Part 15
"Rey ... kamu itu, kenapa harus bersikap seperti itu, Key itu sekarang istri kamu, tanggung jawab kamu. Bunda nggak pernah ngajarin ya, kalau kamu kayak gitu, kasihan Key." Bunda berbicara sambil menjewer telinga kiri Rey. Dan Rey pun mengaduh kesakitan. Haha ... kasihan deh lu bambang!
Aku tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan aksi bunda memarahi Rey. Sungguh pemandangan langka.
"E-eh, apa yang kamu lakukan sama cucuku Mariska?"
Semua yang ada di dapur pun serentak menoleh ke arah si empunya suara, termasuk aku.
Tahu siapa yang tadi ngomong? Ya jelas si oma ompong lah, siapa lagi di rumah ini yang bisa ngomong ketus selain Rey dan omanya itu.
"Eng-enggak kok, Ma." Bunda melepaskan jeweran tangannya dari telinga Rey. Yah, padahal lagi pertunjukan seru, malah digangguin. Jarang banget kan kalau aku lihat Rey ketakutan sama bunda tadi, biasanya kan dia gayanya sok banget gitu lah, eh giliran sama bunda ciut gitu. Kan lucu.
"Enggak gimana, jelas-jelas Mama liat kamu lagi jewer Rey, cucu kesayanganku." Oma berhenti ngomel sejenak, lalu beralih menatapku horor. "Dan kamu, apa yang kamu lakukan, sampai ketawa-ketawa seperti itu, kamu itu perempuan, nggak pantas tertawa seperti itu. Dasar kampungan."
Elah, mulai lagi kan si oma ompong. Cuma ketawa doang dianggap salah, lalu gimana reaksinya kemarin kalau si oma ompong tahu, aku kemarin pingsan berkali-kali.
"Ini saya cuma lag--."
"Kita semua lagi bercanda kok, Oma." Rey memotong ucapan bunda yang sepertinya mau membela diri lagi. Sedangkan aku? Oh, tenggelamkan aja aku ke laut, dari pada di sini terus dipelototi oma ompong.
"Bercanda apanya, Rey, jelas-jelas tadi oma lihat kamu lagi dijewer sama bunda kamu." Rupanya si oma emang bener-bener nggak terima kalau cucunya sampai lecet. Ck, dasar cucu oma. Eh, salah, dasar omanya cucu. Eh, bener nggak sih?
"Nggak papa kok, Oma, namanya juga bercanda, udah biasa, nggak sakit kok." Rey tersenyum lalu menghampiri omanya.
"Lalu, kenapa dengan perempuan kampungan ini?" Masih juga setia mengataiku dengan perkataan itu. Mana masih melotot-melotot juga lagi. Kan aku takut jadi khilaf kalau lagi pegang garpu.
"Ooh, Key cuma lucu aja liat aku sama bunda bercanda, baru kali ini soalnya, iya kan, Sayang?" Rey melihat ke arahku sambil tersenyum. Mau nggak mau, aku pun harus terjun ke dalam akting yang Rey ciptakan ini.
"I--iya, Oma," ucapku gugup.
"Oma, oma, saya bukan oma kamu ya," ketus oma.
Ya terus aku harus panggil apa? Ompong gitu? Apa nggak tambah situ mencak-mencak.
"Oma jangan begitu lah. Key kan sekarang istrinya Rey, Oma, jadi jangan galak-galak lah sama dia, kasihan, nanti Rey juga sedih. Oma mau kalau Rey sedih?" Rey mencoba membujuk omanya. Dan yang bikin aku heran, kenapa Rey bisa juga ngomong pelan gini ya. Maksudnya, lembut gitu, nggak formal lagi. Beda banget kalau ngomong sama aku, udah ketus, pedes, pake sok-sokan formal pula. Dasar ular berkepala dua.
Saat Rey lagi sibuk ngedem-demin omanya itu, bunda memberi kode ke arahku, agar aku mendekat ke tempat bunda. Mulai lagi kegiatan kita menyiapkan makan malam. Aku cuma bantu nyiapin ya, nggak bantu masak, karena aku emang nggak bisa masak. Di rumah paling cuma bantuin mama potong-potong sayur.
****
"Sayang, kamu mau makan pake apa, sini biar aku yang ngambilin," tawarku pada Rey.
Jangan ngira kalau lagi kesambet ya. Aku waras dan sadar banget, tapi ini aku lagi akting alias berpura-pura di depan oma ompong. Biar aku nggak dianggap remeh lagi sama dia.
Rey melotot kaget melihat sikapku. Heran pasti. Jangan kege-eran dulu ya bambang, ini cuma bagian dari skenario yang udah aku rencanain sama bunda tadi. Dan bukannya Rey juga nyuruh supaya kita pura-pura mesra bukan?
Rey menetralkan ekspresinya. "Ehem, iya, Sayang, kamu emang perhatian banget sama aku, jadi tambah cinta deh." Rey menjawil daguku. Kurang asem emang.
Kan, aku jadi pengen muntah denger kata-kata gombal yang keluar dari mulut si manusia batu.
Bunda dan om Danu tampak senyum-senyum melihat interaksi kami di meja makan ini. Sedangkan oma cuma mengamati, tapi ekspresinya itu lho, kek masih belum mau menerima kenyataan kalau sekarang aku yang jadi istrinya Rey. Bukan calon pilihannya itu.
"Aduh, romantisnya ... jadi ingat dulu waktu kita pengantin baru ya, Bun," ucap om Danu yang langsung dijawab kekehan oleh bunda.
"Iya, Yah, ngeliat Rey sama Key, jadi kaya liat waktu kita muda dulu, hehe." Bunda ikut menimpali, sementara oma ompong semakin menekuk wajahnya. Tambah panasin ah.
"Sayang, nasinya segini cukup?" tanyaku pada Rey sembari memperlihatkan sepiring nasi padanya.
"Kurang dong, Sayang, nasinya tambahin dikit lagi, kan kita makannya sepiring berdua, segitu mana cukup." Eh, ini napa jadi Rey ngarang cerita, kapan aku sama dia makan sepiring berdua? Dalam mimpinya dia kali ya.
Aku melotot ke arah Rey. Sementara yang dipelototin malah ikut melotot. Kan jadi melotot kuadrat kan. Untung nggak ketahuan oma ompong.
"Ih, kok sepiring berdua sih, Yang." Aku pura-pura merajuk. Ya iya lah malu, masa makan sepiring berdua.
"Lho, kenapa, dari tadi waktu sebelum ke sini juga kan makannya sepiring berdua terus, kamu lupa ya." Ah, dasar ini orang nyari-nyari kesempatan dalam kesusahanku ngadepin oma.
"Kan malu, Yang." Aku merengek dengan nada yang kubuat semanja mungkin.
Sumpah deh, rasanya mual sendiri ngomong begini sama si manusia batu. Sama pacar-pacarku dulu aja nggak pernah sayang-sayangan.
"Kenapa mesti malu sih, Yang, di sini keluarga aku semua, berarti keluarga kamu juga." Rey menatap ke arahku.
Mungkin kalau tatapan lembut ini bukan berasal dari Rey, bisa jadi aku udah meleleh. Nyatanya malah bikin ada yang cekit-cekit di dada. Nggak tahu apa.
"Oh, gitu ya udah deh, kalau gitu." Aku memalingkan wajah dari Rey. "Oh, iya, kamu mau pake lauk apa, Yang?"
"Apa aja, kalau kamu yang ngambilin, semua aku suka kok, Yang." Dih, dari mana si manusia batu ini pinter gombal ya. Eh, lupa, dia kan pernah pacaran. Mana pacarnya dulu si wanita gila yang tadi ke resto kan. Udah pasti mereka dulu sering sayang-sayangan. Hiiih, jadi geli deh, mengingat aku dapet suami bekasnya wanita gila itu.
"Oke, aku ambilin ya, Yang." Aku pun mulai mengambil satu persatu lauk. Si oma udah perhatiin aja. Takut kali ya kalau aku ngabisin makanannya.
"Mau makan aja pake drama," sindir oma.
Elah, iri bilang bos.
"Kenapa, Ma?" tanya bunda sama oma ompong.
"Bilangin tuh, sama menantu pilihan kamu, jangan kebanyakan drama sayang-sayangan di meja makan." Ini oma ngiri, apa nganan? Eh, emang kalau nganan apaan ya?
"Kenapa, Oma, mau Key ambilin juga?" tawarku. Sebenarnya sih, males.
"Siapa yang mau diambilin sama kamu, nggak sudi," sinis oma.
Aku juga ogah kali ngambilin.
"Ya, udah, biar Mariska yang ambilkan ya, Ma." Bunda mulai mengambilkan nasi serta lauk ke dalam piring oma.
Ya elah, bilang aja ngiri karena tadi nggak ada yang ngambilin. Gitu aja pake nyindir-nyindir segala, kan jadinya kek anak kecil, nggak inget umur emang. Contoh dong, nenekku yang ada di kampung, beliau selalu baik sama cucu-cucunya. Ah, jadi kangen nenek deh.
"Udah ayo kita mulai makan, Rey kamu pimpin baca doa ya," perintah om Danu.
Rey pun memimpin doa dengan khusyuk. Baru tahu kalau dia bisa baca doa. Lah kan doa mau makan, ya jelas bisa lah, anak kecil aja pasti hapal di luar kepala, masa Rey enggak. Kan malu-maluin kalau punya suami nggak bisa baca doa mau makan. Apa kata nenekku di kampung nanti.
Kami semua makan dalam diam. Nggak ada satu pun yang bersuara, cuma dentingan sendok dan piring yang beradu. Mungkin udah kebiasaan dan peraturan di keluarga ini.
Berbeda jika makan bersama di rumahku. Pasti ada aja yang diceritain kalau lagi makan, apalagi kalau ada adek laki-lakiku, beh, tambah seru. Ya iya lah, rebutan lauk. Tapi dari rebutan lauk itu menjadi suasana terasa lebih hidup, nggak kayak gini. Ah, jadi kangen makan di rumah.
Eh, tapi ini kok enak juga ya, makan sepiring berdua sama si manusia batu. Kek ada tambahan rasa yang bikin makanannya tambah lezat. Ah, emang dasar masakan bunda aja yang lezat, nggak usah mikir aneh-aneh deh.
"Sayang, kamu mau nambah?" tanya Rey.
"Enggak, Sayang, udah kenyang kok," jawabku. Kalau nggak ada oma udah pasti aku nambah, apalagi ini masakan bunda cocok banget di lidahku.
"Beneran nggak mau nambah lagi?" Ih, apaan sih, jangan bikin aku goyah deh.
"Enggak, beneran udah kenyang." Padahal dari tadi aku makannya dikit lho, apalagi sepiring berdua. Mau bilang belum kenyang, gengsi dong, ini kan di rumah mertua, ada oma lagi, nggak mungkin mau nambah, nanti malah tambah di hina.
"Kamu pasti baru makan makanan yang enak-enak seperti ini kan?" tanya oma ketus, ke arahku.
Ini orang sok apa gimana sih, mentang-mentang orang kaya. Meskipun aku bukan orang kaya, bukan berarti mama nggak pernah masakin yang kek gini ya, sering malah. Bahkan masakan mama juga nggak kalah enak sama masakan bunda.
"Per--."
"Pernah lah, Oma. Key kan jago masak, dia bisa masak makanan yang enak-enak. Key juga sering bantuin masak di restoran aku, dan pelanggan pada puas banget. Aku aja sampai ketagihan kalau Key yang masak. Iya, kan, Sayang?" Ini Rey ngarang cerita apalagi sih.
"I--iya, Oma."
"Masa sih, Rey, Oma nggak percaya." Oma mencebikkan bibirnya.
Iya, aku aja nggak percaya, orang itu akal-akalannya Rey doang yang sok-sokan belain aku.
"Beneran, Oma, mau coba?" Ih, apaan sih, malah nawarin, aku kan nggak bisa semua yang tadi dia bangga-banggain.
"Enggak, oma takut keracunan makan masakan dia."
Hem ... jadi pengen beneran aku racunin.
