Part 15c
"Sudahlah tidur lagi saja, ini masih pagi belum subuh. Kamu tadi nyenyak banget tidur di pelukan saya."
Wah fitnah ini. Dikira aku percaya.
"Nggak usah ngarang cerita deh, gue nggak percaya."
"Siapa yang ngarang cerita?"
"Ya lo lah, siapa emmhhh." Si^lan nih orang ngapain nyosorin bibirku.
Rey masih saja membungkam mulutku. Apa aku pingsan aja ya?
Aku terus meronta karena pada kenyataannya aku nggak bisa pingsan. Kurang asem emang ni orang, bikin aku kekurangan nafas aja.
"Emmmmph." Aku memukul-mukul dada Rey. Sampai akhirnya terlepas juga tautan bibirnya dari bibirku. Segera kuelap bibirku dengan telapak tanganku. Jijik euy. Sembarangan aja dia main nyuri ciuman pertamaku, mana baru bangun tidur lagi. Padahal aku telah bertekad untuk mempertahankan bibir seksiku ini untuk suamiku nanti. Eh, tapi kan dia suamiku, eh tapi kan aku nggak cinta dan nggak nganggep dia suami. Eh, tapi ... ah, pusing.
"Udah, jangan dilap begitu." Rey mencoba menyingkirkan tanganku yang sedang melap bibir.
Aku menepis tangannya kasar. "Eh, lo tuh kurang ajar banget sih, main nyosor-nyosor aja," hardikku.
"Kamu lupa kalau kita suami istri?" Rey menaikkan sebelah alisnya, masih dengan posisi berbaring, sedang aku sudah duduk di ranjang.
"Tapi kan cuma status, dan karena keterpaksaan." Aku menjeda ucapanku sambil menetralkan degub jantung yang emang dari tadi nggak ada akhlak banget main berdetak kencang sepagi ini, bahkan ayam jantan pun belum pada berkokok. "Kalau bukan karena desakan dari bunda waktu itu, aku nggak bakalan mau menggantikan posisi calon istri lo yang tiba-tiba mau bunuh diri itu. Jadi jangan bersikap seolah-olah kita itu pasangan suami istri beneran."
"Kalau bukan suami istri beneran, lalu apa, bohongan begitu?" Rey ikut duduk dan mensejajarkan dirinya denganku. "Key, Key, semua orang juga sudah tahu kalau kita pasangan yang sah, baik itu secara agama maupun secara negara, jadi apa yang mau kamu sangkal?"
"Ya tap--"
"Huusst ...." Jari telunjuk Rey menyentuh bibirku, memberi isyarat agar aku diam. "Kamu istriku, itu takdir dari Yang Maha Kuasa."
Jantung tolong deh, dikondisikan seperti biasa jangan kek gini. Padahal kan aku duduk aja dari tadi kenapa seperti habis lari marathon sih. Fix, setelah ini aku harus menghubungi kakak sepupuku yang berprofesi sebagai dokter spesialis jantung. Barangkali aku memang butuh diperiksa, karena semenjak menyandang status jadi istrinya Rey, aku merasa kinerja jantungku bekerja lebih keras tidak seperti biasa. Dan aku takut kalau semua itu berbahaya. Kalau ada apa-apa gimana coba? Kan belum malam pertama. Eh, apa hubungannya ya.
Ucapan Rey barusan mampu membuatku seperti tersihir, hingga aku tak mampu lagi untuk berkata apa-apa. Sialnya jarak wajahku dan wajahnya udah deket banget. Hidung kita hampir bertabrakan. Aduh, kalau Rey sampai khilaf lagi kan gawat. Dosa pagi-pagi begini udah bikin yang enggak-enggak.
"Awas, ih, jangan macem-macem lagi!" Aku memalingkan wajahku yang rasanya udah panas aja, padahal pagi-pagi ini lho, belum juga subuh. Duh, jadi pengen mandi kan.
Aku beringsut bermaksud untuk turun dari ranjang. Tapi, tangan kananku lebih dulu berhasil dicekal sama Rey.
"Apa lagi sih," ketusku.
"Bibir kamu manis," lirihnya tepat di depan telingaku.
****
Matahari udah nongol aja. Seperti biasa, sebagai pengantin baru yang menikah karena keterpaksaan, maka pagi-pagi kami udah disibukkan dengan adegan adu mulut. Eits ... jangan mikir yang onoh ya, karena aku bertekad nggak akan kecolongan lagi.
Setelah sholat subuh tadi, Rey langsung ngomel-ngomel karena aku belum bangun-bangun juga. Ya, aku memutuskan untuk kembali tidur di bed cover setelah adegan pemanasan di ranjang jam tiga pagi tadi.
Dia marah-marah karena aku nggak sholat subuh. Padahal kan aku belum selesai mens-nya.
Mau nggak mau aku pun memaksakan untuk membuka mata. Tahu diri juga lah, sekarang aku tinggal di mana, apalagi satu atap sama oma ompong. Kan bisa berabe kalau ketahuan bangun siang.
Begitu membuka mata, aku berniat ke kamar mandi. Tapi yang namanya orang rese ya gitu, tahu kalau aku mau ke kamar mandi, eh dianya main serobot aja. Kan jadi ada adegan rebutan kamar mandi. Dan puncaknya aku lah yang mengalah. Ya, mau gimana lagi, aku kan cuma numpang, jelas harus lebih tahu diri.
"Pagi, Bunda," sapaku penuh suka cita begitu mendapati wanita paruh baya berhijab ini di dapur.
Ya, setelah selesai mandi, berganti pakaian dan dandan ala kadarnya, Rey langsung menyuruhku supaya ke dapur buat bantuin bunda. Katanya biar nggak dimarahin oma. Sedangkan Rey, dia memilih untuk berjogging ria.
"Pagi, menantu cantik bunda. Kok pengantin baru pagi-pagi gini udah bangun aja sih?" Bunda bertanya dengan nada menggoda.
Aku mengerutkan kening, bingung dengan pertanyaan bunda yang menurutku sedikit absurd itu. "Loh, emangnya harus bangun jam berapa, Bun?
"Ya pengantin baru harusnya bangunnya nanti dong, agak siangan gitu. Pagi-pagi gini kan masih anget-angetnya buat kalian usaha bikinin bunda cucu."
Aku terbatuk mendengar ucapan bunda tadi. Untung nggak lagi minum, kalau iya, pasti keselek deh. "Bunda ada-ada aja deh."
Mungkin kalau aku bisa lihat wajahku sendiri, sudah pasti pipiku tampak merah. Bukan karena alergi seperti dulu, tapi karena sering diledekin gini nih.
"Kamu kenapa, Sayang, kok sampai batuk-batuk gitu? Hmm ... pasti Rey ngajak lembur semaleman, ya kan."
Ini apa sih, kok aku jadi makin bingung sama omongan bunda yang semakin ngawur gini.
Bunda mengelus pelan bahuku. Wajahnya tampak berbinar-binar. Pasti mikir kalau aku sama Rey udah, ehem.
"Enggak kok, Bun, tadi malem Key tidur cepet, pules banget lagi, sampai tadi baru bangun. Maklum lagi ada tamu bulanan, jadi sengaja bangun agak siangan," ucapku mengklarifikasi kesalah pahaman bunda yang pasti udah mikir ke mana-mana. Ya, sebagai tetangga sekaligus menantu yang baik kan nggak boleh PHP.
"Apa? Kamu lagi ada tamu bulanan, Key?" Wajah bunda berubah jadi sedikit murung, setelah keterkejutannya mendengar kejujuranku. Duh, aku jadi merasa berasalah deh.
"Iya, Bun," jawabku tak enak.
"Yah ... harus ditunda dulu dong, padahal kan bunda udah nggak sabar pengen nimang cucu." Wajah bunda tambah kelihatan sendu aja.
"Tenang aja, Bun, kita pasti bakal usaha berkali-kali kok, sekarang emang lagi libur, tapi setelah selesai nanti, kita langsung gas poll, iya kan, Sayang?" Entah dari mana tiba-tiba si manusia batu udah berada di dekatku, dan dengan tanpa malunya nimbrung obrolan aku sama bunda.
"Ih, apa--." Aku tak melanjutkan ucapanku, karena udah dihadiahi tatapan setajam elang milik Rey. Oke, kali ini aku bungkam. Tapi bukan berarti mengalah ya.
"Aduh, romantisnya." Bunda kembali berbinar saat melihat Rey yang dengan kurang ajarnya merangkulku. Kan jantung jadi ngajakin marathon lagi.
Aku mau melepaskan diri, tapi Rey sangat kuat, jadi lah aku pasrah aja. Toh, demi bunda nggak murung lagi kayak tadi. Meski efeknya berdampak buruk untuk kesehatan jantungku.
"Ciee ... Bunda ngiri nih ye," ledek Rey.
Jujur aku baru tahu kalau Rey bisa meledek seperti ini. Aku kira dia orangnya lempeng-lempeng aja, alias nggak suka bercanda. Ternyata eh ternyata dia bisa konyol juga kalau lagi sama bunda.
"Iya, nih, bunda iri. Ayah mana sih, kan bunda juga pengen dipeluk ayah pagi-pagi gini." Eh, kenapa jadi begini sih?
"Aduh, Bunda, kita nggak ada maksud buat manas-manasin Bunda kok," ucapku ngedem-demin.
"Apa sih, kamu ini, udah dilanjut aja mesra-mesraannya, kenapa keburu-buru pada keluar kamar sih."
"Tuh, kan, Sayang, apa aku bilang tadi, dibilangin jangan keluar kamar dulu, kan aku masih pengen berduaan di kamar." Eh, eh, ini manusia batu kampret bener ya. Bukannya tadi dia nyuruh aku buat ke dapur bantu bunda, dan dia bilang mau jogging, kok jadi kek gini ceritanya. Kena fitnah lagi kan aku, dasar manusia batu. Nggak ada akhlak emang.
"Udah, udah sana, tuh pintu kamar udah melambai-lambai. Eh, tapi inget ya Rey, jangan kebablasan, Key nya masih ada tamu, hihi." Dih, bunda kenapa jadi demen ngledek begini sih.
"Yuk, Sayang."
"Apaan sih, Rey. Lo katanya tadi mau jogging, kenapa nggak jadi sih," gerutuku.
"Aku berubah pikiran." Eh, kenapa dia nggak ngomong formal seperti biasa ya.
"Kenapa pake berubah pikiran segala," ketusku.
"Ya, karena lihat kamu." Sumpah demi apa, manusia batu ini tiba-tiba jadi manis begini. Jangan-jangan tadi kesambet kali ya.
"Lo ngaco aja deh, kerasukan jin mana, lo?"
"Sayang, kamu ngomong apa sih?" Aduh, mana makin kenceng lagi meluknya. Kan aku takut khilaf.
"Lo yang ngomong ap---"
Bersambung
