Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

10. Gadis Jawa

Langkah kaki tegap seorang dokter berusia 27 tahun menggema. Tubuh tinggi atletis dengan kulit putih, alis tebal dengan bibir tipis serta wajah tampan nan rupawan membuat siapa saja yang melihatnya tak ingin berpaling. Termasuk Viona.

"Abizar." Viona melangkah mendekati Abizar yang masih tetap berjalan tanpa berhenti bahkan menengok ke arah Viona pun tidak.

"Makan yuk Bi, bentar lagi istirahat siang." Viona berusaha mengimbangi langkah kaki Abizar.

"Gak."

"Ayolah Bi, udah lapar nih. Perut kita juga butuh dikasih makan tahu, jangan sampai kita sakit kalau kita sakit kasihan pasien-pasien kita. Ya kan Bi," ucap Viona dengan wajah sumringah.

Sayang Abi hanya diam dan terus berjalan bahkan meninggalkan Viona tanpa membalas atau menolak ajakannya. Viona mendesah, dia berhenti mengikuti langkah Abi. Viona menatap punggung Abi dengan mata nanar.

"Masih belum menyerah rupanya."

Viona menoleh ke sumber suara, dia kemudian tersenyum.

"Hai Arjuna."

"Hai. Sepertinya masih belum bisa mencairkan hati si AC ya?" Arjuna menatap Viona sambil tersenyum manis.

"Belum."

"Abi memang seperti itu. Irit omong, dingin dan tak tersentuh."

"Menurut kamu, Abi suka sama cewek gak ya?"

"Mana kutahu. Dan itu bukan urusanku. Yang penting aku normal karena masih suka sama cewek. Sayang si cewek gak pernah mau lihat aku. Lihatnya si AC melulu," gerutu Arjuna.

Viona tersenyum, dia paham maksud Arjuna.

"Habis AC-nya sangat menantang untuk ditaklukkan."

"Hehehe. Kamu gak ingin menyerah? Sudah sembilan tahun loh."

Viona menghembuskan nafasnya. Iya sembilan tahun Viona mengenal Abizar semenjak mereka sama-sama kuliah di Fakultas kedokteran UI. Selama sembilan tahun lamanya dia berjuang menaklukan hati Abizar tapi tak pernah berhasil. Abizar tetap dingin dan tak tersentuh.

"Hei ... kok melamun."

"Kadang aku ingin menyerah Jun."

"Kalau kamu capek kenapa kamu gak mencoba untuk menerima hati yang lain? Minimal membuka kesempatan. Gimana?"

"Entahlah Jun. Aku takut cuma menjadikan kamu pelampiasan. Sedangkan hatiku masih utuh buat Abi."

"Makanya, kasih aku kesempatan dong buat meraihnya."

Hening. Viona menatap Arjuna dengan perasaan bimbang. Mengharap Abizar atau memberikan kesempatan pada Arjuna.

"Gimana?"

"Entahlah Jun."

"Sebulan saja. Oke."

Viona menatap lekat ke arah Arjuna. Lalu tersenyum.

"Aku akan mencoba tapi aku mohon jangan paksa aku, oke."

"Oke. Aku pastikan akan kugunakan kesempatan ini untuk meraih hatimu."

"Jangan terlalu pede Arjuna."

"Haruslah. Arjuna gitu. Penakluk wanita kalau di cerita pewayangan."

"Hahaha. Lihat saja nanti."

"Akan kubuktikan. Ayuk makan siang denganku."

"Oke."

"Bagus, aku akan membawamu ke suatu tempat."

"Kemana?"

"Ada deh."

Viona menyetujui saja usulan Arjuna. Dalam hati Arjuna tersenyum, dia akan menggunakan kesempatan ini sebaik mungkin. Bodoh memang Abizar, wanita secantik Viona malah ia abaikan. Padahal selain cantik dia adalah cucu dari pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja. Senyum tak pernah lepas dari bibir Arjuna.

*****

Abizar baru saja sampai di rumahnya.   Setelah membersihkan diri, dia keluar menuju ke ruang keluarga.

"Udah makan Bi?"

"Sudah Mah." Abi duduk di sebelah mamahnya.

"Kok sepi Mah, pada kemana?"

"Papahmu lagi kumpul di rumah Pak RT. Kedua adikmu sibuk di kamar masing-masing katanya sibuk belajar mau semesteran. Entah beneran belajar, mainan HP, ngegame atau malah tik tokan," gerutu Maira.

Abizar tertawa mendengar ucapan mamahnya yang terdengar sewot.

"Mereka memang gak kayak kamu Bi yang serius. Untung saja mereka gak banyak ulah cuma sukanya polah. Gesrek pula."

"Yang penting mereka tahu batasan Mah, lagian nilai mereka juga tetap bagus kok. Memang adanya Asyila sama Athaya kayak gitu."

"Iya juga sih."

Abizar dan Maira fokus ke acara televisi. Abizar tengah fokus memperhatikan siaran berita yang terpampang di layar kaca. Maira sendiri tengah memperhatikan anak sulungnya.

"Bi."

"Iya Mah."

"Kamu punya hubungan apa sama Viona?"

"Gak ada."

"Masa sih. Kok kayaknya dia ngebet banget, sok kenal dan pengen akrab sama Mamah juga."

"Terserah dia, tapi kita gak ada hubungan."

"Emang Abi gak tertarik sama Viona?"

"Gak."

"Masa? Viona cantik loh Bi. Cocok sama kamu."

"Biasa aja."

"Jadi menurut kamu Viona gak cantik?"

Abizar hanya mengedikkan bahunya sedangkan matanya tetap fokus ke layar televisi.

"Dia cucunya pemilik rumah sakit tempat kamu kerja loh. Kamu bisa naik pangkat atau mungkin besok-besok bisa jadi direktur rumah sakit menggantikan ayahnya." Pancing Maira, sungguh Maira penasaran dengan isi hati putra sulungnya.

"Gak tertarik."

"Loh, bukannya memiliki kedudukan penting di rumah sakit itu menguntungkan?"

"Bagi yang berambisi dan itu bukan Abi."

"Iya sih, Mamah aja sampai heran sama kamu. Sejak lulus kedokteran dua tahun lalu dan sekarang mengambil spesialis anak kok kamu gak buka praktek sendiri sih Bi."

"Belum kepengin."

"Ck. Padahal banyak yang ngefans sama kamu loh Bi. Kalau kamu buka praktek pasti pelanggannya banyak."

"Hem ... kapan-kapan Abi buka praktek."

"Kapannya kapan?"

Lagi. Abi hanya mengangkat bahunya. Maira akhirnya menyerah. Putra sulungnya memang agak susah dicari tahu isi hatinya. Selama ini Abizar lebih fokus membantu penelitian ini itu bersama dokter seniornya belum lagi bikin artikel ini itu selain tugasnya di rumah sakit.

Abi bahkan belum mau membuka praktek sendiri padahal Fatih sudah menyiapkan lahan untuk sang putra. Seluruh keluarga bahkan heran, seorang Abizar yang cuek dan dingin ini kok malah mengambil spesialis anak. Benar-benar mengherankan.

"Mamah kenapa?"

"Hah, emangnya Mamah ngapain?"

"Itu, ngelihatin Abi terus? Ada yang aneh sama muka Abi?"

"Owh ... enggak. Abi tampan persis Papah. Tapi akan lebih tampan kalau udah bawa gandengan ke rumah."

Abi hanya tersenyum tipis tak mau menanggapi.

"Tuh kan? Kalau lagi bahas ke arah situ Abi selalu saja menghindar. Bahasa gaulnya ngeles."

"Bi, cewek yang Abi suka kayak apa sih? Mama pengen tahu loh," lanjut Maira mencecar sang putra.

"Hem ... tahu."

"Astaga Abi, Mamah itu ...."

Kring ... Kring ….

"Bentar ya Mah, Abi terima telepon dulu."

Abizar mengambil HP-nya, menatap nama si penelepon dan tersenyum.

"Gimana Zio? Jadi wisudanya?"

"Jadi Mas, Mas dateng ya ke Jogja."

"Oke. Si Fina wisuda juga kan?"

"Ya iyalah Mas, paling semangat dia. Tahu sendiri habis ini mau langsung ambil Obgyn katanya."

"Owh ... kamu mau ambil apa?"

"Kayaknya bedah Mas, aku tertarik kesana."

"Bagus itu, kamu emang bakatnya kesana."

"Iya. Mas datang kan? Tenang nanti aku bayarin tiket pulang perginya."

"Oke. Jangan lupa aku disiapin getuk sokaraja sama keripik tempenya ya?"

"Beres. Ntar aku minta Fina yang nyiapin. Kan tahu sendiri dia punya usaha oleh-oleh khas Banyumas."

"Dasar bule gak modal."

"Hahaha."

Cukup lama Abizar berteleponan dengan seseorang yang dipanggil Zio. Hampir satu jam mereka ngobrol hingga akhirnya sambungan berakhir.

"Zionathan ya? Temen bule kamu?"

"Iya Mah."

"Si bule ganteng yang waktu itu datang sama gadis cantik blasteran, Rafina kalau gak salah ya."

"Iya."

"Kamu kok akrab sama mereka padahal kamu di UI mereka di UGM."

"Kami kenal karena pernah ikut penelitian bareng. Kebetulan mereka dipilih sama pihak UGM waktu itu. Padahal mereka masih muda tapi emang pinter sih Mah."

"Ooooo. Fina cantik loh, apa kamu suka gadis kayak Fina, blasteran."

"Gak. Abi suka gadis Jawa asli."

"Ck. Tapi kok gadis Jawanya gak pernah dibawa ke rumah. Kapan kamu bawa gadis Jawanya buat dikenalin sama Mamah?"

"Kapan-kapan."

"Kapannya kapan Abizar?"

"Tahu."

"Dasar AC. Gak anaknya gak Bapaknya. Nyebelin."

"Salah sendiri suka." Terdengar suara dari arah pintu depan."

"Pah, udah selesai musyawarahnya?"

"Udah." Fatih duduk di sisi kiri sang istri sedangkan Abizar di sebelah kanan Maira.

"Tadi kenapa bahas Abi sama Papah. Hemmmm."

"Tuh anakmu."

"Hahaha. Ya udahlah biarin aja. Toh nanti kalau udah nemu gadis Jawanya, pasti diajak ke KUA ya Bi."

"Hem ... iya."

"Tuh kan? Udah deh Mah, Mamah gak usah khawatir sama Abi. Nanti dia mesti bawain calon mantu buat Mamah. Dan gak usah pikirin omongannya Bu Ambar tentang Abi."

Abizar mengernyit, "Bu Ambar mamahnya Arjuna?"

"Iya, Arjuna saingan kamu itu loh Bi."

"Emang Bu Ambar ngomongin Abi gimana Pah?"

"Kamu itu jeruk makan jeruk. Mamahmu sampai ngomel-ngomel sama Papah semenjak kamu dikatain kayak gitu sama Bu Ambar tahu."

"Beneran Mah?"

"Iya Bi, makanya Mamah pengen buktiin ke semua orang terutama si mulut nyinyir itu kalau dugaannya salah."

"Mah, Abi normal cuma Abi belum ketemu aja. Nanti kalau Abi ketemu yang sreg pasti Abi kenalin ke Mamah."

"Beneran kamu normal kan Bi?"

"Demi Allah, Mamah."

"Mamah percaya sama Abi pokoknya. Mamah bakalan terus berdoa semoga kamu segera ketemu gadis Jawa seperti idaman kamu itu."

"Amin," sahut Abi dan Fatih kompak.

Saat kembali ke kamarnya Abizar duduk di meja kerjanya. Kemudian mengambil sebuah foto album dan membukanya. Senyum selalu terukir dari bibirnya.

"Gak nyangka udah sepuluh tahun ya Ris. Kamu dimana Risa? Apa kita bisa ketemu lagi?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel