Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

SATU

Seorang gadis cantik turun dari mobil mewahnya. Gerakan gadis itu terlihat sangat anggun, membuat puluhan pasang mata yang menyaksikannya turun dari mobil terpukau begitu saja. Neta turun dari mobilnya lalu merapikan kondisi bajunya yang sedikit kusut karena duduk di dalam mobil. Setelah itu, Neta membenarkan anak rambutnya yang terlihat sedikit berantakan.

Siapa yang melihat gadis itu pun sudah tau statusnya. Mobil mewah, sepatu keluaran terbaru, tas sekolah yang kelewat biasa, serta ponsel mahal keluaran terbaru yang digenggam erat di tangannya. Bukan anak orang sembarangan.

Zaneta Oswald. Nama gadis itu tercetak dengan rapi di name tag yang berada disebelah dada kanan jas almamater yang membentuk pas di tubuhnya, seperti jas almamater yang di buat khusus dari bahan yang paling istimewa. Begitu yang puluhan pasang mata itu lihat pagi ini.

Neta berjalan dengan congak ketika mobil yang ditumpanginya itu akhirnya berlalu meninggalkannya. Tak sedikitpun Neta turunkan pandangan matanya. Gadis itu berjalan dengan dagu yang terangkat dan membelah kerumunan yang sedari tadi memandangnya penasaran.

Harum minyak wangi mahal mengiringi langkah kaki Neta. Bahkan setelah gadis itu berlalu dari jalan yang di lewatinya.

"Gila! Akhirnya gue liat bidadari beneran!" Garda berdecak kagum memandangi Neta yang baru saja melangkah melewatinya. Pemuda itu pun menyenggol-nyenggol orang yang ada di sebelahnya.

"Dim, cantik banget, ya?" tanya Garda karena pemuda yang ada di sebelahnya itu hanya diam saja.

"Dim! Lo denger enggak, sih?" Garda menolehkan kepalanya, menatap kesal ke arah sahabatnya. Dimitri Stone, Si Pria Batunya SMA Nusa Raya.

Dimi hanya diam dan berlalu begitu saja. Sama sekali tak tertarik dengan gadis yang telah membuat kehebohan di sekolahnya pagi ini.

"Wah, gila tuh anak! Dim! Woy! Tunggu!" Garda pun mengejar Dimi yang sudah berlalu meninggalkannya.

***

Suasana kelas yang awalnya ramai itu mendadak sepi ketika Harun masuk sambil berlari ke dalam kelasnya.

"Pak Wahyu dateng sama anak baru!" seru Harun sebelum duduk di kursinya.

Sesungguhnya murid-murid di dalam kelas itu ingin sekali mengobrol, membicarakan anak baru yang sepertinya akan menetap di kelas mereka. Namun mendengar Harun menyebut nama Pak Wahyu, murid-murid di dalam kelas itu pun mengurungkan niatnya dan lebih memilih untuk mengunci mulut mereka rapat-rapat.

Membicarakan anak baru tentu menjadi pembicaraan yang seru. Namun Pak Wahyu tidak suka mendengar hal yang seru itu-mengobrol dikelasnya.

Suara sepatu yang beradu dengan lantai itu semakin terdengar mendekati ruang kelas XI-IPA 1.

"Selamat pagi," ujar Pak Wahyu ketika melewati pintu kelas. Seorang gadis cantik mengekor di belakangnya.

"Kelas kita kedatangan murid baru. Saya harap kalian bisa berteman baik. Tapi ingat, saya tidak suka kalian berisik. Jadi, kamu-" Pak Wahyu menunjuk Neta yang berdiri di sebelahnya "-perkenalkan diri kamu. Setelah itu duduk di kursi yang kosong," ujar Pak Wahyu sebelum duduk di kursinya.

"Zaneta Oswald. Panggil aja Neta." Neta berujar singkat. Hanya itu. Gadis itu sama sekali tak berniat memberitahu asal sekolahnya dulu. Tidak penting menurutnya.

"Pak." Neta memanggil Pak Wahyu yang tengah membuka buku absensinya.

"Apa?" Suara dingin Pak Wahyu menggema di ruang kelas itu, membuat murid yang ada di sana bergidik ngeri.

"Saya mau duduk di depan, Pak," ujar Neta terus terang.

"Duduk saja di kursi yang ada," jawab Pak Wahyu.

"Saya maunya di depan, Pak. Saya mau fokus belajar." Neta bersikukuh dengan pendiriannya.

"Kamu tidak dengar saya bilang apa? Duduk saja di kursi yang ada!" Pak Wahyu berujar tegas. Berharap Neta segera duduk ke tempatnya agar ia bisa memulai pelajarannya.

"Bapak ini gimana? Saya mau nuntut ilmu dengan benar, lho, Pak. Masa Bapak ngelarang saya?" Neta bersungut kesal.

Pak Wahyu pun berdiri, bangkit dari kursinya.

"Duduk di sini kalau begitu," perintah Pak Wahyu sambil menunjuk kursinya.

"Makasih, Pak." Neta berjalan santai dan meletakan tasnya begitu saja di kursi khusus untuk guru yang tersedia di depan kelas. Membuat teman sekelasnya itu melongo dengan kelakuan gila Neta.

Terdengar suara bisik-bisik dari teman sekelasnya dan Neta sama sekali tidak memperdulikan itu. Tujuan Neta hanya satu, ia ingin menjadi yang nomor satu dalam segala hal. Neta pun mengeluarkan bukunya. Beruntung, minggu lalu ia sudah mengambil seragam dan mendapatkan jadwal pelajaran hingga tak salah membawa buku hari ini.

Pelajaran di kelas itu pun dimulai setelah Pak Wahyu berdehem, memperingati muridnya yang berbisik-bisik.

***

Jam pelajaran Pak Wahyu telah selesai. Kini guru mata pelajaran lain masuk ke dalam kelas Neta. Bu Nina, guru kesenian, menatap bingung dengan kursinya yang terisi oleh sosok gadis cantik yang belum pernah di lihatnya.

"Kamu siapa?" tanya Bu Nina lalu meletakan buku miliknya diatas meja.

"Perkenalkan, Bu. Nama saya Zaneta Oswald. Panggil aja Neta," ujar Neta santai sambil merapikan mejanya. Neta tak suka jika mejanya berantakan.

"Kamu ngapain disini?" tanya Bu Nina heran.

"Saya mau duduk di depan, Bu. Terus Pak Wahyu nyuruh saya duduk disini karena kursi di depan enggak ada yang kosong," jelas Neta.

"Duduk aja di kursi yang ada." Bu Nina menatap Neta, mulai sedikit kesal karena ia masih saja berdiri di depan mejanya.

"Saya enggak mau duduk di belakang, Bu. Saya enggak suka. Enggak bisa fokus." Neta bersikeras mempertahankan tempat duduknya.

Bu Nina menghela napas kasar. Sepertinya wanita itu tau alasan Pak Wahyu menyuruh gadis dihadapannya itu untuk duduk di sana.

"Danu, kamu pindah ke belakang. Kamu, Neta. Silahkan duduk disitu." Bu Nina menunjuk kursi yang ada di hadapannya.

"Makasih, Bu." Neta tersenyum senang, merasa menang karena telah mendapatkan tempat duduk yang diinginkannya. Gadis itu pun segera berlalu, bermigrasi ke tempat barunya.

Sekali lagi, teman kelasnya di buat melongo oleh tingkah ajaibnya.

***

"Nama lo ... Neta?" tanya seorang gadis yang duduk sebangku dengan Neta tepat ketika Bu Nina keluar dari kelas mereka.

"Iya," jawab Neta singkah sebelum merapikan buku pelajarannya untuk dimasukan kembali ke dalam tasnya.

"Kenalin, nama gue Goldi Andini. Panggil aja Dee." Goldi menyodorkan tangannya, mengajak bersalaman.

"Neta," ujar Neta singkat seraya meraih uluran tangan Goldi dan menjabatnya.

"Mau ke kantin bareng?" ajak Goldi dengan senyum yang menghias di wajahnya.

"Boleh." Neta mengangguk setuju dan segera bangkit dari kursinya. Mereka pun pergi ke kantin bersama sebelum teman kelas yang lainnya mendatangi meja Neta dan mengajak berkenalan.

***

"Jadi, dulu lo sekolah dimana?" tanya Goldi setelah mereka mendapatkan tempat duduk.

"Dari SMA Pramudia," jawab Neta sambil meletakan siomay yang ia beli tadi.

"Smapram? Berarti kenal Gerry, dong? Ihhh, dia kan ganteng banget." Mata Goldi berbinar, membayangkan wajah tampan Gerry, kapten basket di sekolah lama Neta.

"Biasa aja." Neta menyuap siomay ke dalam mulutnya. Dalam hati ia bersorak menang. Gerry Antariksa, most wanted SMA Pramudia, mantan pacar Neta dan masih mengejar-ngejar Neta hingga sekarang.

"Masa, sih? Dia ganteng banget, lho. Gue pernah ketemu sekali waktu beli minuman di Cafe deket Smapram." Goldi masih tidak percaya dengan ucapan Neta tentang Gerry yang biasa saja. Menurutnya, Gerry lebih dari sekedar biasa.

Suasana di kantin mendadak sepi ketika dua orang pemuda masuk ke dalam sana. Tak lama, riuh suara berbisik terdengar di semua penjuru kantin, membuat Neta mau tak mau menatap penasaran ke arah pintu masuk kantin.

"Siapa?" tanya Neta pada Goldi ketika melihat dua orang pemuda berjalan ke salah satu stan makanan yang ada disana.

"Oh. Itu yang paling ganteng, namanya Kak Dimi. Yang disebelahnya, yang ganteng juga tapi gantengan Kak Dimi, namanya Kak Garda. Mereka berdua kelas dua belas dan selalu jadi inceran cewek-cewek disini. Tapi sayang ...." Goldi menggantung kalimatnya.

"Sayang apa?" Neta menjadi penasaran. Sebelah alisnya bahkan sampai naik saking penasarannya.

"Sayangnya Kak Dimi rumornya enggak suka sama cewek," ujar Goldi dengan polosnya, membuat Neta tertawa seketika.

"Masa, sih?" tanya Neta di sela tawanya.

"Iya. Belum ada cewek yang jadi pacarnya. Padahal dia itu ada di urutan paling pertama cowok yang harus di pacarin di sekolah ini," jelas Goldi setengah berbisik. Takut jika ada yang mendengarnya membicarakan Dimi. Bisa-bisa ia dilabrak oleh Mikayla, anak kelas dua belas yang mengejar-ngejar Dimi sejak mereka duduk di kelas sepuluh.

Tiba-tiba seulas senyum mengembang di wajah Neta. Kini gadis itu tau harus melakukan apa selain harus menjadi yang paling pintar di kelasnya. Neta harus jadian dengan Dimi. Bagaimana pun caranya, Neta tak perduli. Neta harus menunjukan eksistensinya. Neta butuh pengakuan tentang siapa dirinya. Ia harus menjadi gadis nomor satu di sekolah barunya.

Neta bangkit dari duduknya, bertepatan dengan Dimi dan Garda yang duduk tak jauh darinya.

"Lo mau ngapain, Ta?" tanya Goldi yang menatap Neta bingung.

"Mau samperin Kak Dimi," jawab Neta santai membuat Goldi hampir saja menjatuhkan rahangnya karena terlalu syok mendengar ucapan Neta.

"Jangan, Ta." Goldi menahan tangan Neta yang hendak membawa Siomay dan Jus Jeruk milik gadis itu.

"Kenapa?" Neta lagi-lagi menatap heran ke arah Goldi. Tak ada larangan di dalam kamusnya.

"Ada Kak Mika disini. Lo jangan deket-deket sama Kak Dimi." Goldi berbisik pelan, benar-benar takut ada yang mendengar pembicaraan mereka.

"Kata lo, dia enggak punya pacar." Mata Neta menatap lurus ke arah Dimi yang tengah sibuk menyantap Mie Ayam pesanannya.

"Emang bukan pacaranya. Kak Mika itu suka sama Kak Dimi. Gengnya itu tukang bully, Ta," Goldi berujar khawatir. Padahal mereka baru saja berkenalan.

"Tenang aja. Enggak ada yang bisa bikin kepala gue nunduk. Enggak ada," ujar Neta dengan percaya dirinya. Gadis itu pun melepaskan pegangan tangan Goldi yang sedari tadi menahannya. Neta membawa piring berisi Siomay dan gelas Es Jeruk pesanannya. Gadis itu dengan santai berjalan ke arah meja Dimi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel