Bab 5. Pertemuan
Hati Brisa terasa diremas. Perasaan campur aduk memenuhi dadanya. Ada kekecewaan, ketakutan, dan sedikit rasa penasaran. Ia tidak pernah membayangkan hidupnya akan seperti ini.
"Pa, aku belum siap untuk menikah," ujar Brisa lirih.
Pak Aryan menghela napas panjang. "Papa tahu kamu belum siap, Nak, tapi pernikahan ini akan sangat menguntungkan kita. Keluarga Hendratama adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Pernikahan dengan putra mereka akan membuka banyak peluang baru untukmu."
Brisa terdiam. Ia tahu ayahnya hanya menginginkan yang terbaik untuknya. Namun, ia tidak bisa memaksakan dirinya untuk mencintai seseorang hanya karena perjodohan.
"Tapi, Pa, bagaimana jika aku tidak menyukai orang itu?" tanya Brisa.
Pak Aryan tersenyum tipis. "Tentu saja kamu berhak untuk tidak menyukainya. Papa sudah membicarakan hal ini dengan keluarga Hendratama. Mereka setuju jika kamu ingin mengenal calonmu lebih dulu. Jika setelah beberapa kali pertemuan, kamu merasa tidak cocok, kamu tidak perlu melanjutkan hubungan ini."
Brisa merasa sedikit lega mendengar penjelasan ayahnya. "Jadi, aku boleh menolak jika tidak cocok?"
"Tentu saja," jawab Pak Aryan. "Papa tidak ingin memaksamu untuk menikah dengan seseorang yang tidak kamu cintai. Jika kamu tidak bisa menikah dengannya dengan terpaksa, ayah harus menyembunyikanmu sampai melahirkan. Papa sudah memikirkan hal ini beberapa hari terakhir."
Brisa mengangguk. Ia memutuskan untuk mengikuti pertemuan itu. Toh, tidak ada salahnya untuk mencoba mengenal calon suaminya lebih dulu. Siapa tahu, ia bisa menemukan kecocokan dengan pria itu.
"Baiklah, Pa. Aku akan ikut," kata Brisa.
"Bagus," ujar Pak Aryan. "Pakailah pakaian terbaikmu."
Brisa mengangguk patuh. Ia merasa seperti boneka yang sedang diatur-atur. Namun, ia tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa berharap bahwa pertemuan besok akan berjalan lancar.
***
Cahaya matahari pagi menyinari kamar Sagara, perlahan menariknya dari mimpi. Hari ini adalah hari yang sangat penting. Hari di mana ia akan bertemu dengan calon istrinya yang telah dijodohkan. Dengan perasaan yang campur aduk, Sagara bangkit dari tempat tidur.
Di depan cermin, ia mengamati penampilannya. Stelan jas hitam membuatnya terlihat lebih dewasa dan tampan. Rambutnya yang hitam disisir rapi menggunakan gel, memberikan kesan rapi dan elegan. Namun, di balik penampilan yang sempurna itu, Sagara merasa hampa. Ia sama sekali tidak merasakan antusiasme untuk bertemu dengan calon istrinya.
Setelah bersiap-siap, Sagara turun ke lantai bawah. Ayahnya, Pak Raditya, dan ibunya, Bu Arini, sudah menunggu di ruang tamu. Mereka bertiga kemudian berangkat menuju hotel tempat pertemuan akan berlangsung.
Sesampainya di hotel, mereka disambut hangat oleh manajer hotel. Dengan ramah, sang manajer mengantar mereka ke sebuah ruangan VVIP yang mewah. Pak Raditya menjelaskan bahwa hotel ini adalah milik keluarga Sanjaya. Sagara hanya mengangguk tanpa minat.
Sagara duduk di sofa, matanya terus tertuju pada pintu ruangan. Ia merasa sangat tegang. Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dan orang yang ditunggu-tunggu oleh Sagara dan keluarganya memasuki ruangan. Sagara langsung terpaku di tempatnya.
Pintu ruangan terbuka lebar, memperlihatkan sosok Brisa yang anggun dalam balutan gaun indah berwarna biru muda. Rambutnya yang panjang terurai bebas, berkilau di bawah cahaya lampu. Sagara tertegun sejenak, matanya tak berkedip menatap gadis di hadapannya.
Pak Aryan dan Bu Tara saling berpandangan dengan senyum puas. Mereka sudah menduga bahwa Sagara akan terpukau melihat kecantikan Brisa.
"Sagara, kenalkan ini Brisa, calon istrimu," ujar Pak Raditya sambil memperkenalkan Brisa kepada putranya. "Brisa, ini Sagara."
Sagara masih terdiam, tak mampu berkata-kata. Brisa tersenyum tipis, matanya bertemu dengan mata Sagara. Pria yang dihadapannya sekarang adalah pria yg sam di taman kota dan sekarang ia tahu nama pria itu "Sagara Hendratama".
"Senang bertemu denganmu lagi, Sagara," sapa Brisa lembut.
"Eh apa? Aku juga senang bertemu denganmu, Brisa," jawab Sagara akhirnya. Suaranya terdengar sedikit gemetar.
Pak Raditya dan Bu Arini saling bertukar pandangan. Mereka senang melihat Sagara dan Brisa terlihat cocok satu sama lain. Brisa juga tampak senang melihat Sagara. Wajahnya memerah dan tersipu malu.
"Jadi, kalian sudah pernah bertemu sebelumnya?" tanya Bu Arini penasaran.
Brisa mengangguk. "Iya, Bu. Saya pernah bertemu dengan Sagara di taman kota kemarin."
Sagara yang terkejut dan nampak bingung, lalu mengangguk membenarkan. "Iya, Bu. Kami sempat mengobrol sebentar."
Pak Raditya dan Bu Arini saling berpandangan lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lebar. "Wah, ternyata kalian sudah saling mengenal. Ini bagus sekali," ujar Pak Raditya.
Brisa dan Sagara saling menatap dalam-dalam. Keduanya sama-sama merasa bingung dan tidak percaya. Suasana di ruangan itu menjadi hening. Pak Raditya dan Bu Arini saling berpandangan dengan senyum puas. Mereka merasa rencana mereka telah berhasil.
Sagara mencoba untuk mengendalikan emosinya. Ia tidak ingin merusak suasana. Namun, di dalam hatinya, ia merasa sangat bahagia. Ia tidak menyangka akan bertemu wanita secantik Brisa sebagai calon istrinya.
Mereka melanjutkan makan siang sambil mengobrol santai. Percakapan mengalir dengan lancar. Sagara dan Brisa sesekali saling melempar pandangan, senyum tipis terukir di bibir mereka.
Setelah makan siang selesai, Pak Raditya mengusulkan agar Sagara dan Brisa diberi waktu untuk saling mengenal lebih jauh.
"Bagaimana kalau kalian berdua jalan-jalan sebentar di sekitar hotel?" saran Pak Raditya.
Sagara dan Brisa saling berpandangan, lalu mengangguk setuju. Mereka berdua keluar dari ruangan dan berjalan-jalan di sekitar hotel.
"Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini," ujar Brisa memulai percakapan.
"Aku juga tidak," jawab Sagara.
"Aku pikir kita tidak akan pernah bertemu lagi setelah pertemuan di taman itu."
Sagara tersenyum. "Ternyata takdir mempertemukan kita dan ternyata kita sudah dijodohkan oleh orang tua kita."
Brisa mengangguk.
Mereka terus berjalan sambil mengobrol. Sagara menceritakan tentang kehidupannya, begitu pula Brisa. Semakin lama mereka berbicara, semakin dekat perasaan mereka satu sama lain.
Sagara merasa jatuh cinta pada Brisa saat pertama kali melihatnya. Ia memutuskan untuk menerima perjodohan ini. Ia yakin bahwa bersama Brisa, ia akan menjalani kehidupan yang bahagia.
***
Di ruang makan yang dihias dengan elegan, keluarga besar berkumpul. Pak Aryan, Bu Tara, Pak Raditya, dan Bu Arini mengamati Sagara dan Brisa yang baru saja kembali dari jalan-jalan di sekitar hotel. Senyum mengembang di wajah mereka saat melihat kedua anak muda itu saling berpandangan dengan hangat.
"Sepertinya mereka sangat cocok," ujar Bu Tara dengan nada gembira.
"Aku setuju," sahut Pak Aryan. "Sagara terlihat sangat bahagia bersama Brisa."
Pak Raditya dan Bu Arini hanya mengangguk setuju. Mereka merasa lega, karena rencana perjodohan ini berjalan sesuai harapan.
"Bagaimana perasaan kalian?" tanya Pak Aryan kepada Sagara dan Brisa.
Sagara tersenyum malu-malu. "Saya merasa sangat senang, Pak."
Brisa juga tersenyum. Dalam hati, ia masih merasa bingung dengan perasaannya. Ia tidak tahu bagaimana perasaannya pada Sagara. Pria itu baik dan Brisa menyukai Sagara.
"Aku juga senang," jawab Brisa.
Melihat reaksi Sagara dan Brisa, Pak Raditya dan Bu Arini semakin yakin bahwa pernikahan ini akan membawa kebahagiaan bagi kedua anak mereka.
"Kalau begitu, kita akan segera mempersiapkan pernikahan kalian," ujar Pak Raditya.
