Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 15b

Part 15b

Setelah selesai makan malam bersama, aku membantu bunda membereskan piring-piring kotor, dan membawanya ke wastafel. Kalau untuk urusan ini sih kecil, aku sering di suruh mama di rumah untuk eksekusi peralatan setelah makan. Nasib jadi perempuan. Mungkin kalau udah ompong kayak oma, baru deh berhenti dari pekerjaan domestik kek gini.

Entah ada angin apa, si manusia batu dengan suka relanya mau turun tangan membantu mencucikan piring. Hmmm ... tahu diri juga ternyata. Bagus deh, kan aku jadi ngirit tenaga. Sekalian ngerjain dia juga mumpung oma ompong udah ke depan nonton tv sama om Danu. Jadi nggak bakalan lihat kalau cucu kesayangannya ini lagi cuci-cuci.

"Udah Bunda, sini biar Key aja yang nerusin. Bunda istirahat aja." Aku menghentikan sekaligus merebut kain lap yang sedang bunda gunakan untuk mengelap meja makan. Kasihan juga kan, pasti tadi bunda masak sendirian.

"Eeh nggak usah Key, udah biar kamu aja yang istirahat." Bunda mencoba merebut kembali lap yang ada di tanganku.Tapi aku berhasil menjauhkannya dari bunda.

"Enggak, Bun, biar Key aja. Bunda kan capek tadi udah masak sendirian, nggak Key bantu, maafin Key ya Bun." Aku berlagak menyesal karena nggak ngebantuin bunda. Ya, caper gitu lah di depan mertua.

"Ya nggak papa, lagian tadi bunda nggak masak sendirian kok, ada Rey yang bantuin." Hah? Aku nggak salah denger ini?

"Rey bantuin Bunda? Masa sih, nggak percaya, pasti dia cuma ngerusuhin Bunda, iya kan, Bun?" Jelas aku nggak percaya dong.

Bunda terkekeh mendengar ketidakpercayaanku. "Coba kamu tanya sama Rey."

"Kalau tanya sama dia pasti jawabannya ngaco, Bun."

"Ehem ... udah, Bun, nggak usah ngurusin Key, mending Bunda istirahat saja sama ayah dan juga oma di depan." Rey berbicara tanpa mengalihkan pandangannya dari aktivitas mencuci piring itu.

"Ooh ... roman-romannya ada yang nggak mau diganggu berduaan di dapur nih." Bunda mesem-mesem sendiri, sesekali melirik ke arahku dan Rey bergantian. "Ya udah deh, bunda pergi dulu. Tapi kalian jangan lama-lama berduaan di sini, kalau udah selesai, cepetan ke kamarnya, kasihan nanti kalau ada jomblo yang liat, entar nangis-nangis auto pengen nikah lagi, hihihi."

Bunda pun beranjak pergi meninggalkan dapur.

Eh, tadi bunda bilang supaya jangan lama-lama berduaan di dapur karena takut ada jomblo yang liat, emang siapa jomblonya? Di rumah ini emang ada jomblo? Apa jangan-jangan oma? Hahaha ... pantes aja oma cemberut tadi pas liat adegan sok mesraku dan Rey di meja makan, nyatanya ada jomblo yang iri. Maaf ya oma, aku nggak tahu kalau oma jomblo. Hihihi ....

Aku menyelesaikan pekerjaan mengelap meja makan ini sambil cekikikan mengingat ekspresi kesal oma tadi. Puas juga rasanya bisa ngerjain oma ompong, ada rasa kesenangan tersendiri.

Ya Alloh, bukan maksud Key untuk tidak sopan sama orang tua. Cuma ngerjain aja kok, itu pun nggak banyak-banyak. Eh.

"Kamu kenapa dari tadi cekikan sendiri? Udah nggak waras ya, atau jangan-jangan kamu ketempelan jin," ucap Rey yang nggak tahu kenapa tiba-tiba udah ada aja di dekatku.

"Ih, enak aja, lo kali yang nggak waras, ketempelan jin mana lo, jadi sok rajin gitu, sok-sokan bantuin nyuci piring segala." Aku mencibir.

"Saya biasa nyuci piring, biasa membantu bunda, memangnya kamu yang pemalas. Untung saja yang jadi mertua kamu itu bunda, kalau bukan, sudah pasti kamu dimarahi habis-habisan, mertua masak, mantunya enak-enakan tidur." Ni laki kalau ngomong nggak usah jujur banget napa, kalau nanti oma denger kan gawat.

"Ya elah, gue kan tadi ngantuk banget, lagian kenapa lo biarin gue tidur, nggak bangunin gue buat bantuin bunda tadi." Aku membela diri.

"Kalau kamu yang bantuin bunda, takutnya nanti dapurnya malah kebakaran," ledek Rey.

Kurang asem. Meskipun nggak bisa masak, bukan berarti sampai ngancurin dapur juga kali.

"Dih, kayak lo bisa masak aja."

"Kalau saya nggak bisa masak, buat apa saya terjun bisnis di bidang resto?" Rey menaikkan satu alisnya.

Bener juga ya.

"Punya resto kan nggak harus bisa masak juga," kilahku.

"Memangnya kamu yang bisanya cuma makan, mana ngabisin lagi. Ganti rugi tuh, kamu udah makan banyak tadi di resto."

What? Pelit banget emang. Cucunya siapa sih, si oma ompong itu ya, pantesan.

"Ck, perhitungan banget lo sama istri."

"Ooh, sudah mengakui jadi istri saya?"

****

"Rey, gue tidur di mana?" Aku berdiri di sisi ranjang, mau naik tapi ragu. Sedangkan Rey sedang sibuk di depan lemari, nggak tahu lagi ngapain.

"Tadi kamu tidur di mana?" Rey menutup pintu lemari, kemudian berjalan ke arahku.

"Di ranjang," jawabku singkat. Sesingkat hubunganku dengan mantan-mantanku dulu.

"Ya sudah tidur saja lagi di ranjang, kenapa pake tanya," ketus Rey.

"Ya kan di kamar ini nggak ada sofa Rey, kalau gue tidur di ranjang, entar lo tidur di mana? Lagian masa kamar segede gini nggak ada sofanya," gerutuku.

"Ya saya tidur di ranjang juga lah, memangnya di mana lagi, sofa di kamar ini sengaja dikeluarkan kemarin."

Apa?

"Hah! Masa tidur seranjang, sih, ogah! Gue nggak mau." Aku menyilangkan kedua tanganku ke dada. Enak aja tidur seranjang sama dia. Sorry lah yaw, entar badanku ternoda lagi, kan bahaya.

"Kalau gitu kamu bisa tidur di lantai," ucap Rey santai.

"Enak aja, gue kan cewek masa tidur di lantai, harusnya lo dong, lo kan cowok, ngalah dikit kek."

"Lho, ini kan kamar saya, kenapa jadi saya yang tidur di lantai. Pemilik rumah adalah raja."

"Kenapa sih, lo nggak mau ngalah, mentang-mentang rumah sendiri."

Kesel banget ngadepin ni orang, serasa pengen masukin ke lubang buaya.

"Sudahlah, kalau kamu pengen tidur di ranjang ya oke, silahkan, aku nggak keberatan, lagian memang sudah selayaknya suami istri tidur seranjang. Tapi kalau kamu keberatan tidur dengan saya, ya silahkan tidur di lantai."

"Iih, nyebelin banget sih, lo!" Aku menghentakkan kakiku ke lantai.

Rey tak mengindahkan aksi merajukku, sebaliknya dengan cueknya dia menaiki ranjang, dan merebah di atasnya. Dasar nggak peka.

Dengan perasaan dongkol, aku berjalan menuju lemari. Mencari sesuatu yang mungkin bisa aku gunakan sebagai alas tidurku di lantai.

Nah, ketemu. Akhirnya aku menemukan bed cover. Segera aku mengambilnya. Dan menatanya untuk tidurku nanti.

Aku menata bed cover di dekat lemari. Sengaja, karena aku nggak mau menata bed cover ini di dekat ranjang. Males deket-deket sama dia.

Setelah dirasa pas, aku pun merebahkan tubuhku di atas bed cover ini. Meski nggak terlalu tebal, tapi lumayan lah, nggak bikin aku kedinginan tidur di lantai.

Sebelum memejamkan mata, aku sempat melirik ke arah Rey. Dan ternyata dia udah lelap, terdengar dari deru nafasnya yang teratur. Dasar nggak ingat istri.

Dari pada tambah kesal dengan Rey, lebih baik aku mulai menutup kedua kelopak mataku, dan mulai menjelajah ke dunia mimpi.

*****

Aku menggeliat, rasanya begitu nyaman, hingga aku malas membuka mata. Eh, tapi kok kayak ada yang bertengger di atas perutku ya. Jangan-jangan mama yang iseng nih.

Dengan pelan aku mulai membuka mata, dan ....

"Aaargggh ...." Aku menjerit kala menyadari aku tengah berada di pelukan Rey, dan ternyata tangannya lah yang berada di atas perutku.

Akibat jeritanku itu pun Rey terlonjak kaget. "Apa sih, Key, ini masih pagi, masih jam tiga tuh."

"Heh, awas!" Aku menepis tangan Rey yang masih belum mau lepas. "Lepasin Rey ...."

Bukannya lepas, dia malah tambah mengeratkan pelukannya. Kurang ajar emang. Kalau gini kan aku jadi was-was, jangan-jangan tadi aku sempet diapa-apain lagi sama dia. Oh mama ... anakmu ini sudah ternoda.

"Biarin aja seperti ini," lirih Rey tepat di telingaku. Duh, bikin aku merinding aja, mana jantung udah nggak karuan.

"Rey, lo apa-apaan sih!" hardikku "lo sengaja ya mindahin gue ke sini, mau nyari kesempatan ya, lo, dasar kurang ajar. Pasti lo udah ngapa-ngapain gue, ya kan."

Yang dimarahin malah diem aja, dan sialnya pelukan ini tambah erat cuy. Kan kerja jantungku jadi lebih cepat dari biasanya. Fix, setelah ini aku harus pergi ke dokter spesialis jantung.

"Rey, lo tuh dengerin gue nggak sih, udah cepetan lepasin, nggak baik laki-laki sama perempuan dalam posisi seperti ini, apalagi di dalam kamar, kalau ketahuan pak ustadz, entar malah dinikahin lagi."

"Bukannya kita sudah menikah ya."

Eh, iya juga ya, kok aku lupa sih. Efek suaminya kek dia pasti, jadi pikun begini kan.

"Ya, tapi bukan berarti begini juga dong, udah lepasin." Aku masih mencoba melepaskan diri dari pelukan manusia batu ini. Bener-bener cari kesempatan dalam kesempitan kan. Dasar tukang modus.

"Kenapa, kita kan suami istri, jadi wajar-wajar saja kan, kalau begini, mau lebih dari begini juga sah-sah saja. Atau apa kamu pengen lebih dari ini?"

"Dih, ogah banget ya, nggak sudi gue."

"Hati-hati kalau bicara, sekarang kamu bilang begitu, besok saya yakin kamu pasti akan ketagihan tidur sama saya."

What the ...?

Bener-bener udah nggak waras ini orang, udah mesum, nyari-nyari kesempatan, eh sekarang malah kepede-an. Paket komplit emang.

"Hahaha ... kalau mau kepede-an tuh ngaca dulu bambang!"

"Saya setiap hari ngaca kok, dan saya yakin saya sudah layak tidur sama kamu."

"Ih, lo nglindur apa gimana sih, makin ngaco aja ngomongnya. Udah lepasin gue."

"Kalau saya nggak mau?"

"Ya pokoknya harus mau lepasin gue."

"Sudahlah tidur lagi saja, ini masih pagi belum subuh. Kamu tadi nyenyak banget tidur di pelukan saya."

Wah fitnah ini. Dikira aku percaya.

"Nggak usah ngarang cerita deh, gue nggak percaya."

"Siapa yang ngarang cerita?"

"Ya lo lah, siapa emmhhh." Si^lan nih orang ngapain nyosorin bibirku.

Rey masih saja membungkam mulutku. Apa aku pingsan aja ya?

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel