Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Part 12

Part 12

Ciiit ....

Tiba-tiba saja Rey ngerem mendadak. Ada apa ini?

Aku terlonjak kaget. Untung saja sabuk pengaman tak lupa kupakai.

"Astaghfirulloh. Ampuni hamba Ya Alloh, hamba belum mau mati. Mama ... tolongin Key ...." Kedua tanganku kuletakkan di depan mata. Tak sanggup melihat kenyataan yang mungkin saja terjadi.

Jantung kian keras berdetak, takut kalau seandainya nyawa ini ....

"Berisik! Jangan lebay bisa? Saya cuma ngerem mendadak, nggak kecelakaan." Nah, biang onar dengan rasa tak bersalahnya ngomong gitu. Dosa nggak sih, membantai suami modelan si manusia batu.

"Heh, kenapa jadi lo yang marah-marah, harusnya gue yang marah karena lo udah bikin jantung gue hampir mau copot," omelku.

"Saya kan cuma ngerem, kenapa kamu sepanik itu, nggak pernah naik mobil?"

"Ngerem sih ngerem, tapi nggak mendadak juga kali, bikin kaget aja." Aku menyilangkan kedua tanganku ke dada. Kesal dikerjain sama manusia batu. "Oh, iya, jangan ngeremehin gue ya, sekalipun gue bukan anak orang kaya kek lo, tapi gue juga pernah naik mobil kali, lebih bagus dari ini malah. Gue cuma trauma aja kalau mobil tiba-tiba ngerem mendadak kek tadi."

"Saya kan nggak tau kamu punya trauma." Udah salah bukannya minta maaf, malah nyari pembelaan. Pengen dipites emang. Eh, tapi kan dia lebih gede dari aku, mana mungkin bisa mites dia yak?

"Ya harusnya lo--."

Tiiin ... tiiin ....

Belum sempat aku meneruskan ucapanku, kendaraan di belakang mobil yang kutumpangi ini udah pada protes. Akhirnya Rey kembali melajukan mobilnya.

****

"Ingat Key, ubah panggilan kamu pada saya."

"Iya, iya, bawel banget sih."

Aku dan Rey turun dari mobil. Kini aku berada di depan rumah Rey. Eh, maksudku rumah tante Mariska dan om Danu. Jelas lah, Rey kan nggak punya rumah sendiri, masih ngikut orang tua.

"Ih, apaan sih, lepasin nggak!" Aku mencoba menepis tangan Rey yang udah dengan kurang ajarnya memeluk pinggangku. Modus banget kan.

"Sssstttt ... ini bagian dari sikap yang harus kita perlihatkan di depan keluarga kita." Rey berbicara tepat di depan telingaku. Bikin merinding aja, kek ada sensasi menggelitik gitu.

"Tapi nggak perlu pake skin ship juga kali," protesku.

Bilang aja mau gre*e-gre*e!

Jangan ngimpi bisa ngapa-ngapain aku bambang!

"Kalau nggak ada skin ship, bagaimana mereka mau percaya kalau kita bahagia?" Kali ini Rey tak lagi berbicara di depan telingaku. Namun tangannya masih bertengger di pinggang imutku yang tak kunjung melebar ke samping, padahal kalau makan nasi nggak cukup satu piring.

"Ya kenapa harus pura-pura bahagia, mereka semua kan tau kalau pernikahan ini terpaksa. Lebih tepatnya aku terpaksa menggantikan calon lo."

"Nanti kamu akan tau alasannya." Rey melangkah dengan menggamit pinggangku. Mau tidak mau, aku pun harus mengimbangi langkahnya. Mau berontak, rasanya tenagaku kalah kuat sama Rey, jadi percuma saja. Apalagi mata dan badanku sudah mulai lelah.

"Oh, ya ampun anak menantu bunda udah pulang," ucap tante Mariska begitu antusias setelah membukakan pintunya untukku dan Rey.

Tante Mariska kemudian memelukku hangat, dilanjutkan dengan cipika-cipika. Dulu sewaktu statusku masih sebatas tetangga aja dia seneng banget kalau aku datang ke sini, apalagi sekarang yang statusku udah berubah jadi menantu. Rasanya di sini aku yang jadi anak kandungnya, sedang Rey dicuekin aja. Kasihan ....

"Ehem." Rey berdehem. Pasti dia iri kan sama aku, dan pastinya lagi dia merasa nggak dianggap. Ah, aku nggak bakal kasihan.

"Oh, iya, bunda sampai lupa kalau punya anak laki."

"Ya, dari dulu juga bunda selalu begitu," ucap Rey datar.

"Ah, kamu ini." Tante Mariska memukul pelan dada Rey, kemudian tertawa sambil melihat ke arahku. Alhasil, aku pun jadi ikut tertawa, meski rasanya garing.

"Eh, ayo-ayo masuk, kok malah di depan pintu terus jadinya. Ayo Key masuk." Tante Mariska menggamit lenganku. Menuntunku memasuki rumah bisa dibilang cukup besar.

Rey berjalan di belakang kami sambil membawa koper berisi barangku dan barangnya. Sebenarnya sih aku heran, kenapa manusia batu ini dengan suka relanya membawakan koper sedari hotel tadi pagi. Biasanya kalau orang tipe-tipe kek dia kan sukanya nggak mau bawa koper sendiri, dan akan menyuruhku untuk membicarakannya. Kek di film-film gitu. Oh, mungkin dia takut bakalan aku katain banci.

***

"Key, kamu duduk di sini dulu ya, biar Rey aja yang bawa koper kalian ke kamar. Bunda mau panggil ayah sama oma."

"Iya, Tante."

"Loh, kok tante lagi sih, bunda dong, lupa ya?"

"Eh, iya, Tan, eh, Bun." Nah, kan. Kalau belum terbiasa ya gitu. Lidah mah suka lupa. Eh, bukan lidahnya yang suka lupa, tapi ingatanku yang mulai agak ngebleng semenjak menikah dengan manusia batu setengah gila yang punya mantan yang mirip orang gila. Semoga aja aku nggak ketularan gila.

Tante Mariska eh maksudku bunda pergi meninggalkanku yang katanya mau memanggil om Danu dan oma. Aku nggak tahu oma yang mana, entah dari pihak bundanya Rey, atau dari pihak ayahnya Rey, atau mungkin dua-duanya. Yang jelas aku nggak pernah sekalipun melihat orang yang disebut oma itu di rumah ini semenjak aku jadi tetangga di sini.

Duduk di sofa sambil mata memandang ke arah sebuah tayangan di televisi. Haus rasanya tenggorokan ini. Sebenarnya tadi bunda udah mempersilahkan aku buat ambil minum sendiri di dapur. Tapi nggak mungkin aku lakukan, karena aku cukup tahu diri.

Bosan melihat acara di tv, aku mengedarkan pandangan ke penjuru ruangan. Meski sebelumnya aku sering diundang main ke sini, tetap saja aku merasa kagum dengan desain dan penataannya. Maklumlah, sangat berbeda dengan rumahku yang sederhana. Tapi soal kebersihan rumahku jelas bersih, nggak kalah sama rumah ini.

Jadi kangen rumah deh. Kangen mama sama papa. Apa aku pulang aja ya, lagian rumahku berhadapan sama rumah ini, tanggung kan, kalau nggak pulang. Nungguin dari tadi juga nggak ada yang nongol-nongol, bikin tambah bosen.

Bayangin, rumah segede dan semewah ini bunda nggak memperkerjakan asisten rumah tangga, semua dia yang handle. Jangan-jangan kalau nantinya aku tinggal di sini aku bakalan dijadiin pembantu lagi. Ugh, nggak mau. Di rumah sendiri aja nggak pernah ngapa-ngapain. Emang aku punya rumah? Ya, maksudnya rumah orang tuaku, mama sama papa.

Dari tempatku duduk, terlihat perempuan berusia enam puluhan berjalan menuruni tangga dengan dituntun oleh tante Mariska. Diikuti om Danu di belakangnya.

Sesampainya di bawah, dan berjalan ke arahku, aku lantas berdiri bermaksud menyalaminya. Namun tatapannya terasa sangat tak bersahabat.

"Oh, jadi seperti ini istrinya Rey."

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel