Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

11. We Meet Again

Seorang bidan muda tengah berlari bersama seorang lelaki dan dua orang perawat yang tengah mendorong brankar berisi ibu hamil yang akan melahirkan. Sang ibu langsung dibawa ke ruang bersalin. Sedangkan sang bidan dan si suami pergi ke bagian administrasi terlebih dahulu.

"Sudah beres administrasinya, sekarang Bapak temani istrinya dulu ya. Prosedur sesar tinggal menunggu persiapan dari pihak rumah sakit."

"Terima kasih Bu."

"Sama-sama. Mohon maaf saya tidak bisa menemani. Saya harus kembali ke puskesmas."

"Oh iya Bu."

"Mari Pak."

"Oh iya Bu, hati-hati."

Bidan muda itu tersenyum dan segera menuju ke mobil ambulance. Saat akan mencapai pintu masuk Margono seseorang memanggilnya.

"Halo Cantik. Nganter pasien ya?"

"Eh ... Dokter Danu. Iya."

"Kenapa pasiennya?"

"Sungsang Dokter Danu, padahal dua hari yang lalu saya cek sudah mapan."

"Hem ... oke biar nanti disiapkan semuanya."

"Makasih Dokter Danu. Mari saya duluan"

"Sama-sama."

Sang bidan segera berlalu, namun langkahnya terhenti saat si Dokter berusia 33 tahunan memanggilnya.

"Bu Bidan malam minggu di Sokaraja apa Sumbang?"

"Sokaraja Dok."

"Wah kebetulan, saya main ya?"

"Mohon maaf Dok, hari minggu kita ada acara di rumah saudara."

"Oh ... gitu ya, semoga lain waktu."

"Maaf ya Dok, permisi saya sudah ditunggu."

"Oh iya. Silakan."

Dokter Danu menatap sang bidan dengan pandangan memuja. Ah, bidan itu susah sekali digapainya. Padahal dua tahun dia mencoba mendekatinya. Tapi selalu saja dia menjarak. Ck ... benar-benar semakin membuat Danu penasaran ingin menaklukannya.

Panggilan dari perawat yang mengatakan kalau persiapan operasi sudah selesai, membuat perhatiannya kepada si bidan teralihkan. Sementara sang bidan sudah masuk kembali ke mobil ambulance.

"Cape Bu."

"Capelah Heri. Dari semalem ngurusi orang lahiran. Bayangkan empat. Ini yang terakhir malah harus dirujuk, padahal aku cek dua hari yang lalu udah mapan."

"Pengen main jauh kayaknya si dedek bayinya."

"Mungkin."

"Tadi di cegat lagi sama dokter Danu ya?Cie ... yang habis ngobrol sama fans beratnya."

"Brisik tahu!"

"Dih, sama pasien dan keluarganya ramah, sama aku galaknya minta ampun."

"Au ah, ngantuk. Aku mau bobo cantik dulu ya."

"Oke ... jangan mimpiin aku ya, aku cukup dimimpiin sama Lisa. Hehehe."

"Dasar bucin belum tentu Lisanya mau."

"Maulah ya? Sama orang ganteng kayak aku."

"Iyain ajalah."

"Hahaha."

Ambulance melaju dengan kecepatan sedang kembali ke pos mereka di Puskesmas Sumbang 1, Banyumas.

*****

"Jangan lupa dikontrol kadar gula sama proteinnya ya Bu? Biar berat badannya gak naik drastis dan kandungan protein dalam urine juga."

"Iya Bu Bidan."

"Ya sudah ada yang mau ditanyakan Bu?"

"Gak ada Bu? Mari."

"Mari."

Setelah pasien terakhir pergi terdengar helaan nafas sang bidan.

"Akhirnya selesai, lelah sekali rasanya."

Sang bidan menyandar di kursinya.

Kring ... kring ....

Bidan itu kemudian melihat siapa yang menelefon dan tersenyum.

"Ya Mamah Nasha."

"Kamu udah siap-siap ke Sokaraja kan Ris?"

"Ini tinggal berangkat Mah, tadi ada beberapa pasien soalnya."

"Kirain gak bisa dateng."

"Dateng lah Mah, bisa ngamuk nanti si Fina."

"Hahaha. Bener-bener. Ya udah kita tunggu ya Sayang."

"Oke Mah."

"Assalamu’alaikum."

"Wa’alaikumsalam."

Risa nama bidan desa itu. Saat ini ia tinggal di rumah dinas di daerah Sumbang. Risa mengganti bajunya dengan kaos panjang, celana jeans, kerudung instan dan sepatu kets. Risa segera mengambil tas punggungnya. Setelah mengunci pintu dan mengganti papan keterangan dari Bidan 'ADA' menjadi 'KELUAR' Risa segera melangkah menuju motornya.

"Bu Risa mau pergi?"

"Iya Bu, mau keluar kota. Saya sudah ijin ada acara disana. Nanti bilangin kalau ada apa-apa hubungi Mbak Tety ya Bu Ginah."

"Oke Bu. Hati-hati ya?"

"Iya."

Saat Risa berbalik dia membaca info rumah di sebelahnya.

"Belum laku juga apa Bu Ginah?"

"Belum Bu, padahal adik saya lagi butuh loh. Tapi mau gimana lagi. Rumahnya terlalu mewah sih. Jadi mana ada yang berani beli dengan harga 300 juta."

"Wow ... aku harus ngumpulin gajiku berapa puluh tahun itu ya Bu."

"Makanya Bu Risa, paling yang mau beli orang kota, eh apa calon suami Bu Risa barang kali."

"Hahaha. Bu Ginah kayak gak inget aja kalau aku ini jomblo sejati. Tapi tak aminin ajalah. Duluan Bu Ginah, semoga rumah adiknya Ibu cepat laku."

"Amin. Hati-hati Bu Risa."

"Iya."

Risa segera menjalankan motornya membelah jalanan dari Sumbang menuju Sokaraja.

*****

"Akhirnya anak wedokku datang juga."

Risa mencium tangan Nasha dan Rayyan.

"Kok sepi Mah, Pah. Belum ada yang dateng?"

"Belum. Si Aya nungguin Royyan menyelesaikan kerjaannya dulu. Fiqa sama Elang lagi menyelesaikan pekerjaan mereka juga. Si Reihan lagi maju mundur cantik jadi ikut apa enggak."

"Hahaha. Emangnya kandungan Mbak Zaza gimana katanya? Sehat kan?"

"Sehat sayang, cuma Mas kamu masih sedikit takut kejadian kayak si kembar terulang lagi."

"Untung mereka gak papa ya Mah."

"Iya untung saja. Makanya kamu kalau suka sama cowok jangan jadi obsesi yah. Semoga suami kamu juga gak banyak fansnya. Nih, Papah sama Reihan udah jadi saksi hidup menjadi objek obsesi seorang wanita."

"Hahaha. Iya Mamah. Nanti Risa nyari yang tampang biasa-biasa aja."

"Biasanya kayak siapa Ris?" Kini Rayyan yang bertanya.

"Minimal blasteran kayak Papah sama  Mas kembar. Tapi kalau lokal kayak Mas Elang eksotik tapi jantan."

Ketiganya tertawa hingga perhatian mereka teralihkan karena kedatangan anggota keluarga Rayyan yang lain. Setelah beristirahat dan cukup bercengkrama, mereka segera menuju mobil dan melajukan  empat mobil ke Jogja untuk menghadiri wisuda si bungsu, Rafina.

*****

Keluarga Rayyan tengah memencar di sekitar kampus UGM. Khaula muda sedang selfi-selfi. Para anak kecil sedang bermain ditemani para Ayah. Sedangkan para wanita sedang duduk-duduk di atas tikar. Sedangkan Nasha dan Rayyan sedang menemani Fina di ruang Auditorium.

"Risa ke kamar mandi dulu ya Mbak."

"Hati-hati Ris, takut ada penculik. Hihihi."

"Ish ... Mbak Aya, gak usah nakut-nakutin. Emangnya siapa yang mau nyulik Risa."

"Cogan," celetuk Ayana, Rafiqa dan Zaza.

"Au ah. Risa pergi dulu."

Risa langsung melesat mencari kamar mandi. Saat tengah asik mencari-cari teleponnya berdering. Risa tersenyum dan mengangkatnya.

"Halo Omcik ... gimana kabarmu?"

"Baik, Mbak. Mbak jangan lupa bakpia pathoknya."

"Oke. Eyang sama Oma sehat?"

"Sehat. Nih kita lagi mancing."

"Syukurlah. Kamu udah dapat ikannya belum?"

"Belum?"

Risa tengah bercerita dengan om ciliknya. Iya, satu tahun hidup di Sokaraja, Eyang Pardi yang saat itu berumur 60 tahun bertemu perawan tua berumur 40 tahun. Mereka saling jatuh cinta dan menikah. Dan suatu keajaiban Oma Nunung langsung hamil.

Meski kehamilannya memang sangat beresiko saat itu. Namun alhamdulilah om ciliknya bisa lahir dengan selamat. Usianya sekarang sembilan tahun. Namanya Paundra Putra Sadewa dipanggil Dewa.  Sekarang Eyang Pardi dan keluarganya tinggal di Banjarnegara di kampung sang istri.

"Nanti kita mau bakar ikannya Mbak, Mami udah nyiapain bumbunya. Sayang Mbak Risa gak bisa ikut."

"Maaf ya Omcik, Mbak lagi ke Jogja. Kan yang wisuda temen baik Mbak."

Risa terus bercerita sambil berjalan dan berteleponan hingga tak menyadari keadaan sekelilingnya. Sesekali sambil memandang kanan kiri mencari kamar mandi. Ah itu dia.

Bruk.

"Aw... maaf Mas. Sorry. Mbak tutup dulu ya Omcik mau ke kamar kecil."

Risa mematikan HP lalu mengambil boneka dan bunga milik seseorang yang terjatuh akibat ulahnya.

"Sorry ya Mas, aku gak seng …."

Deg. Tiba-tiba Risa menjadi gugup. Ya Allah, dia?

"Maaf Mas. Permisi."

Risa memilih langsung ke kamar mandi setelah menyerahkan boneka dan bunga itu kepada pemiliknya. Seseorang yang ditabrak Risa menatap Risa dengan terkejut bahkan dia masih melongo meski Risa sudah menghilang sejak lima menit yang lalu.

Sampai di kamar mandi,  Risa mencoba menormalkan deburan jantungnya. Gak mungkin dia kan? Lagian ngapain dia disini? Gak ini cuma halusinasi Risa. Pasti bukan dia. Dulu dia kan item manis, kalau ini sedikit lebih putih. Risa masih berusaha berpikir positif, pasti bukan dia.

Risa segera menuntaskan hajatnya, memperhatikan penampilannya di kaca, merapikan kerudung dan kebayanya lalu memolesi wajahnya dengan bedak dan lipstik lagi pada bibirnya.

"Oke perfect."

Risa menoleh kiri dan kanan. Entah mengapa ada perasaan takut kalau orang yang dia lihat tadi adalah orang di masa lalu.

"Huft. Aku kok jadi paranoid gini ya," ucap Risa untuk dirinya sendiri.

Risa segera berjalan menuju ke tempat wisuda. Tanpa Risa ketahui, seseorang yang bersembunyi di balik pepohonan menatapnya tajam. Namun seulas senyum tak pernah lepas dari bibirnya.

*****

"Kamu nyari siapa sih Fin?"

"Kakak angkatku sama Zio. Tapi kok belum kelihatan ya?"

"Owh ... yang kamu ceritakan waktu itu?"

"Iya."

Risa menatap ke sekelilingnya. Tampak semua keluarga bahagia menyaksikan putra putri mereka diwisuda. Risa jadi ingat ketika dia diwisuda. Seluruh keluarga Rayyan dan Omanya juga datang. Tatapan Risa tertuju kepada Zio.

"Azizah gak ikut dateng Fin?"

"Kamu kayak amnesia aja. Udah tahu mereka putus. Keluarga Azizah gak mau Azizah nikah sama bule meski si bule udah jadi muslim, mereka lebih setuju Azizah nikah sama si ustaz. Hihihi."

"Ustaz inceran kamu kan?"

"Hahaha. Udah lupa. Lagian itu kan masa putih abu-abu."

"Hehehe. Kamu gak marah si ustaz milih Azizah?"

"Gak. Lagian aku percaya jodoh gak akan kemana dan tak akan tertukar."

"Iyain aja deh."

Risa dan Fina ngobrol seru sekali hingga tatapan Fina tertuju pada seseorang yang dianggap sebagai kakaknya tengah menatap Fina dengan senyum merekah.

"Mas ... sini. Zio, Mas Abi udah datang."

Semua orang menoleh kearah yang ditunjuk oleh Fina, pun dengan Risa.

Deg.

Mata Risa melotot tak percaya. Astaga, itu beneran dia ternyata.

"Mas Abi," teriak Zio.

Zionathan berpelukan dengan lelaki yang dipanggil Abi. Sedangkan Fina bersalaman, mereka tak saling memeluk hanya saja tangan lelaki itu mengelus kepala Fina yang berbalut kerudung.

"Ayok Mas, kenalin kekuarga Fina sama keluarganya Zio."

Lelaki itu mengikuti langkah Fina dan Zio menuju ke rombongan keluarga Rayyan.

"Mah, Pah, dan semuanya kenalin ini loh Mas Abizar yang udah Fina sama Zio anggap sebagai kakak dan sering membantu kita berdua."

"Perkenalkan nama saya Abizar Caesario Raffardhan, salam kenal semuanya."

Abizar menyalami semua orang termasuk Risa. Bahkan Risa bisa merasakan remasan pada tangannya ketika mereka bersalaman belum lagi tatapan mata tajam itu. Astaga, kenapa mereka harus ketemu lagi.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel