15. Pesona AC
Abi sedang memakai kemeja putihnya. Hari ini hari kedua dinasnya di Puskesmas Sumbang. Perhatiannya teralih saat mendengar HP-nya berbunyi.
Klik.
"Iya Ngga ada apa?"
"Gila kamu ya, kamu sekarang di Jawa? Kok gak ngomong sama aku? Kamu anggap aku siapa hah?"
"Maaf."
"Dasar AC, gak bakalan kumaafkan."
Abi hanya tertawa mendengar suara sahabatnya yang kesal.
"Jadi kamu gak kerja lagi di rumah sakit Binar Kasih?"
"Gak."
"Gak nyesel Viona diembat sama Arjuna."
"Gak."
"Gajimu dikit loh jadi PNS."
"Gak masalah."
"Lah kuliah kamu gimana? Kan baru tiga tahun. Tinggal setahun lagi loh?"
"Aku cuti dulu."
"Hah? Gak nyesel Bi, kamu kan orangnya kalau ada maunya pasti dicapai dengan begitu gigih. Ini kok malah dilepas begitu aja program spesialisnya?"
"Biarin. Soalnya aku punya yang lebih prioritas."
"Apa? Di sono tempat kamu tugas emangnya kamu bisa dapat apa?"
"Dapat istri. Udah aku mau berangkat. Aku matiin."
Klik.
Abi berkaca dan setelah memastikan penampilannya sempurna dia segera keluar rumah.
Abi keluar tepat saat Risa tengah mengeluarkan motornya. Abi tersenyum saat melihat Risa nampak kesusahan mengeluarkan motornya.
"Mau saya bantu Bu Bidan cantik?"
Gedebug ... Dug .... Brakkkk.
Risa melongo sambil memegangi stang motornya dengan perasaan dongkol. Saking kagetnya ia jadi hilang keseimbangan dan menjatuhkan motornya. Mana belum lunas lagi tuh motor.
Risa langsung berbalik hendak mendamprat tetangga sebelahnya namun ternyata itu suatu kesalahan besar. Karena saat berbalik mata Risa melotot melihat penampilan Abizar yang ... tampan sekaligus jantan.
Abizar mengenakan kemeja putih lengan panjang dimana bagian lengannya ditekuk sampai siku sehingga memperlihatkan otot lengannya. Belum lagi kancing depan kemejanya yang sengaja di buka sebanyak dua biji. Owh .... Sungguh itu pemandangan yang sangat menggoda mata apalagi terlihat bulu dadanya yang halus sedikit mengintip dari balik bajunya. Sungguh Risa tergoda.
Belum lagi senyum menawan dari bibir itu. Bibir yang rasanya juga manis. Eh ... Risa menggeleng-gelengkan kepalanya lalu memilih mengangkat motornya, setelah itu segera menstarternya dan pergi tanpa melihat ke arah Abizar. Takut khilaf.
Abizar tertawa melihat tingkah Risa. Setelah Risa pergi Abi langsung menarik gulungan lengan kemeja dan mengancingnya pun dengan dua kancing depan sudah Abizar kancingkan dengan benar. Astaga rupanya Abi sengaja membuat Risa terpesona. Kemudian Abi segera naik ke mobilnya dan berangkat menuju Puskesmas.
Risa sendiri menjadi kurang fokus. Sepanjang perjalanan ke balai desa Tambaksogra kecamatan Sumbang pikiran Risa terus menerus terbayang pada Abizar. Hingga ... Cittt. Risa langsung mengerem mendadak. Hampir saja dia menabrak pohon. Astaga kenapa dia bisa masuk ke trotoar?
"Astaghfirullah. Ya Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Jauhkanlah hamba dari godaan syaitan, jin dan manusia yang rupawan. Amin."
Risa pun kembali melajukan motornya dengan lebih fokus dan hati-hati.
*******
"Ris ... Ris. Lihat?" bisik Lisa terlalu antusias.
"Apaan?"
"Itu? Tetangga kamu. Ugh .. Gantengnya."
Risa melirik sekilas, kearah yang daritadi diperhatikan oleh Lisa. Disana tampak Abizar tengah ngobrol dengan Dokter Anwar. Mereka tengah makan siang di warung dekat Puskesmas. Entah mengapa ada begitu banyak warung makan kenapa Risa harus satu tempat dengan Abizar.
Dua bulan ini Risa selalu bertemu dengan Abizar. Gak di Puskesmas, rumah, kadang di minimarket atau pasar bahkan warung nasi langganannya juga. Mau bagaimana lagi, mereka kan rekan kerja plus tetanggaan pula. Jelas intensitas pertemuan terbuka lebar.
"Oh." Risa hanya menyahut cuek.
Plak.
"Sakit Lis," bisik Risa sambil mengusap-usap bahunya karena dipukul Lisa dengan keras.
"Kamu normal gak sih? Cowok cakep kayak gitu dianggurin. Heran deh aku sama kamu. Gak Dokter Danu, Dokter Bayu, belum lagi cowok yang lain. Semuanya cakep tapi kok kamu biasa aja."
"Emang biasa aja."
"Ish ... Beneran deh, kamu gak normal. Eh ... Hai dokter."
Lisa memasang senyum manis saat Abizar dan Dokter Anwar melintasi tempat duduk mereka.
"Udah pada selesai makan?" tanya Dokter Anwar.
"Sudah Dok," Lisa yang menjawab. Risa hanya tersenyum.
"Ya sudah, sholat yuk. Bentar lagi dhuhur."
"Baik Dok."
Risa dan Lisa mengikuti langkah Dokter Anwar dan Abizar ke mushola Puskesmas.
"Dokter Abi azan dulu ya? Si Heri yang biasa Azan sedang mengantar pasien ke Margono. Kalau gak ada dia gak ada yang mau azan pake mikrofon. Termasuk saya. Hahaha."
"Iya Pak."
Risa yang berada di sebelah tabir dan mendengar percakapan keduanya menganggap remeh Abizar.
Ck, orang itu anak gak pernah ngaji juga kenapa di suruh azan sih Dok? batin Risa.
Namun Risa menjadi malu sendiri begitu mendengar suara Abizar saat mengumandangkan Azan. Suaranya begitu merdu sekali. Risa merasa berdosa karena telah menganggap remeh orang lain. Dalam hati ia berjanji tidak akan mengulanginya.
Risa semakin terpesona tatkala mendengar puji-pujian yang dilafalkan Abizar bersama Dokter Anwar. Ia tak menyangka Abizar tetangganya banyak berubah seperti dirinya. Dulu saat di Jakarta baik Abi maupun Risa tak pernah mengaji makanya mereka selalu mendapat nilai kecil saat pelajaran agama padahal untuk mapel lainnya bagus-bagus. Namun semenjak pindah ke Sokaraja, Risa jadi bisa mengaji karena mencari guru ngaji lebih mudah dan gratis. Apa mungkin Abi juga? Entahlah.
Hati Risa semakin tersentuh saat untuk pertama kalinya dia menjadi salah satu makmum dimana Abizar menjadi imamnya. Entah mengapa di sudut hatinya berharap suatu saat dia dan Abizar bisa sholat berjamaah berdua saja. Selesai sholat Risa baru menyadari jika makmum putrinya sangat banyak.
"Kaget ya?" bisik Lisa.
"Iya biasanya gak sebanyak ini."
"Itu karena pesona Dokter baru. Hihihi."
Risa memilih tidak menanggapi dan hanya tersenyum saja.
*****
"Bu Risa, rajin amat," sapa ibu-ibu yang tengah lewat.
"Eh Bu Siti, cuma bersihin rumput kok Bu. Bu Siti mau kemana?"
"Mau ke pasar, Bu Risa."
"Ooo."
"Duluan ya Bu."
"Iya Bu Siti, hati-hati."
Risa melanjutkan kegiatan mencabuti rumput di sekitar halaman rumah dinasnya.
Suara siutan mengalihkan perhatiannya. Risa menengok melihat tetangga sebelahnya hanya memakai kaos olahraga hitam ketat dan training hitam. Risa langsung memalingkan mukanya pura-pura sibuk.
Abi memasang selang pada keran air kemudian menyiram mobilnya. Ini waktunya si merah mandi ceritanya.
"Hai, Risa. Sibuk apa?"
"Ck. Mata kamu buta ya? Kan udah lihat sendiri?"
"Oooo. Kirain lagi mencabut semua kenangan ternyata nyabutin rumput rupanya."
Risa menatap Abizar namun segera memalingkan muka karena tubuh Abizar saat ini sudah sedikit basah dan sialnya memperlihatkan bentuk badannya yang proposional.
Duh pasti itu perutnya kayak roti sobek, batin Risa.
Astaga. Risa menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha mengusir pikiran kotornya. Daripada jadi kayak orang gila Risa bermaksud masuk ke rumahnya. Dia berdiri dan .....
Dug.
Deg deg deg.
Risa gugup, dan mundur, pasalnya mukanya pas banget jatuh di papan seluncur milik tetangga sebelah.
"Ng-ngapain kamu ke sini?"
"Pinjam spons cuci sama kanebo, aku lupa beli."
"Pakai kain bekas kan gak papa?"
"Hasilnya beda, pinjemin dong. Masa pelit sama tetangga sendiri."
"Ya udah sana beli."
"Males... Udah basah ini kena air, sekalian rampungin, kalau udah kelar baru pergi. Pinjemin ya?"
"Ish ... Nyusahin aja."
Sambil menggerutu Risa masuk ke dalam rumah dan mencari dua benda yang mau dipinjam sama Abizar. Sesudah mengambil apa yang diperlukan Risa melotot melihat Abi tengah duduk santai sambil menyantap mendoan yang tadi pagi dia buat.
"Kamu ngapain disitu?" teriaknya.
"Makan, hem ... Ini mendoan kan ya? Kemarin aku di ajak makan sama beberapa rekan dokter terus ada makanan ini, tempe yang digoreng sama tepung. Aneh ya Ris padahal di Jakarta banyak tapi kok rasanya disini lebih enak. Kenapa ya?" tanya Abizar sambil tatapannya berubah menjadi sedikit nakal.
"Tau. Udah ini spons cuci sama kanebonya. Pulang sana!" usir Risa.
"Aku lagi makan Ris. Jahat banget, lapar tahu."
"Ya bikinlah."
"Aku gak pinter masak."
"Ya belilah."
"Malas keluar."
"Ya cari istri sana."
"Ini lagi pedekate sama calon istri."
"Ya ... Apa?"
