Bab 4. Jatuh cinta
Sinar mentari sore menyisir lembut rambut gadis itu, menciptakan halo emas di sekeliling wajahnya yang sayu. Pria itu terpaku di tempatnya, jantungnya berdebar kencang seolah hendak keluar dari rongga dada. Sejak pandangan pertama, ia tahu bahwa hidupnya takkan pernah sama lagi.
Gadis itu duduk di bangku taman, sebuah buku terbuka di pangkuannya. Angin sore menghembus lembut, membolak-balik halaman buku itu. Mata pria itu tak berkedip, mengamati setiap gerakan gadis itu. Rambutnya yang terurai bebas tertiup angin, matanya yang berkilau seakan menyimpan sejuta rahasia, dan senyum tipis yang sesekali menghiasi bibirnya membuat pria itu terpukau.
Sejak dulu, pria itu bukanlah tipe pria yang mudah jatuh cinta. Namun, ada sesuatu yang berbeda pada gadis ini. Tatapannya yang dalam seolah menembus jiwa, aura misterius yang mengelilinginya, dan kecantikannya yang alami membuatnya merasa tertarik secara mendalam.
Dengan hati berdebar, pria itu mendekati gadis itu. Ia ragu-ragu sejenak, lalu memberanikan diri untuk menyapa. "Permisi, bolehkah saya duduk di sini?" tanyanya dengan suara lembut.
Gadis itu mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan mata pria itu. Sejenak, waktu seakan berhenti. Ada kejutan dalam tatapan gadis itu, namun kemudian ia mengangguk ramah. "Tentu saja."
Pria itu duduk di samping gadis itu, menjaga jarak yang sopan. Ia berusaha memulai percakapan, namun kata-kata seakan tersangkut di tenggorokannya. Akhirnya, ia hanya bisa mengutarakan kekagumannya pada buku yang sedang dibaca gadis itu.
Percakapan mereka mengalir begitu lancar, hangat, dan menyenangkan. Pria itu mendengarkan cerita gadis itu dengan penuh perhatian. Ia merasa semakin terpesona dengan gadis itu.
Tanpa terasa waktu berlalu begitu cepat. Matahari hampir tenggelam, dan langit semakin gelap. Gadis itu pamit pulang. Sang pria merasa sangat berat hati melepasnya. Pria itu menawarkan untuk mengantarnya pulang. Wanita itu ragu-ragu, karena ia baru mengenal pria itu. Namun, ada sesuatu dalam diri pria itu yang membuatnya merasa nyaman dan aman. Akhirnya, ia menerima tawaran pria itu.
Mereka berdua berjalan menuju mobil pria itu. Di tengah perjalanan, tiba-tiba telepon pria itu berdering. Ia mengangkat telepon itu dan berbicara dengan seseorang. Wajahnya berubah menjadi serius, dan ia meminta maaf pada wanita itu karena harus segera pergi.
Wanita itu mengerti dan tidak mempermasalahkannya. Ia berkata bahwa ia akan menelepon sopir ayahnya untuk menjemputnya. Pria itu merasa lega dan mengucapkan terima kasih pada wanita itu.
"Senang bisa bertemu denganmu," kata pria itu sebelum pergi.
Wajah wanita itu merona merah mendengar perkataan pria itu. Ia merasa malu dan salah tingkah. Ia tidak tahu harus berkata apa.
Setelah pria itu pergi, wanita itu masih terpaku di tempatnya. Ia tidak bisa melupakan wajah tampan pria itu, suaranya yang lembut, dan tatapannya yang penuh perhatian. Ia merasa seperti mimpi bertemu dengan pria itu.
Wanita itu kemudian teringat bahwa ia belum menanyakan nama pria itu. Ia menyesal dan berharap bisa bertemu lagi dengannya.
Keesokan harinya, wanita itu tidak bisa melupakan pria yang ditemuinya di taman kota. Ia terus memikirkannya dan berharap bisa bertemu dengannya lagi. Ia bahkan mencari-cari informasi tentang pria itu di media sosial, tetapi tidak menemukan apa-apa.
***
Cahaya bulan merembes menembus celah tirai kamar Sagara, menciptakan suasana remang-remang yang menenangkan. Namun, kedamaian itu sirna seketika ketika pintu kamarnya terbuka dan sosok ibunya muncul di ambang pintu. Wajah wanita paruh baya itu tampak serius, garis-garis kerutan di dahinya semakin dalam.
"Sagara, Ibu ingin bicara serius denganmu," ujar Bu Arini, suaranya lembut namun tegas.
Sagara yang sedang asyik dengan buku di tangannya, mengangkat wajah. Ia meletakkan buku itu dan menatap ibunya dengan tatapan bertanya. "Ada apa, Bu?"
Bu Arini menghela napas panjang. "Ibu tahu ini akan sulit bagimu, tapi Ibu harus memberitahumu tentang ini." Ia duduk di tepi ranjang Sagara, meraih tangan putranya. "Ibu sudah mengatur pertemuanmu dengan putri keluarga Sanjaya besok siang."
Sagara terbelalak kaget. "Apa? Pertemuan? Dengan putri keluarga Sanjaya?" suaranya meninggi. "Bu, aku tidak mau dijodohkan!"
Bu Arini menggelengkan kepala. "Ibu tahu kamu tidak mau, tapi ini demi kebaikanmu. Keluarga Sanjaya adalah keluarga yang sangat berpengaruh. Pernikahan dengan putri mereka akan sangat menguntungkan kita."
"Aku tidak peduli dengan keuntungan! Aku ingin memilih sendiri jodohku!" bantah Sagara dengan keras.
Arini menatap putranya dengan sedih. "Ibu mengerti perasaanmu, tapi Ibu mohon kamu bisa mengerti posisi Ibu. Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu."
"Yang terbaik menurut Ibu, bukan menurutku, Bu!" sahut Sagara.
Perdebatan mereka semakin memanas. Sagara terus menolak perjodohan ini, sementara Arini berusaha menyakinkan putranya bahwa ini adalah keputusan yang terbaik.
"Ibu, aku tidak bisa mencintai seseorang hanya karena perjodohan!" tegas Sagara.
Arini terdiam sejenak. Ia tahu bahwa putranya keras kepala, namun ia tidak bisa menyerah begitu saja. "Ibu tahu kamu mencintai kebebasanmu, tapi pernikahan ini akan memberikanmu banyak keuntungan. Bisnis keluarga akan semakin berkembang."
Sagara merasa dilema. Di satu sisi, ia ingin menolak perjodohan ini, karena ia ingin memilih pasangan hidupnya sendiri. Namun, di sisi lain, ia juga tidak ingin mengecewakan ibunya.
"Ibu, berikan aku waktu untuk memikirkannya," pinta Sagara.
Arini mengangguk. "Baiklah, Nak, tapi ingat, waktu kita terbatas. Pertemuan dengan keluarga Sanjaya sudah dijadwalkan besok siang."
Setelah ibunya pergi, Sagara masih terdiam di tempat tidur. Pikirannya kacau. Ia merasa terjebak dalam sebuah dilema yang sulit.
Sagara menatap keluar jendela. Langit malam tampak begitu gelap dan sunyi. Pintu kamar terbanting pelan, menyisakan Sagara seorang diri dalam keheningan yang mencekam. Tatapannya mengikuti pintu yang tertutup rapat, seakan masih berharap ibunya akan kembali dan membatalkan semua rencana perjodohan ini. Namun, yang ada hanyalah kehampaan.
Di atas meja, sebuah amplop coklat tergeletak mencolok. Di dalamnya, tersimpan foto dan biodata wanita yang akan menjadi pendamping hidupnya. Sagara tahu itu, namun ia enggan menyentuhnya. Amplop itu bagaikan kutukan yang menghantuinya.
Ia berjalan mendekati jendela, menatap keluar.
Langit malam tampak begitu suram, seakan merefleksikan perasaan gelisahnya. Angin malam menerpa wajahnya, membawa serta hembusan kesedihan yang mendalam.
Sagara teringat masa kecilnya, ketika ibunya selalu ada di sisinya. Ibu yang selalu memanjakannya, yang selalu mendukung semua mimpinya. Namun, sekarang, ibunya justru memaksakan kehendaknya padanya.
"Kenapa, Bu?" gumam Sagara lirih.
Ia terduduk di tepi ranjang, memeluk lututnya erat-erat. Pikirannya melayang pada wanita yang akan dijodohkannya. Ia sama sekali tidak tertarik untuk mengetahuinya. Bahkan, ia tidak pernah bertanya namanya. Baginya, wanita itu hanyalah sebuah nama dalam daftar panjang rencana ibunya.
Sagara merasa seperti sebuah pion dalam permainan catur. Hidupnya diatur oleh orang lain, tanpa pernah mempertimbangkan keinginannya sendiri. Ia merasa terjebak dalam sebuah sangkar emas, bebas secara fisik namun terkekang secara emosional.
Matanya terpejam perlahan, membayangkan masa depan yang tidak pasti. Masa depan di mana ia harus hidup bersama seorang wanita yang tidak ia cintai.
***
Brisa tengah menikmati secangkir teh hangat, pikirannya melayang entah ke mana. Tiba-tiba, suara ayahnya memecah kesunyian.
"Brisa," panggil Pak Aryan, suaranya terdengar berat.
Brisa menoleh, matanya bertemu dengan tatapan serius ayahnya. Ia tahu apa yang akan dibicarakan ayahnya. Perjodohan. Sebuah topik yang selalu membuatnya merasa tertekan.
"Besok siang, kita akan bertemu dengan keluarga Hendratama. Putra mereka akan menjadi calon pendampingmu," lanjut Pak Aryan.
