12. Benci
Risa tengah menengok kiri kanan. Sepi. Sepertinya semua anggota keluarga Rayyan dan Zio sudah berada di kamar masing-masing. Risa berjalan mengendap-endap menuju taman belakang. Seharian ini dia berusaha menghindar dari hadapan si AC. Untung saja ada si kembar jadi Risa punya alasan momong anaknya Mas Reihan.
Mereka menginap di hotel milik rekan kerja ayahnya Zio. Hotel bintang lima, gratis pula.
"Huft. Akhirnya bisa keluar juga."
Risa tengah berjalan-jalan menikmati taman yang sunyi dengan gemericik air kolam. Jujur seharian ini dia merasa bosan karena bersembunyi terus. Dia butuh udara segar untuk menghilangkan kegundahan hati.
"Hem ... nyamannya."
Risa duduk-duduk di tepi kolam dengan mencelupkan tangan kirinya ke dalam air. Tak lupa pula dia bersenandung lagu-lagu kesukaannya. Ia tampak menikmati kesendirian di bawah lampu temaram taman.
Hingga suara berisik di belakangnya mengganggu kesenangannya. Risa berbalik bersiap-siap melawan jika itu penjahat dan membacakan ayat kursi jika yang datang adalah kuntilanak. Risa melotot tak percaya, bukan karena ada penjahat ataupun kuntilanak tapi ada dia si AC. Sejak kapan si AC duduk disitu?
Risa gugup dan salah tingkah. Dia bingung harus bagaimana, apa harus pura-pura tidak kenal padahal kenal atau menyapa dengan ramah.
"Apa kabar Carissa Aurora."
Deg. Astaga ternyata Abi masih mengingat tentang dirinya.
"Lama tak berjumpa ya? Bagaimana kabarmu? Eyang Pardi sehat?" tanya Abi lalu tersenyum manis.
Syok dan bingung. Risa seperti merasa de javu. Entah mengapa Risa merasa lelaki yang ada dihadapannya adalah Abizar teman masa kecilnya dulu. Abi yang hangat dan murah senyum.
"Risa. Apa ini cara kamu menyambut mantan tetanggamu hem?" Abizar bergerak mendekati Risa. Risa semakin gugup, tidak mungkin dia mundur. Bisa-bisa jatuh ke kolam.
"Kamu bener-bener tetangga yang baik ya?" desis Abi dengan pandangan menusuk.
"Pergi tanpa pamit, tak pernah memberi kabar. Bahkan sedikit jejak kalian pun tak kelihatan." Langkah Abizar terus bergerak menuju Risa.
"Kenapa hem?"
Risa hanya diam dan memilih untuk diam.
"Kamu tahu, selama berhari-hari Asyila sakit karena kangen sama kamu, Athaya jadi pemurung dan setiap malam Mamah menangisi kepergianmu."
Deg. Jantung Risa semakin mau copot, selain karena rasa bersalah pada keluarga Abi tetapi juga karena jarak keduanya kini sangat dekat. Risa bahkan bisa merasakan hembusan nafas Abizar di ujung kepalanya.
"Aku ... aku ...." Risa bingung mau menjawab apa.
"Aku hmmmp .... "
Cup.
Mata Carissa melotot tak percaya dengan perlakuan Abizar. Kedua tangan Abi memegang pipinya, sedangkan bibir Abi sibuk mencecap rasa bibir milik Risa, dengan sangat lembut namun panas, Abi menyelusuri setiap bagian bibir Risa.
Risa syok, ini ciuman pertamanya. Tubuhnya bergetar, kakinya mendadak seperti jelly dan tak bisa menapak dengan benar. Abi yang paham langsung menyangga tubuh Risa dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya sibuk mengelus punggung Risa. Entah berapa lama Abi bermain di bibir Risa bahkan lidahnya sudah menelusuri semua bagian mulut Risa dan menghisap lidahnya dengan hisapan lembut namun memabukkan, Risa tak membalas namun sangat menikmati perlakuan Abi. Hingga suara kodok di kolam menyadarkan Risa kalau ini dosa.
Plak.
"Gila kamu!" ucap Carrisa sambil mengusap bibirnya dengan lengannya.
Abizar cuma tersenyum melihat tingkah Risa tapi tak ada kemarahan disana, dia justru merasa senang.
"Manis ... ternyata begini ya rasanya mencuri ciuman pertama."
Risa ingin menampar Abi lagi. Namun tangannya dicengkeram oleh Abizar.
"Lepas!"
"Silakan! Coba saja."
"Lepas Abi!"
"Abi? Jadi kamu masih ingat aku? Bukannya seharian ini kamu seolah-olah tidak mengenalku."
"Lepas!"
Risa masih berusaha melepaskan diri dari cengkraman Abizar. Namun, Abi tak mau melepasnya. Tatapannya menghujam ke arah Risa. Hingga Risa menggigit lengan Abi.
Abizar kaget dan melepaskan cengkeramannya namun naas Risa yang tengah berusaha menarik tangannya hampir saja jatuh ke belakang. Beruntung refleks Abizar bagus hingga tangan Risa langsung ditarik dengan tangan kirinya dan tangan kanan Abi meraih pinggang Risa hingga tubuh mereka merapat.
Deg. Keduanya terdiam. Masing-masing berusaha menenangkan deburan jantung yang tiba-tiba bertambah frekuensinya.
"Kumohon lepaskan aku Abi." Risa bersuara dengan gemetar dan mata mulai berkaca.
"Kumohon ...." Abi masih diam dan tak melepaskan.
"Kumohon Abizar ...," lirih Risa yang kini mulai terisak. Abi melepaskan Risa dengan perlahan.
Risa langsung memanfaatkan kesempatan ini untuk berlari menuju kamarnya, sampai di kamar dia mendapati Fina yang masih tidur dengan nyenyak. Risa langsung merebahkan dirinya dan menutup mukanya dengan bantal.
Dia menangis, brengsek umpatnya. Ciuman pertamanya telah dicuri dan yang mencurinya tak lain dan tak bukan adalah tetangganya dulu, mantan sahabat sekaligus cinta pertamanya.
Abizar sendiri masih berada di taman, dia tengah menatap lurus seseorang yang melongo karena melihat tingkah Abizar yang ... kelewatan. Namun, justru membuktikan kalau Abizar itu normal. Tidak seperti selentingan kabar yang mengatakan kalau seniornya itu 'jeruk makan jeruk'.
"Ternyata Mas Abi sangat hot dan cowok normal. Wow ... besok aku juga gitu ah."
"Kamu lihat semuanya?"
"Enggak, cuma lihat waktu adegan hotnya aja hehehe."
Abizar tersenyum, dia mengelap bibirnya yang basah.
"Mas, Risa pakai kerudung loh. Kok Mas Abi cium dia sih? Maksa lagi."
"Sengaja."
"Hah, maksudnya? Ckckck. Harus dengan cara seperti itu ya?"
Abizar hanya mengedikkan bahu lalu tatapannya tertuju pada langit dimana satelit bumi tampak sangat bundar. Abi tersenyum, benar-benar ciuman pertama yang indah.
"Mas kenal Risa? Jangan bilang dia gadis cilik yang fotonya ada di dompet Mas Abi."
Abizar tersenyum kemudian menatap ke arah Zionathan.
"Kamu bisa menceritakan semua hal tentang Risa?"
"Apa hadiahnya?"
"Terserah."
"Aku mau jamnya Mas Abi yang dikasih Profesor Soegito. Boleh?"
Abizar langsung membuka jam tangannya dan menyerahkannya pada Zionathan. Zio tak percaya, lalu menerimanya dengan mata berbinar.
"Oke deal Mas."
Zio langsung menceritakan tentang bagaimana Eyang Pardi yang ternyata dulu adalah tetangga sekaligus adik sepermainan Eyang Rahmat, ayah dari Tante Nasha. Eyang Rahmat yang menampung Risa dan Eyang Pardi selama mereka tinggal di Sokaraja. Bahkan kepindahan Risa ke SMA Sokaraja juga atas bantuan Eyang Rahmat.
Keluarga Fina begitu senang dengan kehadiran Risa pun Fina. Setiap menginap di rumah Eyang Rahmat, Fina dan Risa akan menghabiskan banyak waktu bersama.
Suatu hari Fina mendapati beberapa anak lelaki mengejek Risa karena giginya. Fina geram dan langsung memaksa Risa memakai kawat gigi. Dengan bantuan sang mamah dan menggunakan fasilitas lengkap di klinik gigi milik sahabat mamah Fina, Jeni. Mamah Fina dan sahabatnya melakukan perawatan dan pengobatan pada struktur gigi Risa dan memasangkan kawat gigi.
"Jadi enam tahun Risa memakai kawat gigi Mas, hasilnya Mas lihat sendiri. Cantik kan?"
"Iya."
"Jujur Mas, pas lihat Risa habis lepas kawat giginya aku sempat syok. Bukan karena aku jatuh cinta sama kecantikannya loh. Soalnya Fina juga cantik sih."
Pletak.
"Aw ... sakit Mas."
"Kamu itu aneh Zi, perasaan dari dulu pacar kamu Azizah tapi kamu selalu bilang Fina cantik. Pantas pacarmu nikah sama ustaz, kamunya biasa aja."
"Ya mau gimana lagi, aku udah perjuangin dia. Tapi aku gak nyesel kok kenal dia. Berkat dia kami sekeluarga jadi mengenal islam dan aku lebih memaknai keislamanku tanpa embel-embel bisa nikah sama Azizah. Hehehe. Sayang aku belum pernah nyium Azizah. Apa aku nyium Fina aja ya Mas."
Pletak.
"Mas Abi? Ya ampun kejem amat sih."
Abi terkekeh, dari dulu Abi memang meragukan persahabatan si cowok bule dan gadis blasteran. Bilangnya sahabat tapi saling membutuhkan dan nampak seperti pacaran. Dimana ada Zio disitu ada Fina. Dimana ada Fina disitu Zio akan selalu mengekori kemana pun Fina pergi.
"Zio."
"Iya."
"Kenapa Risa ngambil kebidanan bukannya kedokteran? Aku masih ingat dia bercita-cita jadi dokter anak."
"Makanya Mas Abi ngambil spesialis anak juga, begitu kan?"
"Hem ... iya."
"Kata Fina gara-gara Oma Nunung yang waktu itu mau melahirkan tapi Eyang Pardi sedang bekerja. Karena tak ada siapa-siapa otomatis Risalah yang mendampingi Oma Nunung melahirkan ditangani bidan desa. Sepertinya dari situlah, Risa pengen jadi bidan, Mas."
"Eyang Pardi menikah?"
"Iya, perawan tua usia 40 tahun yang jatuh cinta sama Eyang Pardi."
"Ooo."
Hening.
"Sekarang Risa kerja dimana?"
"Jadi bidan desa di Puskesmas Sumbang."
Abizar tersenyum dan matanya berbinar. Zio yang melihatnya tertawa.
"Hahaha. Jangan bilang Mas Abi punya rencana buat merangkap Risa."
"Bantu aku ya?"
"Oke. Imbalannya, jam tangan milik Prof. Park. Gimana?"
"Ck ...."
"Hem hem."
"Deal."
"Yes."
Zionathan merasa senang karena dapat memanfaatkan situasi. Abizar sendiri tak peduli. Selama itu bisa ditukar dengan informasi ataupun kesempatan untuk bersama Risa. Dia akan memberikannya.
Oke, misi pertama Abizar sukses hari ini. Mengungkapkan rasa rindunya dan menanamkan kebencian pada Risa. Bukankah 'benci' itu bisa dikatakan 'benar-benar cinta'.
