Part 16
"Lo ngaco aja deh, kerasukan jin mana, lo?"
"Sayang, kamu ngomong apa sih?" Aduh, mana makin kenceng lagi meluknya. Kan aku takut khilaf.
"Lo yang ngomong ap---" Sialan, mulutku dibekap sama Rey. Untung bekapnya pake tangan, bukan pake ... ah, sudahlah. Aku malu kalau mengingat kejadian di kamar.
"Saya kan sudah bilang, jangan pake bahasa kasar kalau di depan bunda dan yang lainnya," lirih Rey. Kulihat bunda udah sibuk dengan aktivitas memasaknya. Jadi nggak lihat ini semua, kalau lihat, pasti dikira lagi mesra-mesraan.
"Ya udah ih." Aku menepis tangan Rey. "Lagian lo juga yang ngapain tiba-tiba ke sini, bukannya tadi bilang mau jogging?" Aku ikut berbicara lirih.
"Saya berubah pikiran, sepertinya lebih mengasyikkan kalau di kamar saja sama kamu." Rey menyilangkan kedua tangannya ke dada sedang matanya tak lepas memandangiku.
"Ish, pagi-pagi udah mesum." Aku menggerutu masih dengan suara pelan.
"Mesum sama istri sendiri kan ibadah." Rey mengedipkan sebelah matanya, genit. Dih, dikira aku bakalan seneng gitu, sorry ya bambang.
"Huh, udah deh sana lo pergi aja, jogging, gue mau bantuin bunda masak." Nggak enak juga ya, ngomong sambil bisik-bisik gini.
"Kayak bisa masak aja." Hoh, ni orang mulai merendahkanku rupanya. Eh, tapi emang bener sih, kalau aku nggak bisa masak, satu RT aja tahu. Nggak deng, bercanda, masa iya mereka pada tahu, kan malu-maluin.
"Ya, makanya ini gue mau belajar," ucapku masih setengah berbisik. Sebenarnya udah nggak nyaman banget ngomong sepelan ini, bukan karakter aku banget. Maklum lah, aku kan biasanya suaranya keras. Keras banget malah, sampai toa aja kalah.
"Belajar? Yakin?" Ye ni orang nggak percayaan amat.
"Eh, kok kalian kok masih ada di sini sih, katanya mau ke kamar?" tanya bunda setengah meledek.
"Hehe, ini, Bun, setelah kita pikir-pikir, nggak bagus juga kalau balik ke kamar lagi." Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. "Jadi Key memutuskan buat bantuin bunda aja, terus Rey katanya mau jogging. Ya mumpung masih pagi, bosen juga kalau di kamar mulu."
"Oh, begitu. Ya udah sini bantuin bunda yuk."
Yes!
Akhirnya aku yang menang.
Sebelum menghampiri bunda, aku memeletkan lidah ke arah Rey. Ngece gitu lah, kan aku yang menang.
****
Setelah sarapan, aku memutuskan untuk pulang ke rumah tercinta. Maksudku ke rumah mama papa. Ya kan aku belum punya rumah sendiri.
Karena tinggal nyebrang jalan aja, alias rumahnya hadap-hadapan, aku langsung aja berlari ke arah rumah sebelum ketahuan sama Rey. Habisnya kalau ketahuan takutnya nggak dibolehin, padahal kan aku udah kangen banget sama rumah ples kangen sama mama, papa dan tentunya masakan mama. Sayang adek laki-lakiku lagi di kampung nenek, jadi aku nggak kangen.
"Mama ... papa ... Key pulang nih, yuhuu ...." Aku memasuki rumah yang udah kurindukan ini dengan hati riang gembira, tak lupa penghuninya pun aku panggil.
"Ma ... anak mama yang paling cantik udah pulang ini, nggak kangen apa?"
Karena tak kunjung mendapatkan jawaban, aku pun meluncur ke dapur. Biasanya kalau jam segini mama masih sibuk berkutat dengan teman-teman setianya, seperti wajan, panci, spatula dan yang lain-lainnya. Saking setianya mereka, sampai aku sebagai anaknya pun kadang dilupain.
Benar saja kan, mama lagi sibuk masak, pantes aja nggak denger kalau dari tadi aku manggil-manggil.
"Mama!" Aku memeluk mama dari belakang. Bisa dikatakan aku ini kurang ajar karena udah gangguin orang tua. Tapi mau bagaimana lagi, udah rindu bo.
"Aataghfirulloh, Key! Ngagetin aja kamu, untung mama nggak punya riwayat penyakit jantung," omel mama. Uh, rasanya seneng deh, hari ini udah denger lagi omelan khas mama setelah dua hari kemarin nggak denger.
"Ya habisnya Key kangen, Ma," rengekku manja. Aku masih belum merubah posisiku yang memeluk mama dari belakang. Mama pun kayaknya nggak masalah, goreng-goreng ayam sambil aku peluk begini.
" Kamu ini, kayak nggak ketemu lama aja, baru aja kemarin nggak di rumah, udah lagaknya kayak setahun nggak pulang," cibir mama. "Udah ah lepasin, nggak malu apa, udah nikah udah punya suami tapi kelakuan masih kayak bayi."
Dengan sangat terpaksa aku melepaskan pelukan, kemudian berdiri di samping mama. Bukan untuk ngebantuin, tapi cuma liatin ayam yang nasibnya diceburin sama mama ke penggorengan. Oh, malangnya nasibmu, Yam.
"Kok Mama kayak nggak seneng sih, kalau Key pulang, padahal dari kemarin Key pengen banget pulang lho." Aku memulai sesi curhatku.
"Nggak seneng, kalau kamu pulangnya sendirian, mana menantu mama?" Mama menatap tajam ke arahku.
"Menantu yang mana, Ma?
"Lho, kok yang mana, emang menantu mama ada berapa, kan cuma si Rey doang." Mama berbicara agak ketus, sampai-sampai ayam di penggorengan jadi sasaran mama. Dibolak-balik tanpa perasaan. Spontan aku sedikit mundur, takut kecipratan minyak.
"Ooh, Rey. Dia katanya ke sininya nanti, Ma." Sedikit berbohong nggak papa lah, demi kenyamanan bersama.
"Terus, kenapa kamu udah ke sini duluan?" Mama bertanya masih dengan nada ketus. Kalau begini aku harus lebih hati-hati kalau ngomong nih. Kepleset dikit bisa hilang lidahku.
"Ya Rey, masih sibuk tadi, jadi belum sempat ke sini, dia nyuruh aku buat ke sini duluan, Ma." Tuh kan, aku jadi bohong lagi. Tuman nih mulut.
"Ooh begitu, emang ya menantu mama rajin banget, sepagi gini aja udah sibuk." Wajah mama berubah jadi berseri-seri ketika membicarakan mantunya itu.
"Hem." Aku males menanggapi.
"Eh, Key, bantuin mama gih."
Oke lah, demi mamaku yang cantiknya melebihi cinderella tapi masih kalah cantik sama aku, maka aku menurut saja titahnya. Ya dari pada nanti aku diomelin kan. Itu pun masih untung kalau diomelin doang, lah kalau sampai diusir gimana coba. Mau dibawa ke mana hubungan kita? Eh, kok jadi kayak lagunya armada sih. Maksudku mau ke mana diriku ini. Ke rumah Rey? Haduh, aku males banget kalau harus berpura-pura, ditambah lagi harus ngadepin oma ompong.
"Key, kamu ini udah jadi istrinya Rey, mbok ya panggilannya diganti gitu. Mas kek, abang kek, atau apalah, biar nggak terkesan kalau kamu ngeremehin suami kamu." Mama udah mulai mengeluarkan wejangannya.
Sebagai warga negara yang baik, maka aku diam dan berusaha mendengarkan ceramah dari ibu negara. Siapa tahu habis ini diangkat jadi menteri.
"Terus juga kamu ngomongnya yang alus gitu, jangan pake lo-lo gue-gue, nggak enak didenger tahu. Mama aja sampe gatel kupingnya kalo kamu ngomong pake logat gitu."
"Yah, nggak bisa kalau itu mah, udah kebiasaan, nggak enak kalau diubah." Aku mulai membela diri.
"Bisa lah Key, asal kamu mau berusaha aja."
"Susah, Ma. Ibaratnya kayak udah biasa masak pake penyedap rasa tiba-tiba nggak dikasih apa-apa, kan kurang mantep rasanya."
"Dih, kayak bisa masak aja," sindir mama. Kok mirip sindiran Rey tadi sih. Jangan-jangan mereka janjian.
"Ya itu kan perumpamaan, Ma."
***
"Ma, papa ke mana, kok nggak keliatan?" tanyaku sambil mengedarkan pandangan, karena dari tadi aku belum bertemu dengan sosok lelaki yang menjadi cinta pertamaku itu.
"Papa kamu udah berangkat ke kantor tadi, katanya ada rapat mendadak, jadi harus berangkat gasik."
"Sepagi ini?"
Mama mengangguk. "Iya, tadi habis subuh ditelepon sama bosnya. Makanya mama ngerasa kesepian, Key."
Mama menunjukkan ekspresi sedih yang dibuat-buat. Duh, jadi nggak tega deh.
"Cup,cup,cup ... kan sekarang udah ada Key, Ma, jadi udah nggak kesepian lagi kan?" Aku mengusap lembut bahu wanita yang telah melahirkanku ke dunia ini.
"Iya, tadinya mama merasa kesepian, tapi semenjak kamu pulang jadi mama ada temen ngobrol deh." Kini giliran mama yang mengelus rambutku, netranya tampak berkaca-kaca. Owh ... kok tiba-tiba jadi gini sih.
"Ih, kenapa jadi mellow begini sih, udah ayuk sarapan." Aku menuntun mama menuju meja makan.
Setelah dirasa semuanya udah siap, aku mengambil piring dan mulai mengisinya dengan nasi dan berbagai menu yang dari tadi bikin ngiler. Gila, baru aja dua hari nggak makan masakan mama, tapi rasanya udah kayak setahun aja.
"Eits ... tunggu, Key," sergah mama.
"Kenapa Ma?" tanyaku bingung.
"Jangan makan dulu, tunggu mantu mama dateng."
Aku memutar bola mata. Heran deh, sayang banget sih mama sama mantunya, sampai sarapan aja ditungguin.
"Ma--"
"Harusnya kamu nungguin dong, masa istri kalau makan nggak nunggu suami dulu. Sekarang ubah kebiasaan kamu, Key, inget, kamu udah punya suami, apa-apa harus nunggu suami."
Aku berdecak kesal. "Ma, Rey udah sarapan tadi di rumah."
"Kalau Rey udah sarapan, kenapa kamu baru sarapan?" Mama kayak nggak percaya gitu, padahal aku jujur lho.
"Aku juga sebenarnya udah sarapan tadi bareng Rey. Cuma kan kita sarapannya sepiring berdua tuh, jadi aku ngerasa belum kenyang, Ma. Tau sendiri lah, kalau anak mama ini makannya banyak, jadi sepiring berdua ya mana kenyang. Mau nambah, sungkan lah." Akhirnya aku mengeluarkan unek-unekku juga.
Mama manggut-manggut mendengar curahan hati anak perempuannya ini. "Oh, gitu, bilang dong dari tadi."
Ya kan, aku yang disalahin.
"Tapi enak kan Key, makan sepiring berdua?" goda mama.
"Enak sih enak, tapi kan nggak kenyang."
"Ya udah deh, sekarang kamu makan."
Aku pun mulai menyuapkan nasi ke mulutku.
Emmm ... masakan mama emang paling the best. Walau sederhana, tapi nggak kalah sama masakan-masakan di restoran ternama. Bahkan masakan bunda Mariska juga masih kalah.
Ini nih, yang bikin aku nggak bisa move on dari masakan mama.
"Kamu kalau laper tinggal ke sini aja Key, mama ngerti kok kalau kamu sungkan makan banyak-banyak di rumah mertua, mama juga gitu dulu." Nah, mamaku emang paling nggak tega biarin anaknya kelaparan.
"Beres, Ma, kan cuma berapa langkah doang tinggal nyebrang, nyebrangnya juga bukan jalan raya." Aku menjawab disela-sela makanku.
"Ehem."
Bersambung
