Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

Semenjak kejadian kemarin, Zee selalu was-was saat bekerja. Bayangan Edo sangat terasa jelas.

Apalagi saat melihat bercumbu dengan kekasihnya, ditambah lagi dengan PD nya mengakui Zee sebagai pacarnya, membuat Riki tidak lagi mengganggunya.

Perkataan terakhir Edo pun benar-benar sukses membuat Zee tidak bisa tenang. Pikirannya semrawut, membuatnya tidak bisa berkosentrasi saat bekerja, antara Edo di lelaki semprul dan Riki mantan kekasihnya.

Kali ini Zee pulang lebih awal, mengambil jatah jam pendek pada minggu ini.

Menuju parkiran karyawan, Zee mencari motor kesayangannya. Matic Honda berwarna pink masih setia menemaninya.

"Halo pacar, bagaimana kabarmu hari ini?" Suara yang sedikit ngebass mengagetkan Zee dari belakang.

"Kamu? Ngapain kamu ke sini?"

"Wow, galak banget sama pacar, pantes betah banget jomblonya." Edo terkekeh mendengar perkataan Zee.

“Sejak kapan aku jadi pacarmu?" Zee menatap sengit ke arah Edo.

"Sejak aku pertama kali melihatmu."

"Dasar semprul, mengenalmu saja tidak, apalagi harus menjadi pacarmu."

"Bukankah kamu sendiri yang mengakuinya di depan mantan kekasihmu." Edo tersenyum menang. Sementara Zee memberengut kesal, baginya bertemu dengan Edo adalah kesialan bagi hidupnya.

"Nanti malam, jam 7 aku jemput." Edo berlalu meninggalkan Zee yang masih terlihat kesal.

"Playboy semprul, jangan pernah datang ke rumahku kalau mau pulang dalam keadaan selamat." Zee meneriaki Edo dari kejauhan.

Tampak Edo melambaikan tangan, tak peduli apa yang dikatakan Zee.

****

Sejak sore Zee benar-benar hawatir tentang perkataan Edo. Apakah mungkin playboy semprul itu akan datang ke rumahnya. Apa kata ayah ibunya bila melihat kedatangan Edo, bisa-bisa ia disuruh segera menikah oleh kedua orang tuanya.

Di umurnya yang sekarang, Zee masih betah menjomblo, tak heran bila orang tuanya selalu mendesaknya untuk segera menikah, tetapi pada kenyataannya, move on aja susah, apalagi punya pacar.

“Zee, ada temanmu datang.”

Suara ibu Zee menggema dari luar kamar, Zee terkesiap, was-was bila ternyata Edo yang datang ke rumah.

Berjalan mengendap-ngendap, Zee mengintip dari balik tirai. Ternyata benar apa yang dikatakan Edo, dia benar-benar datang ke rumah.

“Zee, ngapain di sini? Ayok keluar,” tegur bapak dari arah belakang.

‘Aduh bapak ngapain mesti di sini, sih,’ batin Zee kesal.

Bapak menggandeng Zee keluar, nampak Edo tengah duduk mengobrol bersama Ibu. Lelaki itu tampak cepat akrab dengan Marini. Sementara itu, Zee tampak kesal, wajahnya memberengut tak bersahabat memandang Edo.

“Zee, sini, mukanya jelek banget ditekuk kayak gitu.”

Zee berjalan menghampiri sang Ibu, duduk bersebelahan, wajahnya masih menatap jengkel pada Edo. Dosa apa yang diperbuat Zee hingga harus berurusan dengan lelaki yang baru ia kenal, bahkan pertemuan mereka berawal dari kesialan Zee yang melihat Edo sedang berciuman dengan kekasihnya.

“Zee, kamu siap-siap. Nak Edo mau mengajakmu keluar.”

Zee tersentak mendengarnya, tanpa rasa bersalah Edo hanya tersenyum manis ke arah Zee. Sungguh menyebalkan, tetapi wajah itu sangatlah manis dan tampan. Pantas saja banyak wanita tergila-gila padanya.

“Lho ayo, kok masih diam kayak patung.” Marini mendorong Zee agar berdiri dan mengganti pakaiannya.

Dengan malas-malasan Zee melenggang masuk kedalam kamar. Memakai Sweater, dengan celana jeans yang sobek pada bagian lutut, ditambah Zee mengikat rambutnya asal. Ia memang bukan tipikal wanita pesolek, tampil apa adanya lebih membuatnya nyaman.

"Ya ampun Zee, kok penampilannya kayak gitu, ayo ganti, jangan malu-maluin Nak Edo!" tegur Marini yang kaget melihat penampilan Zee.

"Udah Bu, tidak apa, aku malah lebih suka dengan penampilan Zee yang seperti ini," ujar Edo.

Zee menelan saliva, perkataan Edo benar-benar semakin membuatnya jengkel pada Edo. Berniat ingin membuatnya ilfeel, ternyata malah membuatnya suka.

"Kami keluar dulu, Bu." Edo berdiri menghampiri Zee menggandeng tanggannya, membuat Zee hanya bisa bengong melihatnya.

Marini pun tersenyum memberi ijin putri semata wayangnya keluar bersama Edo.

Ketika sampai di halaman rumah, Zee dikagetkan dengan adanya sebuah motor gede yang terparkir di depannya.

"Ini motor kamu?" tanya Zee, ia paling benci bila harus membonceng motor gede seperti itu.

Boncengan yang terlalu kecil seringkali membuatnya kewalahan saat membonceng, apalagi pas ngebut bawa motornya.

"Iya donk, ini MV Agustav keluaran terbaru, makanya aku mau ngajakin kamu jalan-jalan, nyobain betapa asyiknya bonceng motor kayak gini."

"Ish, gak tanya." Zee masih cemberut.

Edo mulai mengidupkan mesin motor gedenya, tetapi Zee masih mematung. Naik motor ini sama saja ia akan begitu dekat dengan Edo. Secara boncengannya, nyempil banget di belakang, gak niat banget buat boncengan di belakang.

"Ya elah Zee, malah bengong, kayak patung liberti aja, betah banget berdiri."

Zee tersentak, ia segera menepis pikiran jeleknya. Kalau bukan karena Riki, ia sudah malas berurusan dengan play boy semacam Edo.

Edo mulai melajukan motornya pelan, menyusuri jalan sepanjang komplek perumahan. Laju motornya masih stabil, Zee merasa aman. Tak ada adegan ngebut ataupun senam jantung. Edo menghentikan motornya di sebuah taman yang berada di ujung komplek.

Zee turun dari motor, merapikan rambut dan pakaiannya. Edo tersenyum ke arahnnya, senyumnya benar-benar menawan. Buru-buru Zee menepis pikiran nakalnya, malas rasanya bila ia harus benar-benar pacaran dengan Edo, yang ada bakalan makan hati.

"Kenapa? baru sadar kalau aku ganteng."

"Ish...amit-amit." Zee menggerutu kesal.

"Jangan terlalu benci, yang ada jadi makin cinta." Edo membisikkannya tepat di telinga Zee, dan sukses membuatnya salah tingkah.

"Ish, dasat semprul... gak akan ya, amit-amit aku jatuh cinta sama kamu."

"Oh, ya? We will see babe." Edo meninggalkan Zee yang masih dengan kekesalannya, menghampiri tukang penjual jagung dan duduk di bangku taman.

"Edo, sebenere apa sih yang kamu inginkan dariku?" tanya Zee, Edo masih asik memakan jagung di tangannya.

"Aku ingin kamu jadi pacar aku," jawab Edo santai.

"Ish, beneran semprul nih orang, terus pacar kamu yang itu mau kamu kemanain?" Zee sedikit kesal dengan jawaban Edo.

"Pacar? Dia bukan pacarku."

"What? Kalau bukan pacar kok kalian ngelakuin hal itu?" Zee mendadak shock.

"Gak usah kaget kayak gitu, itu udah biasa, para cewek-cewek mengejarku, bahkan dengan rela mereka memberiku ciuman secara gratis." Edo membuang tangkai jagungnya ke dalam tong sampah.

"Gila, kamu itu emang gak waras." Zee beranjak, ngeri rasanya ia harus berurusan dengan pedofil macam Edo.

"Kamu mau kemana sih, duduk aja dulu." Edo menarik tangan Zee hingga membuatnya hampir terjatuh dalam pangkuan Edo.

"Ish, lepasin. Aku gak mau ya jadi korban kamu berikutnya, lagian aku gak bakal nyerahin ciuman pertamaku buat kamu. Jangan mimpi." Zee melepas tangan Edo.

"Ya ampun Zee, siapa juga yang mau minta cium kamu. Pantas saja masih jomblo, PD banget jadi orang. Lagian kamu itu standar banget jadi cewek, paling juga gak pernah ciuman."

"Ish, terserah kamu, lagian aku jomblo juga bukan urusan kamu," ketus Zee.

"Ya jelas ada lah, karena aku bakal deketin kamu."

"Edo..." Zee semakin geram dibuatnya.

"Karena kamu udah lihat aku di rooftop kemarin, jadi kamu harus bertanggung jawab."

"Gila, beneran cowok gila."

"Biarin gila, yang pasti, aku bakal buat kamu jatuh cinta." Edo menatap Zee, pandangannya sangat tajam. Terlihat tak ada kebohongan dengan ucapannya.

"Ter--se--rah!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel