Bab 2. Tes
Brisa menatap layar ponselnya. Jari-jarinya gemetar, seolah-olah menekan tombol hijau itu adalah keputusan paling berat dalam hidupnya. Napasnya pendek, dadanya sesak, tapi ia tahu ia tidak bisa menunda lebih lama lagi. Dengan sisa keberanian yang ia punya, akhirnya ia menekan panggilan.
"Halo, Van?" Suaranya nyaris tak terdengar, hanya bisikan yang diseret ketakutan.
"Brisa? Ada apa? Suaramu kenapa?" Ivana langsung menangkap nada aneh dalam suara sahabatnya.
Brisa menutup mata, mencoba menguatkan diri. "Van, aku... aku hamil."
Sejenak hening. Lalu, suara Ivana melengking dari seberang. "Apa?! Kamu hamil? Brisa, ini serius?"
Brisa mengangguk meski Ivana tidak bisa melihatnya. Air matanya jatuh tanpa ia sadari. "Iya, Van. Aku hamil."
"Tapi siapa ayahnya, Bris?" Ivana terdengar panik. "Tolong jangan bilang kalau ini dari cowok brengsek yang ninggalin kamu begitu aja!"
Brisa menggigit bibirnya. Hening.
"Bris?"
"Aku nggak tahu, Van."
"Apa?"
"Aku... aku nggak tahu siapa ayahnya," ucap Brisa dengan suara bergetar.
"Brisa, kamu jangan bercanda. Maksudmu gimana kamu nggak tahu?"
Brisa menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. "Aku belum pernah tidur sama siapa pun, Van."
Hening lagi. Tapi kali ini lebih lama.
"Brisa, jangan bohong," bisik Ivana, suaranya penuh kebingungan dan ketidakpercayaan.
"Aku nggak bohong, Van! Aku masih perawan!" suara Brisa pecah, nyaris seperti jeritan putus asa.
Di seberang, Ivana terdiam. Ia mengenal Brisa seumur hidupnya dan ia tahu sahabatnya tidak mungkin berbohong tentang hal sebesar ini.
"Oke," akhirnya Ivana berkata pelan. "Aku percaya sama kamu."
Brisa mengusap wajahnya yang basah oleh air mata. "Papa nggak percaya. Mereka marah banget. Papa bilang aku bohong, katanya nggak mungkin aku hamil kalau aku belum pernah...." Suaranya tercekat.
Ivana menarik napas dalam. "Kalau gitu, kita harus buktiin ke mereka."
"Caranya?"
"Kamu mau coba tes keperawanan?"
Brisa terdiam. Gagasan itu menakutkan, tapi juga satu-satunya cara agar orang-orang percaya.
"Van, apa itu perlu?"
"Kalau nggak, Papa kamu nggak akan pernah percaya, Bris. Lagian, kalau kamu masih perawan, berarti ada sesuatu yang aneh. Kita harus cari tahu."
Brisa menatap kosong ke lantai. Kepalanya terasa penuh, pikirannya berputar-putar tanpa arah, tapi dalam kebingungan dan ketakutannya, ia tahu satu hal—ia tidak bisa menghadapi ini sendirian.
"Oke," akhirnya ia berbisik. "Aku akan coba."
Ivana menghela napas lega. "Bagus. Aku bakal cari dokter yang bisa dipercaya."
Brisa menutup mata, menahan isakan. "Makasih, Van. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak ada kamu."
"Sama-sama, Brisa. Aku di sini buat kamu, apa pun yang terjadi."
Begitu panggilan berakhir, Brisa menatap layar ponselnya yang gelap. Sejenak, ruangan terasa hampa, seolah seluruh dunia hanya menyisakan dirinya dan kebingungan yang mencekik.
Cahaya senja merembes masuk melalui jendela, mewarnai kamarnya dengan cahaya keemasan yang lembut. Brisa duduk di tepi ranjang, kedua tangannya saling menggenggam erat di atas paha. Angin malam menyelinap masuk, menyapu wajahnya, membawa kesejukan yang anehnya tak mampu meredakan kegelisahannya.
Matanya menerawang jauh, menembus kaca jendela, seolah mencari jawaban di luar sana. London—impian.
***
"Kenapa harus aku, Van?" tanya Brisa pada Ivana yang tiba-tiba datang ke rumah Brisa satu jam setelah panggilan telepon berakhir. Suara Brisa terdengar lirih, nyaris tenggelam di antara isakannya.
Dadanya naik turun, berusaha mengatur napas di tengah guncangan emosinya. Matanya bengkak, wajahnya basah oleh air mata yang terus mengalir tanpa bisa dihentikan.
Ivana tidak menjawab. Ia hanya merengkuh Brisa dalam pelukannya, membiarkan sahabatnya menangis sepuasnya di bahunya. Mereka terdiam dalam keheningan yang berat, hanya diiringi suara tangisan yang menggema di kamar kecil itu. Air mata mereka bercampur, membasahi bahu satu sama lain, seolah kesedihan Brisa juga menjadi luka bagi Ivana.
"Aku nggak nyangka hidupku bisa berubah drastis seperti ini," suara Brisa bergetar, hampir tak bisa dikenali. "Semua rencanaku hancur berantakan. Dulu, kita selalu bermimpi kuliah di Inggris bersama. Kita sudah merencanakan semuanya sampai ke detail terkecil."
Ivana mengeratkan pelukannya. "Aku tahu, Brisa. Aku juga nggak nyangka ini terjadi sama kamu. Kita udah berjuang keras."
Brisa menutup matanya, membiarkan bayangan tentang dirinya yang dulu melintas di kepalanya. Betapa ia rela mengorbankan waktu tidurnya demi belajar, bagaimana ia menahan lelah demi mengejar beasiswa. Tapi sekarang? Semua usahanya terasa sia-sia. Seolah dunia mempermainkannya, mencabut impiannya tepat saat ia hampir menggapainya.
"Aku merasa hidupku sudah berakhir, Van," suaranya penuh keputusasaan. "Aku nggak tahu harus gimana lagi."
Ivana menggeleng pelan, mencoba menenangkan Brisa yang sudah berada di titik terendah. "Jangan ngomong gitu, Brisa. Kamu masih punya waktu, masih ada jalan. Mungkin ini bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari sesuatu yang baru."
Brisa tertawa kecil, getir. "Jalan? Jalan ke mana, Van? Papa bahkan nggak mengizinkanku kuliah lagi. Dia malu punya anak perempuan yang hamil di luar nikah. Dan sekarang dia mau menjodohkanku dengan salah satu putra keluarga Hendratama."
Ivana terdiam sesaat sebelum mendesah frustrasi. "Jadi Papa kamu masih nggak menyerah dengan perjodohan itu? Brisa, dia memang keras kepala, tapi itu bukan alasan buat kamu menyerah sama mimpi kamu."
Brisa menggeleng lemah. "Aku nggak tahu harus gimana, Van. Aku bingung. Aku takut."
Ivana meremas jemari sahabatnya, berusaha mentransfer kekuatan yang mungkin Brisa butuhkan saat ini. "Aku ada di sini. Kamu nggak sendirian."
***
Pagi itu, sinar matahari menyelinap masuk melalui celah tirai, membangunkan Ivana dari tidurnya. Tapi pikirannya sudah penuh dengan satu hal: Brisa.
Sejak kemarin, ia tak bisa berhenti berpikir. Bagaimana mungkin sahabatnya bisa hamil tanpa pernah melakukan apa pun?
Ivana segera bangkit dan meraih ponselnya. Dengan cepat, ia menghubungi dokter kandungan yang direkomendasikan. Setelah menjelaskan situasi Brisa, dokter menyarankan pemeriksaan lengkap termasuk tes keperawanan.
Tanpa ragu, Ivana menelepon Brisa.
"Brisa, kita harus segera ke dokter," ucap Ivana begitu telepon tersambung. "Aku sudah dapat dokter yang bisa dipercaya. Beliau berpengalaman dan dia bisa bantu kita mencari jawaban."
Brisa terdiam di ujung telepon, terdengar ragu. "Tapi bagaimana dengan Papa? Aku nggak yakin dia akan mengizinkanku pergi kecuali untuk bekerja."
"Tenang aja, Bris. Aku akan bicara sama Papa kamu. Aku bilang aja kamu sakit dan perlu diperiksa."
"Tapi kalau Papa tahu aku mau tes keperawanan, dia pasti marah besar," suara Brisa penuh kecemasan.
Ivana menghela napas. "Brisa, aku tahu kamu takut, tapi ini satu-satunya cara agar semua orang percaya. Lagipula, kalau memang ada yang tidak beres dengan tubuhmu, kita harus tahu sebelum terlambat."
Hening.
Brisa menarik napas panjang, suaranya terdengar lebih tenang ketika akhirnya berkata, "Baiklah. Aku akan melakukannya asal ini bisa menyelesaikan masalah ini."
"Bagus, Brisa," ujar Ivana lega. "Pagi ini kita ke rumah sakit."
Setelah menutup telepon, Ivana kembali tenggelam dalam pikirannya. Ada sesuatu yang tidak masuk akal dalam semua ini. Brisa bukan tipe gadis yang sembarangan. Tidak mungkin dia berbohong.
Jadi bagaimana mungkin dia bisa hamil?
Pagi itu, cahaya matahari menari di atas meja makan, menerangi wajah tegang Pak Aryan. Di hadapannya, Brisa duduk dengan kepala tertunduk, jari-jarinya bertaut erat di pangkuannya. Di sampingnya, Ivana duduk dengan tenang, berusaha memberikan dukungan.
Pak Aryan menatap putrinya dengan sorot mata tajam. "Jadi, kamu mau ke dokter?"
Brisa mengangguk pelan. "Iya, Pa. Aku merasa tidak enak badan."
Pak Aryan menyipitkan mata. "Apa kamu juga akan periksa kehamilanmu?"
Brisa menelan ludah. "Tidak," jawabnya, meski keraguan terdengar dalam suaranya.
Pak Aryan bersedekap. "Jangan bohong, Brisa. Katakan yang sebenarnya."
Brisa menggenggam jemarinya erat, berusaha menenangkan debaran di dadanya. Dengan napas panjang, akhirnya ia mengucapkan kata-kata yang telah membebani pikirannya selama ini.
"Sebenarnya, Pa, aku ingin melakukan tes keperawanan."
Suasana meja makan mendadak membeku.
Pak Aryan terbelalak, ekspresinya campuran antara keterkejutan dan kemarahan. "Apa katamu?"
Brisa mengangkat wajahnya, menatap mata ayahnya dengan keberanian yang tersisa. "Aku ingin tes keperawanan, Pa. Aku ingin membuktikan kalau aku tidak berbohong."
Pak Aryan mengepalkan tangannya di atas meja. "Kamu pikir itu akan mengubah kenyataan? Kamu pikir itu akan menghapus rasa malu yang kau bawa pada keluarga ini?"
"Aku hanya ingin mencari kebenaran," bisik Brisa, suaranya bergetar.
Ivana menyela, suaranya tenang tapi tegas. "Pak, ini bukan soal malu atau harga diri. Ini soal keadilan untuk Brisa. Jika dia mengatakan yang sebenarnya, bukankah seharusnya kita mendukungnya?"
Pak Aryan terdiam, rahangnya mengeras. Matanya menatap putrinya seolah mencoba mencari kebohongan dalam sorot matanya.
Tapi Brisa tetap diam, tidak berpaling.
Karena ini pertama kalinya dalam hidupnya, ia memilih untuk melawan.
