Bab 3. Benih yang salah
"Iya, Pa. Ivana menyarankan agar aku melakukan tes itu," jawab Brisa.
"Untuk apa kamu melakukan tes itu?" tanya Pak Aryan, suaranya meninggi.
"Aku ingin membuktikan pada Papa kalau aku masih perawan," jawab Brisa.
Pak Aryan terdiam sejenak, pikirannya berkecamuk. Ia tidak menyangka putrinya akan meminta untuk melakukan tes seperti itu.
"Tidak perlu," ujar Pak Aryan.
"Tapi, Pa...."
"Sudah, tidak usah diperpanjang lagi," potong Pak Aryan.
Bu Tara yang sedari tadi mengamati mereka, akhirnya angkat bicara. "Aryan, biarkan saja Brisa melakukan tes itu. Ini penting untuk membuktikan bahwa dia tidak berbohong."
Pak Aryan menatap istrinya, kemudian kembali menatap Brisa. "Baiklah, kalau itu maumu, tapi ingat, jangan pernah berbohong lagi."
Brisa merasa lega mendengar persetujuan ayahnya. Ia segera memeluk ayahnya erat. "Terima kasih, Pa!"
Setelah sarapan, Brisa dan Ivana berangkat ke rumah sakit. Sepanjang perjalanan, mereka berdua hanya diam. Brisa merasa gugup dan cemas, sedangkan Ivana berusaha menenangkannya.
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ruang pemeriksaan. Dokter yang memeriksa Brisa adalah dokter yang sama yang direkomendasikan oleh Ivana. Dokter itu sangat ramah dan menjelaskan semua prosedur yang akan dilakukan dengan detail.
"Tenang saja, Brisa! Semua akan baik-baik saja," ucap Ivana sambil menggenggam tangan Brisa.
Setelah pemeriksaan selesai, Brisa dan Ivana menunggu hasil tes di ruang tunggu. Brisa merasa sangat gelisah. Ia terus bertanya-tanya dalam hati, bagaimana jika hasilnya tidak sesuai dengan yang ia harapkan?
Beberapa saat kemudian, dokter keluar dan memanggil nama Brisa. Brisa dan Ivana segera berdiri dan mengikuti dokter itu ke ruangannya.
"Hasil pemeriksaannya sudah keluar," ujar dokter. "Dan hasilnya, kamu masih perawan."
Brisa dan Ivana saling berpandangan, wajah mereka dipenuhi oleh rasa lega. Akhirnya, kebenaran telah terungkap.
"Dokter, apakah ada kemungkinan saya hamil tanpa berhubungan seksual?" tanya Brisa dengan suara pelan.
Dokter itu tersenyum lembut. "Kemungkinan itu sangat kecil, tapi tidak sepenuhnya tidak mungkin. Ada beberapa kondisi medis yang bisa menyebabkan kehamilan tanpa adanya hubungan seksual. Hasil dari pemeriksaan, kamu memang hamil dan usia kandungan tiga Minggu."
Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah dokter juga menyebutkan kemungkinan adanya prosedur inseminasi buatan.
"Maksud dokter, saya di inseminasi?" tanya Brisa dengan suara bergetar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Dokter mengangguk pelan. "Kemungkinan itu ada, Nona. Hasil pemeriksaan menunjukkan adanya sperma di dalam tubuh Anda dan mengingat Anda mengatakan belum pernah melakukan hubungan seksual, maka prosedur inseminasi menjadi salah satu kemungkinan yang paling masuk akal."
Brisa merasa dunia seakan runtuh. Bagaimana bisa hal seperti ini terjadi padanya? Ia sama sekali tidak pernah berpikir untuk melakukan inseminasi. "Tapi, Dok, saya tidak pernah melakukan prosedur seperti itu. Saya tidak tahu apa-apa tentang ini."
Ivana yang mendengar percakapan mereka merasa sangat bingung. "Dokter, apakah ada kemungkinan terjadi kesalahan?" tanyanya.
Dokter menggelengkan kepala. "Kemungkinan kesalahan medis sangat kecil. Namun, saya sarankan Anda untuk mencoba mengingat-ingat kembali. Apakah ada kejadian yang mencurigakan sebelum Anda mengetahui kehamilan ini? Misalnya, apakah Anda pernah pergi ke rumah sakit atau klinik untuk melakukan pemeriksaan kesehatan?"
Brisa berusaha mengingat-ingat. "Saya pernah pergi ke rumah sakit untuk tes kesehatan rutin beberapa hari yang lalu," jawabnya.
"Apa yang Anda lakukan di sana selain tes kesehatan?" tanya dokter lagi.
Brisa mencoba mengingat-ingat dengan seksama. "Saya hanya melakukan tes darah dan urine, lalu tes kesehatan kandungan. Di sana dokter menyuntikkan sesuatu ke tubuh saya."
"Sangat mungkin prosedur inseminasi dilakukan saat itu," ujar dokter. "Saya sarankan Anda untuk kembali ke rumah sakit tempat Anda melakukan pemeriksaan kesehatan dan menanyakan hal ini pada dokter yang merawat Anda."
Brisa dan Ivana saling pandang. Mereka berdua merasa sangat terkejut dan bingung. Bagaimana bisa mereka tidak mengetahui hal ini?
Brisa dan Ivana keluar dari ruangan dokter dengan perasaan campur aduk. Mereka memutuskan untuk segera kembali ke rumah sakit tempat Brisa melakukan pemeriksaan.
Sesampainya di rumah sakit, mereka langsung menuju ke bagian informasi untuk mencari tahu di mana ruangan dokter Rahman yang pernah memeriksa Brisa. Setelah menemukan ruangan tersebut, mereka pun mengetuk pintu.
"Permisi, Dok," sapa Brisa. "Saya ingin bertanya tentang pemeriksaan yang saya lakukan beberapa waktu lalu."
Dokter itu menatap Brisa dengan heran. "Oh, Nona Brisa. Ada apa?"
Brisa menceritakan semuanya kepada dokter itu. Ia menjelaskan tentang hasil pemeriksaan kehamilannya dan kemungkinan adanya prosedur inseminasi.
Dokter itu terdiam sejenak, kemudian meminta Brisa untuk menunggu sebentar. Ia masuk ke dalam ruangannya dan keluar beberapa saat kemudian dengan membawa sebuah file.
"Nona Brisa, saya sudah memeriksa catatan medis Anda," ujar dokter Rahman. "Ternyata benar, ada prosedur inseminasi yang dilakukan pada Anda."
Brisa merasa sangat marah dan kecewa. Bagaimana bisa ada orang yang seenaknya melakukan prosedur medis pada dirinya tanpa sepengetahuannya?
"Saya ingin tahu siapa yang bertanggung jawab atas hal ini," tegas Brisa.
Dokter itu mengangguk. "Saya akan berusaha mencari tahu. Namun, saya membutuhkan waktu untuk menyelidiki."
Brisa dan Ivana keluar dari rumah sakit dengan perasaan yang sangat berat. Mereka tidak pernah menyangka akan mengalami kejadian seperti ini.
***
Pintu rumah terbuka lebar, membiarkan angin malam menerpa wajah Brisa dan Ivana. Langkah mereka terhenti di ambang pintu, tatapan mereka bertemu dengan sepasang mata penuh kecemasan milik Pak Aryan dan Bu Tara.
"Bagaimana hasilnya, Nak?" tanya Pak Aryan, suaranya sedikit bergetar.
Brisa menatap ayahnya dalam-dalam, lalu menghela napas panjang. "Papa, aku masih perawan."
Jawaban Brisa bagaikan bom yang meledak di tengah ruangan. Pak Aryan terbelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ia meraih hasil tes dari tangan Brisa, matanya menelusuri setiap kata yang tertulis di sana.
Bu Tara menghampiri Brisa, memeluknya erat. "Syukurlah, Nak. Ibu sangat senang mendengarnya."
Pak Aryan masih terdiam, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia membaca ulang hasil tes itu berkali-kali, berharap ada kesalahan. Namun, kenyataan pahit tetap saja tidak bisa diubah.
"Bagaimana ini bisa terjadi, Brisa?" tanya Pak Aryan, suaranya terdengar parau. "Kalau kamu masih perawan, lalu kenapa kamu bisa hamil?"
Brisa menjelaskan semuanya dengan jujur. Ia menceritakan tentang kesalahan medis yang telah terjadi, tentang inseminasi buatan yang dilakukan tanpa sepengetahuannya.
"Jadi, ada orang yang sengaja melakukan ini padamu?" tanya Pak Aryan, suaranya meninggi.
Brisa menggelengkan kepala. "Aku tidak tahu, Pa. Aku hanya mengikuti prosedur pemeriksaan yang disarankan dokter."
Pak Aryan mengepalkan tangannya erat-erat. Amarahnya meluap-luap. "Ini tidak bisa dibiarkan! Aku akan mencari tahu siapa yang bertanggung jawab atas hal ini!"
Bu Tara berusaha menenangkan suaminya. "Tenanglah, Aryan! Kita harus mencari solusi terbaik untuk masalah ini."
Brisa merasa sangat sedih, ia tidak pernah menyangka hidupnya akan menjadi seperti ini.
"Maafkan aku, Pa, Ma," lirih Brisa.
"Bukan salahmu, Nak," ujar Bu Tara sambil mengusap air mata Brisa. "Ini semua karena kesalahan orang lain."
Pak Aryan masih terlihat marah dan kecewa. Ia merasa sangat bersalah karena tidak bisa melindungi putrinya.
"Aku akan melaporkan kejadian ini ke polisi," tegas Pak Aryan. "Pelaku harus bertanggung jawab atas perbuatannya."
