Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

14. Tetangga Baru

Risa memarkirkan motornya di garasi, hari ini lelah sekali rasanya. Tak sengaja Risa menatap halaman rumah sebelah. Kebetulan tembok di rumah sebelah hanya setinggi satu meter sehingga semua aktivitas di halaman rumah besar itu terlihat. Seperti sekarang, ada dua mobil terparkir disana. Mobil Fortuner yang tadi pagi ia lihat dan mobil Honda Jazz warna merah yang dia lihat di Puskesmas. Kenapa Risa tahu? Karena dia sempat membaca plat nomernya tadi. Eh tunggu, kalau itu mobil yang dilihat Risa di halaman Puskesmas berarti ....

"Bu Risa."

Risa menoleh ke arah Bu Ginah.

"Sini, kenalan dulu yuk sama tetangga barumu."

"Hah ... ehm ... saya .... "

"Cepetan!"

"Tapi?"

"Cepetan jangan lama-lama."

Mau tak mau Risa melangkah menuju rumah tetangga barunya walau aslinya enggan.

"Ayo." Bu Ginah menarik lengan Risa dan langsung membawa Risa masuk ke dalam rumah.

Dalam ruang tamu terdapat sebuah keluarga dengan lima anggota keluarga rupanya, salah satu anggota keluarga itu memunggungi Risa.

"Ini loh Bu Maira, Bu Risa yang tinggal di rumah dinas sebelah."

Risa menatap semua orang dan mencoba tersenyum. Hingga semuanya terdiam, baik Risa dan anggota keluarga itu diam, mereka sibuk saling mengamati.

"Mbak Risaaaa ...."

"A-asyila."

Asyila langsung memeluk Risa dan menangis.

"Mbak Risa kemana aja? Syila kangen tahu?"

Risa ikut memeluk Asyila dan mengusap-usap punggung Asyila penuh sayang. Mereka saling melepaskan diri. Risa menatap Maira dan tersenyum padanya.

"Tante Maira sehat?"

"Sehat, sini. Peluk Tante."

Risa menuju ke arah Maira yang sedang duduk, menyalaminya dan memeluknya dengan hangat. Keduanya menangis. Melepas kerinduan.

"Kamu kok gak menghubungi Tante sih. Tante khawatir tahu."

"Maaf Tante."

"Ayok cerita sama Tante apa yang terjadi sama kamu dan Eyangmu."

Risa pun menceritakan kisah perjalanan hidupnya selama sepuluh tahun ini. Bu Ginah yang awalnya bingung jadi ikut bersedih setelah mendengar cerita Risa.

"Mereka keluarga yang baik rupanya."

"Iya Tante, keluarga Papah Rayyan sangat baik seperti keluarga Tante. Merekalah yang membantu kami selama ini."

"Alhamdulillah, wah benar-benar gak nyangka ya Bi, Mamah awalnya gamang waktu kamu tugas disini tapi melihat ternyata rumah yang kamu beli bersebelahan sama Risa, Mamah kok seneng ya. Pokoknya Mamah sekarang ridho lahir batin kamu ngabdi di sini."

"Papah juga, jadi dokter di desa harus bisa membaur dengan sesama. Jangan jadi AC terus." Nasehat Fatih untuk putranya.

"Iya Pah, Abi akan berusaha."

"Syila juga seneng Mah, nanti kalau liburan kita bisa main kesini."

"Sekalian aja kita kuliah disini Syila. Di Purwokerto banyak universitas kayak Unsoed, UMP, UNWIKU, STAIN, sama yang lainnya."

"Setuju Atha. Gimana Mah? Boleh kan?"

"Boleh, kalian boleh kuliah disini. Toh Mas kamu udah punya rumah juga disini jadi bisa mengawasi kalian berdua. Gimana Pah?"

"Papah terserah kalian. Yang penting kalian bahagia."

"Makasih Pah." Asyila langsung memeluk papahnya.

"Wah Bi, kebetulan sekali ya kamu keterima disini. Belum lagi rumah kalian yang bertetanggaan. Bener-bener suatu kebetulan."

Deg.

Risa melirik ke arah Abizar yang juga tengah menatapnya tajam. Kebetulan? Risa tiba-tiba menyadari kalau ini bukan kebetulan. Pasti ini ulahnya. Risa melotot ke arah Abi sedangkan Abi menatap Risa dengan tatapan geli.

*****

Abizar menatap keluarganya yang masih sibuk bercengkrama dengan Risa sebelum kembali ke Jakarta.

"Nanti Tante bakalan sering kesini. Tante minta tolong awasi Abi ya Ris. Dia paling susah makannya kalau lagi fokus sama kerjaan."

"Iya Tante." Mau tak mau Risa menjawab iya.

"Abi, kamu jagain Risa loh. Pokoknya harus jadi satpamnya 24 jam non stop."

"Tenang Mah kalau perlu nanti kita sekamar."

Semua mata melotot kearah Abi.

"Bercanda Mah, biar gak pada mewek kan mau pisahan."

"Hahaha. Iya bener. Ya udah kita semua pulang dulu ya Ris. Jaga diri kamu baik-baik."

"Iya Tante."

Risa melambaikan tangan dan tersenyum pada keluarga Abizar yang akan kembali ke Jakarta. Setelah mobil menghilang, Risa langsung berbalik dan menatap Abizar penuh amarah.

"Kamu sengaja ya."

"Iya."

"Kenapa?"

"Pengen."

"Itu bukan jawaban."

"Itu alasan."

"Ck. Kenapa kamu harus beli rumah ini?"

"Terserah akulah, orang duit-duitnya aku."

"Ish ... AC nyebelin."

"Dan ngangenin."

"Ngigau."

Abi cuma tersenyum lalu mendekat ke arah Risa, Risa sontak mundur dan langsung bergerak menuju rumah dinas dan menutup gerbang secepat kilat.

"Awas ya kalau macem-macem."

"Gak banyak macem, cuma satu macem." Abizar menatap Risa dengan tatapan genit.

"Awas kalau kamu berani masuk rumahku."

Abizar cuma menatap Risa dengan tatapan mengejek. Lalu bertumpu pada tembok yang bahkan hanya setinggi pusar Abi.

"Aku malah bakalan sering masuk. Kamu cukup diam saja dan tunggu aku. Hati-hati kunci pintu ya. Terutama pintu kamar kamu." Abi mengerling genit lalu masuk ke dalam rumahnya.

Astaga, kenapa Abizar berubah jadi sinting ya? Wah gawat, Risa memeluk tubuhnya begidig ngeri. Dia harus menjaga tubuhnya baik-baik. Sudah cukup bibirnya jadi korban. Jangan bagian tubuhnya yang lain.

*****

Abi tengah mengamati rumah Risa dari balkon rumahnya. Senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Tak percuma membayar Zionathan dengan semua benda penting pemberian Profesor Soegito dan Profesor Park. Karena semua info dan hasil yang di dapat sangat memuaskan.

Sebuah notifikasi di HP-nya membuat fokus Abi teralihkan. Abi melihat nama si pengirim pesan. Viona.

Abi memilih tidak membukanya bahkan ketika ada panggilan dari nomer Viona pun, Abi tetap tak mengangkatnya.

Abi mengingat adegan demi adegan sebelum dia sampai di sini.

"Saya menolak pengunduran diri anda, Dokter Abizar."

"Ada alasan saya mengundurkan diri Dokter Vino. Mulai bulan Januari saya harus bertugas di Jawa."

"Maksud Dokter?"

"Tugas negara."

"Jangan bilang anda ikut tes tahun ini."

"Iya Dok, apalagi bulan ini masa kontrak saya dengan RS Binar Kasih sudah habis. Jadi saya mengajukan pengunduran diri."

"Abi." Dokter Vino memanggil nama Abizar.

"Om mohon Bi, tetaplah disini. Om punya harapan besar pada kamu. Anak lelaki Om yaitu Vero memilih menjadi pebisnis. Meski ada Viona tapi dia perempuan. Om tidak mau dia mengurusi rumah sakit ini sendirian. Om ingin dia nanti mengurusi rumah sakit tanpa meninggalkan kewajibannya sebagai istri. Dan Om sangat berharap kamulah yang akan menjadi suami Viona."

"Maaf Om, Abi tidak bisa."

"Bi, Viona cantik dia kurang apa sih?"

"Dia tidak bisa membuat Abi jatuh cinta."

"Cinta bisa ditumbuhkan saat kalian sudah bersama."

"Maaf Om, Abi tidak bisa."

Dokter Vino menghembuskan nafasnya pelan.

"Kamu dan Papahmu sama saja. Keras hati kalau sudah ada maunya."

"Itu Om tahu."

"Tapi Viona ...."

"Tiga hari lagi Abi sudah harus di tempat baru Om, Abi sudah punya surat tugasnya. Abi warga negara yang baik jadi harus menjalankan tugas sebaik mungkin."

Vino menatap Abi dengan tatapan pasrah.

"Baiklah, semoga kamu betah disana."

Abizar mengangguk dan menyalami Dokter Vino tepat saat Viona masuk ke dalam ruangan papahnya.

"Pah, loh Abi juga disini?" Viona menatap Abi dengan pandangan memuja.

"Saya permisi Om." Abi melangkah menuju ke pintu dan hendak membukanya ketika Dokter Vino memanggilnya.

"Abi."

Abizar menoleh kearah Dokter Vino.

"Bisa nanti malam kamu ke rumah Om, ajak keluargamu untuk makan malam. Anggap sebagai ucapan perpisahan."

"Maaf Om, Abi nanti malam sudah harus berangkat. Abi ingin kelihatan segar saat hari pertama tugas."

"Baiklah. Semoga sukses disana."

"Terima kasih. Saya pamit."

Abizar meninggalkan ruangan Dokter Vino. Sementara Viona menatap Papahnya bingung.

Sesampainya di rumah, Abizar langsung mandi, membersihkan diri dan menyiapkan semua perlengkapan yang akan dia bawa.

"Sudah semua Abi."

"Sudah Mah."

Maira duduk di samping sang putra. Lalu menggenggam tangannya.

"Gadis Jawa di Jakarta banyak loh Bi, kenapa harus ke Jawa kalau mau nyari calon istri gadis Jawa?" kelakar Maira.

"Abi mau menjalankan tugas Mah."

"Tapi pasti kamu ngelirik dan dilirik gadis sana Abi. Dan kalau kamu tertarik pasti kamu nikah dan terus tinggal di Jawa."

Abi hanya tertawa sedangkan Maira nampak sedih karena akan ditinggal putra sulungnya.

"Harus gitu ya Bi? Kamu harus nyari gadis Jawa ya di Jawa juga."

"Harus, karena gadis Jawaku ada disana Mamah", batin Abi.

"Mah, udah deh Abi harus siap-siap. Bukannya nanti malam kita berangkat."

Maira menatap putranya sendu. Abi memeluk mamahnya dan mencium pipinya.

"Abi udah beli rumah kok disana. Rumahnya cukup besar untuk ukuran orang sana. Nyaman pokoknya."

"Kamu kok punya uang sih Bi buat beli rumah?"

"Kan Abi kerja Mah sejak masih sekolah, lupa ya?"

"Kerja yang mengandalkan otak sama fisik kamu dalam main basket kan?"

"Nah itu tahu."

Maira memeluk putranya penuh sayang sedangkan Abi mencium pucuk kepala ibunya dengan penuh kasih.

"Kamu baik-baik disana ya Bi."

"Iya Mah. Doain Abi terus ya?"

"Pasti, Nak. Pasti."

Lamunan Abi terputus. Sekali lagi Abi tersenyum, kemudian menatap rumah sebelah. Ternyata lampu kamar sudah dimatikan pertanda si pemilik kamar sudah tidur.

"Selamat tidur calon penghuni kamarku yang baru. Tidurlah yang nyenyak karena mulai besok, kamu bakalan susah menghindari pesonaku."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel