SEMBILAN
Neta sampai di depan gerbang rumahnya setelah melewati perjalanan yang cukup panjang karena Dimi memacu pelan kendaraannya.
"Gerry?" ujar Neta pelan saat melihat Gerry tengah duduk di atas kuda besinya dengan ponsel yang menempel di telinganya. Wajah pemuda itu terlihat sangat khawatir.
"Neta?" Gerry nampak kaget dengan kehadiran Neta. Terlihat sekali jika Gerry menghela napas lega. Namun sedetik kemudian, Gerry terpaku di tempatnya saat melihat siapa yang berada di balik punggung Neta.
"Gerry, lo kok disini?" tanya Neta yang menghampiri Gerry, melupakan Dimi yang terdiam di belakangnya.
"Lo chat gue, nanya gue dimana. Sampe nelpon gue berkali-kali. Gue tadi lagi dijalan pulang jadi enggak tau lo hubungin gue. Pas sampe rumah, gue liat hp, ternyata ada missed call dari lo. Gue langsung kesini, takut lo kenapa-napa," jelas Gerry. "Syukur kalo lo udah pulang."
"Hp gue mati, Ger." Neta menunjukan ponselnya. "Tadi pas gue nelpon lo, batrenya abis."
"Lo pulang sama ... Dimi?" Ada nada kecewa di dalam kalimat Neta dan gadis itu menyadarinya.
"Itu ... Pak Herman enggak bisa jemput. Gue makanya nelpon lo, Ger. Tapi hp gue mati." Neta merasa ia harus menjelaskan semuanya, agar Gerry tidak salah paham. "Terus Kak Dimi lewat dan nawarin tumpangan. Lo tau, kan, gue enggak punya pilihan lain?"
"Enggak apa-apa, Ta." Gerry mengacak rambut Neta. Kebiasaan pemuda itu yang kini mulai Neta sukai. "Yang penting lo sekarang udah sampe rumah."
Gerry berjalan menghampiri Dimi setelah merapikan kembali rambut Neta. "Makasih, Dim," ujarnya.
"Iya," jawab Dimi. "Gue balik."
Dimi pun pergi meninggalkan Gerry dan Neta. Dimi tahu jika Gerry merasa tidak nyaman dengan kehadirannya.
"Ayo, masuk, Ger." Neta mengajak Gerry masuk saat dirinya membuka gerbang rumahnya.
"Gue enggak bisa, Ta." Untuk pertama kalinya Gerry menolak ajakan Neta. Gadis itu sedikit terluka. "Gue harus latihan band. Kan lo tau, mulai minggu ini band kita aktif di restoran lo. Maaf, ya."
Neta tersenyum tipis saat mendengar penjelasan Gerry yang terdengar tak ingin menyakiti perasaannya.
"Gue baru tau kalo lo punya band," ujar Neta yang sebenarnya sudah tau apa alasan dirinya tak mengetahui hal itu.
"Itu? Maaf." Gerry lagi-lagi meminta maaf sambil menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal. "Gue latihan kalo lo lagi enggak mood jalan atau chattingan aja. Gue sengaja enggak bilang. Takut ganggu lo."
Neta merasa sesuatu telah menghantam keras kepalanya saat mendengar kalimat yang Gerry ucapkan. Harusnya Neta yang meminta maaf karena sering mengabaikan pemuda itu. Bukannya malah Gerry yang meminta maaf karena tak memberi tahu kegiatannya pada Neta saat gadis itu tengah mengabaikannya.
"Maaf," ujar Neta lirih. Gadis itu sudah sangat tau apa kesalahannya.
"Eh? Jangan, Ta. Jangan minta maaf." Gerry mengacak rambutnya kasar. Pemuda itu tak suka jika Neta menyalahkan dirinya. "Gue yang harusnya kasih tau lo karena lo waktu itu pacar gue dan lo berhak tau apa yang gue lakuin."
Neta merasa hatinya telah diremas dengan sangat kuat sekarang. Gerry meminta maaf atas kesalahan yang tak pemuda itu buat.
"Jangan minta maaf lagi, Ger. Bukan salah lo." Neta tersenyum tipis.
"Yaudah." Gerry balas tersenyum. "Gue balik ya?"
Sungguh Neta merasa kecewa. Ia ingin Gerry berada di sisinya. Tapi, siapa Neta menahan Gerry disini?
"Iya." Neta masih tersenyum. "Hati-hati, Ger."
Gerry menganggukan kepalanya sebelum membalikan tubuhnya. Namun baru satu langkah pemuda itu berjalan, sesuatu menghentikannya.
"Jangan minta maaf sama hal yang enggak lo perbuat, Ger." Neta tiba-tiba saja memeluk Gerry dari belakang.
"Ta?" Gerry sungguh terkejut. "Lo ...."
"Jangan balikin badan lo, Ger." Terdengar sekali jika Neta merasa malu. "Nanti kalo gue udah masuk, lo bebas ngapain."
Gerry terkekeh mendengar penuturan Neta. "Iya, Ta," ujar Gerry dengan senyum yang mengembang di wajahnya.
"Jangan balik, Ger!" Neta perlahan melepaskan pelukannya yang entah mengapa kini terasa berat untuk ia lakukan.
"Bentar, Ta." Gerry menahan tangan Neta dan kembali melingkarkannya di tubuhnya. "Begini sebentar aja. Jujur, gue ... kangen lo."
Neta membeku di tempatnya. Ia sepertinya kini menyadari apa yang ia lakukan. Kenapa ia melakukannya. Neta merindukan Gerry seperti Gerry merindukannya. Dalam sekejab, ucapan Goldi tentang mantan kembali berputar di telinganya.
"Gue ...." Neta ingin mengatakan jika gadis itu juga merindukan Gerry namun ia memilih untuk tak melanjutkan kata-katanya.
"Apa?" tanya Gerry. Penasaran.
"Enggak, Ger." Neta memilih untuk diam dan menikmati momennya bersama Gerry. Bahkan waktu mereka berpacaran dulu, ia tak pernah melakukan ini pada Gerry selain memeluk pemuda itu ketika mereka berboncengan motor.
Gerry menghela napasnya. Pemuda itu ingin sekali Neta melanjutkan ucapannya karena ia penasaran. Namun Gerry adalah Gerry. Pemuda itu takkan pernah memaksa Neta.
Perlahan, Gerry melepaskan genggaman tangannya pada Neta. Ia merasa sudah cukup menahan Neta di depan rumah gadis itu.
"Masuk, gih," ujar Gerry lirih. Gerry ingin menghentikan waktu. Ia ingin berbalik dan memeluk Neta. Tapi Gerry tahu, ia takkan mungkin melakukannya. Ia tak ingin Neta menjauh darinya karena tahu jika dirinya masih mencintai Neta sampai detik ini.
"Jangan balik!" seru Neta lagi sebelum gadis itu benar-benar melepaskan pelukannya. Gerry mendengar suara langkah kaki yang cepat serta suara besi yang saling bergesekan sebelum akhirnya pemuda itu membalikan tubuhnya dan tak menemukan siapa-siapa di belakangnya.
"Maaf, Ta," ujar Gerry lirih.
Bukan. Gerry bukannya bermaksud menghindari Neta. Pemuda itu bahkan masih mencintai Neta. Namun apa yang dikatakan Ravi tadi pagi di sekolahnya cukup membuka mata Gerry.
"Ger, kayaknya gue harus ngomong sama lo," ujar Ravi seraya menahan bahu Gerry yang ingin meninggalkan parkiran motornya. "Penting."
"Apa?" Gerry menaikan alisnya, menunggu Ravi melanjutkan kata-katanya.
"Lo enggak bisa gini terus, Ger." Ravi menghela napas kasar. "Lo enggak bisa deket-deket Neta terus."
"Kenapa?" Gerry bertanya dengan nada tidak suka karena ucapan Ravi.
"Lo udah putus sama Neta, Ger. Lo enggak bisa terus di deket Neta. Bukan gue suka sama Neta. Tapi pertanyaan Garda semalem waktu lo pergi sama Neta bikin gue akhirnya sadar juga. Gue selama ini selalu tutup mata padahal gue tau ada yang salah. Tapi sekarang gue udah enggak bisa begitu, Ger." Ravi menatap Gerry serius.
"Lo mau ngomong apa, sih?! Intinya aja," ujar Gerry kesal. Satu hal yang pemuda itu tahu, ia tak akan suka membahas masalah ini. Gerry tak suka berjauhan dengan Neta.
"Lo kenapa putus sama Neta?" tanya Ravi dengan tatapannya yang lurus ke manik mata Gerry.
Gerry dia. Sampai sekarang pun, Gerry tidak tahu alasan Neta memutuskannya. Neta sama sekali tak memberinga alasan saat gadis itu memutuskan Gerry.
"Lo diem. Lo enggak tau kan, Ger?" Ravi masih menatap Gerry, menunggu pemuda itu menjawab. "Lo sadar enggak, Ger? Neta itu kayak main-mainin lo!"
"Gue enggak suka lo ngomong kayak gitu tentang Neta!" ujar Gerry tegas.
"Kasih tau gue, Ger. Selama ini, apa Neta pernah ngelakuin sesuatu buat lo sampe lo cinta mati banget sama Neta? Jawab, Ger! Apa pernah Neta nungguin lo latihan basket? Yang paling simpel, deh. Neta pernah enggak hubungin lo duluan? Sekedar nanya lo lagi apa? Pernah enggak, Ger?!" Ravi tak bisa lagi menahan emosinya. Ia selama ini hanya berusaha menutup matanya dari hubungan Gerry dan Neta. Tapi pertanyaan Garda semalam benar-benar mengusiknya.
"Gue ...."
"Simpen jawaban lo buat hati lo sendiri, Ger." Ravi lagi-lagi menghela napas kasarnya. "Gue sahabat lo. Gue cuma bisa berusaha bantu buka mata lo. Dulu sebelum kenal Neta, lo bisa hidup normal. Bahkan lo deket banget sama Aluna. Tapi sejak ada Neta, lo terus-terusan sama dia. Disuruh ini mau, itu mau. Enggak habis pikir aja gue sama lo, Ger."
Gerry terdiam. Apa yang dikatakan Ravi nyatanya benar-benar membuat Gerry tersadar dengan apa yang ia lakukan selama ini. Ravi pun pergi, meninggalkan Gerry agar pemuda itu bisa benar-benar berpikir.
"Maaf," Gerry mengujarkan kata maaf lagi dengan suara yang semakin lirih. Pandangan mata pemuda itu pun mengarah ke arah pintu masuk rumah Neta. "Maaf, gue udah bohong, Ta. Gue enggak latihan band. Kita enggak bisa deket-deket terus kalo cuma salah satu dari kita aja yang masih ngarepin hubungan kita balik kayak dulu. Apa yang Ravi bilang tadi di sekolah bener. Gue terlalu berharap sama lo, Ta."
Suara mesin motor berderu kencang, menyarukan suara isak tangis yang tiba-tiba saja terdengar kala mesin motor Gerry di nyalakan. Gerry pun meninggalkan rumah Neta tanpa tahu sama sekali jika Neta bersembunyi di dekat gerbang dan mendengar semua ucapannya.
Neta menangis. Hati gadis itu merasa kecewa karena Gerry telah berbohong padanya. Apa lagi penuturan Gerry tadi membuat Neta tahu jika ia tak boleh menghubungi pemuda itu lagi.
"Kenapa gue nangis, sih?!" Neta mengusap air matanya kasar. Gadis itu kesal karena hatinya terasa nyeri mendengar ucapan Gerry. Namun yang membuat Neta lebih kesal adalah dirinya sama sekali tak mengerti kenapa dadanya terasa sesak sekali seperti ini.
"Lupain Gerry! Kita fokus sama Kak Dimi." Neta berusaha meyakini dirinya sendiri jika ia tak akan mengingat Gerry lagi.
