dengan sikap Dimi.
"Gue heran." Dimi menatap tajam Neta. "Enggak ngerti, ya, sama omongan gue?"
"Dim." Kini gantian Garda yang menegur Dimi.
"Lo pada jangan hentiin gue, deh. Muak banget gue asli sama cewek kayak dia!" Dimi tak melepas pandangannya dari Neta. "Cewek yang bisanya cuma main-main sama perasaan cowok. Sok manis. Sok ngajak-ngajak kenalan. Emang gue enggak tau otak lo?!"
"Lho? Emangnya salah kalo gue ngajak kenalan?" Neta menatap Dimi aneh. Sungguh, Dimi benar-benar bersikap berlebihan.
"Salah! Udah jelas gue enggak mau. Tapi lo masih aja maksa-maksa gue." Dimi menghela napas kasar. "Kayak enggak punya harga diri tau, enggak?!"
Detik itu juga Gerry bangkit dari kursinya, hendak menghajar Dimi karena kata-katanya terdengar begitu menusuk hati siapa saja yang mendengarnya. Namun tangan Neta menahan lengan Gerry. Gadis itu menggenggamnya lumayan kencang. Gerry kaget melihat Neta yang terlihat ingin menangis.
"Ayo, balik." Gerry memaksakan senyumnya. "Gue anter sekarang. Kita makan nanti aja."
Suasana tegang di meja itu tak terelakan hingga Neta bangkit dan berjalan pergi keluar restoran bersama Gerry yang merangkul bahunya.
