Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 13

Dari tempatku duduk, terlihat perempuan berusia enam puluhan berjalan menuruni tangga dengan dituntun oleh tante Mariska. Diikuti om Danu di belakangnya. Mungkin beliau yang dimaksud sebagai omanya Rey. Sepertinya waktu acara akad dan resepsi kemarin beliau belum tiba di sini.

Sesampainya di bawah, dan berjalan ke arahku, aku lantas berdiri bermaksud menyalaminya. Namun tatapannya terasa sangat tak bersahabat.

"Oh, jadi seperti ini istrinya Rey." Omanya Rey menelisik penampilanku dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Mendengar perkataan oma tadi, seketika membuat nyaliku ciut.

Oma tersenyum sinis. "Kampungan sekali dia, apa mata kamu sudah buram, Ris, hingga mencarikan pengantin pengganti untuk cucuku, harus perempuan seperti ini, sangat jauh berbeda dengan Berlin."

Demi apapun, aku kesel banget dikatain kampungan dua kali dalam sehari ini. Tadi pagi oleh wanita gila mantannya Rey, sekarang sama omanya Rey. Emang ya, segala sesuatu yang berhubungan dengan Rey selalu sukses bikin aku kesel. Minus tante Mariska dan om Danu.

Sepertinya kalau wanita gila tadi yang jadi istrinya Rey, mungkin bakalan cocok dan klop banget sama oma ini. Sifatnya sebelas duabelas sih.

Kalau nggak inget beliau ini udah lumayan sepuh, mungkin aku bakal bales omongannya yang pedes kayak bon cabe itu. Mungkin sifat Rey yang suka pedes itu nurun dari omanya ini.

Aku yang tadinya berniat mau menyalaminya, akhirnya mengurungkan diri, namun tetap berdiri sembari menunduk melihat ke arah lantai. Kali aja ada ee cicak yang bisa kuhitung di bawah.

"Ma, nggak boleh begitu dong." Tante Mariska berucap sambil mengusap-usap lengan oma itu. "Bagaimana pun juga Key sekarang udah jadi istrinya Rey, yang berarti cucu mama juga."

Adem deh, kalau denger tante Mariska ngomong. Coba aja Rey sifatnya nurun dari bundanya, mungkin aku sedikit nggak ngenes-ngenes amat punya suami model kek dia.

"Iya, Ma, lagian Rey pasti lebih bahagia sama Key, dibanding kalau sama Berlin," sahut om Danu.

"Kalian ini, apa sih yang kalian lihat dari dia, nggak ada bagus-bagusnya." Jleb banget emang kalau nenek-nenek yang ngomong. Untung sabar.

"Mama kok ngomong begitu, Mama kan baru lihat Key, jadi jangan langsung menilai yang tidak-tidak dong, Ma. Key ini anak yang baik, makanya kita seneng kalau Rey jadinya sama Key," tutur om Danu lembut.

"Iya, Ma." Tante Mariska menyahut.

"Mama tidak yakin kalau dia anak baik."

Sengeyel-ngeyelnya nenekku di kampung, beliau nggak pernah menilai orang sebegitunya, justru selalu mewanti-wantiku agar jangan menilai orang dari luarnya saja, dan jangan hanya dari pandangan orang lain. Ah, emang cuma nenekku yang nyegerin. Eh, sprite kali.

Kulihat tante Mariska dan om Danu sama-sama menghembuskan nafas kasar. Mungkin mereka berdua udah capek harus ngomong bagaimana lagi. Sama, aku juga capek. Capek berdiri terus sambil dipelototin nenek-nenek yang sayangnya masih tertinggal garis-garis kecantikannya di usia muda dulu.

"Ada apa ini kok pada diem, terus kenapa pada berdiri semua," tanya Rey yang tiba-tiba datang.

Kayaknya Rey habis ganti baju deh. Karena sekarang dia cuma pake kaos putih oblong dipadukan celana selutut. Dari penampilannya dia terlihat ... keren.

Ih, apaan sih. Napa jadi muji-muji dia. Nggak banget deh.

"Sayang, kok kamu diem aja sih, ayo salim sama oma dulu. Ini oma dari papa, kalau eyang dari mama belum bisa ke sini." Rey menghampiriku, mencium pipiku, kemudian menuntunku untuk menyalami omanya yang sombong itu.

Dalam situasi seperti ini Rey ambil-ambil kesempatan lagi, modus banget. Awas aja nanti, mencium pipiku sama sekali nggak gratis, apalagi udah dua kali, otomatis balas dendamnya pun dua kali.

Tangan kanan kuulurkan untuk bersalaman dengan oma. Namun, bukannya menyambut uluran tanganku, beliau malah menepisnya. Jahat banget kan. Sebandel-bandelnya aku jadi cucu, para nenekku nggak pernah memperlakukanku seburuk ini.

"Oma kok gitu sih," protes Rey.

"Oma nggak suka dia jadi istri kamu, Rey," sinis oma.

"Tap--."

"Sudah Rey, kamu ajak Key ke kamar ya," sela om Danu. Mungkin dia mau menghindarkan perdebatan yang mungkin saja terjadi antara oma dan cucunya ini.

Tante Mariska memberi kode berupa kedipan mata pada Rey. Pertanda agar Rey menuruti saja permintaan ayahnya itu.

Rey menarik lenganku kemudian membawaku ke arah tangga.

***

"Maaf untuk sikap oma tadi."

Ini aku nggak salah denger kan ya, kalau manusia batu ngomong minta maaf. Tumben banget minta maaf, biasanya paling gengsi ngomong kata keramat itu.

"Kupingku lagi ada kopoknya apa ya, kok kayak ada yang minta maaf," sindirku.

"Nggak usah aneh-aneh, atau mau saya jatuhin dari tangga."

Oke aku diam.

***

Aku melongo begitu masuk ke kamar Rey. Takjub gitu lah, maklum pada dasarnya aku bukan orang kaya.

Serius ini sih luasnya hampir sama kek kamar hotel tadi malam. Ya meskipun masih mewahan kamar hotelnya.

"Biasa aja liatnya." Lagi-lagi Rey menyindirku. Nah, ciri-ciri orang sirik ya seperti ini. Untung aku nggak ngakuin dia sebagai suami.

"Dih, ya biarin, namanya juga baru liat kamar segede ini selain kamar hotel tadi malem." Aku terus mengedarkan pandangan melihat seisi ruangan.

Aku menuju ke arah jendela. Dari sini terlihat rumahku di seberang sana. Kan, jadi pengen pulang. Meski di sini rumah mewah tapi tetap aja yang ternyaman rumah sendiri. Apalagi di rumah jelas nggak ada makhluk nyebelin seperti Rey dan omanya itu.

Rey berdiri di sampingku. Aku melirik sekilas. Terlihat ia menyilangkan tangannya ke dada. Dih, ngapain deket-deket ya, jangan bilang ini trik buat bisa modus lagi.

Eh iya, soal dia yang tadi main cium-cium pipi, kayaknya aku harus memikirkan cara untuk memberi hukuman apa yang pantes buat dia. Kira-kira apa ya?

"Sekarang kamu tahu kan, alasan saya kenapa menyuruh kamu agar kita tampak mesra?" Lah, ni orang mau main tebak-tebakan ya. Kan aku belum dikasih tempe bambang. Eh, salah. Maksudku tahu.

"Mana gue tau, lo kan belum kasih tau. Emangnya gue cenayang apa, yang bisa nebak-nebak," ketusku.

"Kamu masih belum bisa mencerna apa yang barusan terjadi?" Kini Rey menatap ke arahku. Dih, apaan sih, aku kan jadi grogi. Eh, enggak deng. Cuma takut aja.

"Nggak usah bertele-tele deh, gue kan emang nggak tau," kesalku.

"Benar nggak tau?" Rey menaikkan sebelah alisnya.

Elah, bener-bener bikin kesel ni orang.

"Gue emang nggak tau bambang!" umpatku.

Rey menjitak keningku dengan jarinya. "Aduh, sakit tau." Aku mengaduh sekaligus tak terima.

"Kamu bener-bener nggak pinter, kemana kamu waktu pembagian otak dulu?"

"...."

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel