Bab 6. Kekeliruan yang tak termaafkan
Brisa dan Sagara saling berpandangan. Mereka berdua merasa sedikit terkejut dengan pernyataan Pak Raditya.
"Ayah, Ibu, bolehkah kami diberi waktu untuk saling mengenal lebih jauh?" pinta Brisa.
Pak Raditya dan Bu Arini saling berpandangan. Mereka mengerti permintaan Brisa.
"Tentu saja, Nak. Kami tidak ingin memaksamu," jawab Pak Raditya. "Tapi, kami berharap kalian bisa segera memutuskan."
Brisa mengangguk. Ia merasa lega, karena diberi waktu untuk memikirkan semuanya.
Setelah makan siang selesai, Sagara dan Brisa duduk di sudut ruangan.
"Terima kasih sudah mau menerima perjodohan ini," ujar Sagara.
Brisa tersenyum. "Sama-sama. Aku juga senang bisa mengenalmu lebih dekat."
Sagara menatap Brisa dalam-dalam. "Aku... aku benar-benar menyukaimu, Brisa. Sebenarnya saat aku pertama kali bertemu denganmu, aku telah jatuh cinta padamu dan syukurlah wanita yang akan dijodohkan denganmu adalah kamu, Brisa."
Brisa terdiam sejenak. Ia tidak menyangka Sagara akan mengungkapkan perasaannya sejujur ini. Dalam hati, Brisa akan mencoba membuka hatinya untuk Sagara.
***
Sinar matahari pagi menyinari kamar Brisa, menciptakan suasana hangat di dalam ruangan. Ivana, sahabat karib Brisa, baru saja tiba dan langsung memeluk erat sahabatnya itu.
"Jadi, bagaimana pertemuanmu dengan calon tunanganmu kemarin?" tanya Ivana, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Brisa tersenyum tipis, namun ada kesedihan yang terpancar dari matanya. "Sulit untuk dijelaskan, Van," jawabnya. "Dia... dia sangat berbeda dari yang aku bayangkan."
Ivana duduk di tepi ranjang Brisa, menatap sahabatnya dengan penuh perhatian.
"Maksudmu?"
Brisa menghela napas panjang. "Jadi gini, Van, ternyata dia adalah orang yang pernah aku temui di taman kota kemarin, Sagara namanya."
Ivana terbelalak kaget. "Sungguh? Tidak nyangka, ya. Dunia ini memang kecil."
Brisa mengangguk.
"Aku benar-benar bingung, Van. Aku tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi, aku menyukai Sagara. Dia orang yang baik, tapi di sisi lain, aku juga tidak ingin menyerah pada impianku. Apalagi sekarang aku sedang hamil."
Ivana memeluk Brisa erat. "Tenanglah! Kita akan mencari jalan keluarnya bersama."
"Aku takut kalau Sagara mengetahui tentang kehamilanku," lanjut Brisa dengan suara bergetar. "Aku takut dia akan membenciku dan pernikahan kami akan hancur. Mungkin dia nanti tidak akan percaya tentang kehamilanku gara-gara inseminasi buatan."
Ivana menggelengkan kepala. "Jangan berpikir seperti itu. Dari ceritamu Sagara seperti orang baik. Aku yakin dia akan mengerti."
Brisa terdiam, pikirannya berkecamuk. Ia sangat berharap Sagara bisa menerima keadaannya.
"Tapi, bagaimana dengan impian kita untuk melanjutkan kuliah di Inggris?" tanya Brisa.
Ivana menghela napas panjang. "Aku tahu ini sangat berat bagimu, tapi mungkin kamu bisa menunda kuliah dulu. Kamu bisa kuliah setelah anakmu lahir."
Brisa menggelengkan kepala. "Aku merasa bersalah nanti akan membohongi Sagara tentang anak yang sedang aku kandung. Dia pria baik dan tak tega aku sampai membohonginya."
Ivana menatap sahabatnya dengan penuh kasih sayang. "Nanti kamu bisa memberitahu Sagara pelan-pelan."
Brisa kembali memeluk Ivana erat. Ia merasa sangat bersyukur memiliki sahabat seperti Ivana.
***
Cahaya matahari siang menyinari ruangan kerja Angga di rumahnya yang sepi. Ia duduk di kursi kerjanya, tangannya masih gemetar memegang sebuah tabung kecil kosong. Nama "Mattheo" tercetak jelas pada label tabung itu. Angga tertegun, matanya membulat sempurna.
Sejak mengundurkan diri dari rumah sakit, Angga selalu berada di rumah dan berencana akan pindah keluar kota.
Seharusnya prosedur inseminasi buatan pada pasangan suami istri yang sudah lama menginginkan anak berjalan dengan sukes, jika saja ia tidak melakukan kesalah fatal. Namun, saat akan mengambil tabung sperma, matanya tertuju pada dua tabung yang hampir identik: Theo dan Mattheo. Dalam keadaan yang terburu-buru, ia salah mengambil tabung.
Angga ingat betul, Pak Theo adalah pasiennya yang sudah lama ia kenal. Pria itu dan istrinya sudah lama menginginkan seorang anak. Satu bulan yang lalu, istri Pak Theo memberitahu bahwa Pak Theo telah meninggal, karena sakit dan istrinya ingin melakukan inseminasi buatan dari sprema suaminya yang sudah disimpan cukup lama di bank sprema. Pak Theo adalah seorang pria yang baik hati dan sabar.
Dokter Angga sebelumnya belum pernah bertemu dengan istrinya Pak Theo, sehingga ia berasumsi bahwa wanita yang datang kepadanya adalah istri Pak Theo yang sudah membuat jadwal dengannya untuk melakukan inseminasi buatan, tapi ternyata wanita itu bukanlah istri Pak Theo, bahkan ia tidak tahu siapa nama wanita itu, sedangkan Mattheo, ia tidak mengenal pria itu secara pribadi, tapi yang ia tahu, pria itu baru saja sembuh dari penyakit kanker darah. Sebelum pria itu melakukan pengobatan kanker, ia menyimpan spremanya di bank sprema, karena takut ia jadi mandul selama proses pengobatan kanker di luar negeri.
Dokter Angga pun baru menyadari bahwa ia telah salah mengambil tabung sprema. Ia hanya membaca nama Theo dibelakangnya. Bayangkan jika Mattheo mengetahui hal ini. Pasti ia akan marah besar.
Dengan tangan gemetar, Angga mengambil ponselnya. Ia mencari kontak Mattheo di daftar teleponnya. Setelah menemukannya, ia segera mengirimkan pesan.
"Pak Mattheo, saya perlu bicara dengan Anda. Ada sesuatu yang sangat penting yang harus saya sampaikan."
Angga menunggu balasan dengan perasaan cemas. Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Mattheo.
"Ada apa, Dok? Ada masalah?"
Angga menghela napas panjang. Dengan hati-hati, ia mengetikkan pesan balasan.
"Pak Mattheo, saya telah melakukan kesalahan yang sangat besar. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Saya telah salah mengambil tabung sperma Anda. Seharusnya yang saya suntikkan pada seorang wanita yang tidak dikenal yang awalnya itu saya kira istri Pak Theo adalah sperma Pak Theo, tapi itu ternyata sprema Anda, sedangkan sprema Pak Theo masih tersimpan baik di bank sprema, saya sudah memgeceknya."
Dokter Angga menunggu balasan Mattheo dengan jantung berdebar-debar. Ia berharap Mattheo bisa memahaminya. Ia gelisah mondar-mandir di ruangan kerjanya. Sejak mengirim pesan kepada Mattheo, ia tak henti-hentinya menatap layar ponselnya. Detik-detik terasa begitu lambat. Ia takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Akhirnya, ponselnya berdering. Nomor yang tidak dikenal tertera di layar. Dengan jantung berdebar kencang, dokter Angga menerima panggilan itu.
"Halo?" sapa dokter Angga dengan suara gemetar.
"Dokter Angga?" suara di seberang terdengar dingin dan penuh amarah. "Ini Mattheo."
Angga langsung menegang. "Pak Mattheo, maafkan saya."
"Maaf?" Mattheo tertawa sinis. "Maaf itu tidak cukup, Dokter. Anda telah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Anda tahu tidak, apa akibat dari kesalahan Anda ini?"
Dokter Angga terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Saya bisa saja menuntut Anda!" lanjut Mattheo dengan nada mengancam. "Anda telah merusak hidup saya."
Dokter Angga berusaha menjelaskan. "Pak Mattheo, saya benar-benar minta maaf. Ini semua adalah kesalahan saya. Saya tidak bermaksud."
"Tidak bermaksud? Apa artinya itu?" potong Mattheo. "Anda seorang dokter! Anda seharusnya lebih teliti. Anda tahu tidak, saya sangat menginginkan anak dan sekarang, karena kesalahan Anda, saya tidak tahu harus bagaimana."
Dokter Angga semakin merasa bersalah. Ia tidak pernah membayangkan bahwa kesalahannya akan berdampak sebesar ini pada kehidupan orang lain.
"Saya akan bertanggung jawab atas kesalahan saya," ujar dokter Angga. "Apapun yang Anda minta, akan saya lakukan."
"Anda pikir dengan begitu semuanya akan selesai?" tanya Mattheo sarkastik. "Tidak semudah itu, Dokter."
Percakapan mereka terus berlanjut dalam suasana yang tegang. Mattheo menuntut agar dokter Angga bertanggung jawab penuh atas kesalahannya. Ia meminta dokter Angga untuk mencari tahu identitas wanita yang telah disuntik dengan spermanya dan memberikan informasi lengkap tentang wanita itu.
Dokter Angga merasa putus asa. Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Ia sudah melakukan kesalahan yang sangat besar dan sekarang ia harus menanggung akibatnya. Akhirnya ia berjanji untuk menemukan wanita itu.
