Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5

Di haru minggu yang cerah itu, Maria sibuk membuat sarapan untuk Arga dan Bima. Sebab, Bi Asih belum kembali dari kampung halamannya.

Tidak lama, sarapan pun selesai. Arga dan Bima sudah duduk di meja makan.

"Nanti siang Papa akan langsung berangkat ke Tokyo," kata Bima memecah keheningan saat makan berlangsung.

Arga terkejut, sedangkan Maria diam saja, karena Bima sudah memberitahunya semalam. "Berapa lama, Pa?" tanya Arga.

"Sebulan atau dua bulan mungkin."

"Papa baru saja datang dari bali loh kemarin, malah mau pergi lagi." Arga kembali melanjutkan makannya.

"Ya, namaya juga bisnis, Ga. Nanti kamu kalau sudah mewarisi perusahaan Papa, kamu bakal rasakan apa yang Papa rasakan," kata Bima serius menatap Arga. "Dan untuk kamu, Maria. Tolong layani Arga sebaik mungkin. Selama aku tidak ada, kamu yang akan mengurus semuanya."

Maria dan Arga terkejut dengan kata 'melayani.' Keduanya saling menatap,

"Baik, Mas. Aku akan berusaha menjadi Mama Arga, meski aku buka ibu kandungnya," sahut Maria mencoba menyembunyikan rasa canggungnya terhadap Arga.

Setelah sarapan, Bima langsung ke perusahaan untuk mengambil beberapa berkas keperluan untuk di gunakan di Tokyo selama 2 bulan, sebelum dia menuju ke bandara. Sementara Arga, lelaki tampan dengan bibir tipis yang seksi itu memilih masuk ke kamar.

---

Siang hari, cuaca begitu penas. Maria yang mengira Arga sedang tidur siang, tanpa ragu keluar dari kamar hanya mengenakan lingri yang tipis dan transparan, bahkan dapat menembus lekuk tubuhnya yang indah.

Namun, apa yang dipikirkan Maria tentang Arga salah. Rupanya lelaki itu tengah berdiri tegak di depan kulkas sambil minum, hanya dengan handuk yang membungkus bagian bawahnya.

Maria diam terpaku. Begitu Arga berbalik, dia pun terkejut melihat Maria sudah berdiri di belakangnya. Lebih terkejut lagi, ketika matanya menelusuri Maria yang tampak begitu berbeda kali ini.

Pakaian yang dikenakan Maria hampir transparan, menampakkan lekuk tubuhnya dengan jelas, membuat Arga merasa gugup dan tidak tahu harus berbuat apa. "Ma—Mama?" Arga berusaha berbicara pelan meski suaranya terdengar pelan dan terbata-bata.

Maria yang awalnya terpaku akhirnya sadar, namun tatapannya tetap tidak bisa lepas dari Arga yang memerah, dan tubuh tegap yang berdiri begitu dekat dengannya. "Arga ...." gumam Maria pelan, tidak bergerak, hanya bisa menatap wajah Arga yang kini begitu dekat.

Keduanya terjebak dalam keheningan yang canggung. Maria bahkan sempat melihat Arga menlan salivanya.

"A—Aku ke kamar dulu, Ma," kata Arga. Namun, begitu dia hendak melangkah, dia tidak sengaja menginjak kakinya sendiri, dan alhasil dia terjatuh dengan Maria di bawahnya. Beruntung dia sempat menopong kepala perempuan itu sehingga tidak terbentur di lantai.

Beberapa saat suasana menjadi hening, bahkan sesuatu yang kenyal menyentuh dada bidang Arga sebelum dia tersadar dan bangkit, lalu membantu Maria berdiri. "Maaf, Ma," kata Arga berlalu meninggalkan Maria di dapur.

Setelah kejadian di dapur yang memicu perasaan yang selama ini Arga tekan, ia kembali ke kamarnya dengan perasaan campur aduk. Begitu menutup pintu, ia melempar dirinya ke atas tempat tidur, lalu memukul-mukul bantal sambil bergumam pelan, “Sial! Kalau kayak gini terus, gue bisa beneran jatuh cinta sama nyokap tiri sendiri,” keluhnya, frustasi.

Di sisi lain, Maria masih berdiri di dapur dengan jantung yang berdegup kencang. Pandangan matanya kosong, tenggelam dalam pikirannya sendiri. “Aku sudah setahun lebih menikah dengan Mas Bima, tapi ...,” gumamnya dengan suara lirih, “kami cuma sepasang suami-istri di atas kertas. Tak pernah sekalipun dia menyentuhku.” Maria menghela napas panjang, mencoba mengendalikan gejolak yang ia rasakan. “Tuhan ... kenapa setiap kali aku lihat Arga, ada perasaan ini? Apa ... apa aku hanya menginginkan sentuhan seorang lelaki?” gumannya lirih.

Maria akhirnya memilih kembali ke kamarnya, berusaha menenangkan diri. Namun, di tengah jalan, ia berpapasan dengan Arga yang sudah berpakaian rapi dan tampak bersiap untuk pergi.

“Ma, aku pergi dulu,” pamit Arga, mencoba terdengar biasa saja.

Maria hanya mengangguk tanpa kata, matanya tak berani menatap langsung ke wajah Arga. Arga pun segera pergi, mengemudikan mobilnya ke rumah Rio, sahabat karibnya sejak mereka tinggal di Bandung. Sampai di sana, ia disambut hangat oleh Ayah dan Ibu Rio yang sudah mengenalnya sejak dulu.

“Masuk aja, Arga. Si Rio ada di kamarnya,” kata Ibu Rio dengan senyum ramah.

“Baik, Tante. Terima kasih,” balas Arga sambil tersenyum sopan. Ia melangkah masuk ke kamar Rio, merasa sedikit lebih tenang berada di lingkungan yang sudah ia kenal baik ini.

Begitu masuk, Arga langsung melempar tubuhnya ke kasur Rio, menghempaskan semua rasa resahnya. “Ah!” keluhnya keras.

Rio yang sedang asyik memetik gitar di ujung kamar, berhenti dan menatap Arga heran. “Lu kenapa, Ga? Bawaannya kayak orang mau meledak,” goda Rio sambil tertawa.

Arga menghela napas panjang. “Gue bener-bener udah gila, Rio.”

Rio tertawa kecil, berusaha membuat suasana lebih ringan. “Wah, perlu gue anter ke rumah sakit jiwa, nih?”

Arga mengambil bantal dan melemparkan ke arah Rio. “Sialan lu!” umpatnya, meski ada sedikit senyum di wajahnya.

Rio memasang wajah serius. “Seriusan deh, Ga. Lu kenapa sih? Tumben datang-datang langsung bilang diri lu gila?”

Arga terdiam sebentar, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Ini soal... nyokap tiri gue,” ucapnya perlahan.

Rio mengernyit, bingung. “Ya, terus kenapa sama nyokap tiri lu?”

Arga menghela napas, merasa ragu untuk melanjutkan, tapi akhirnya ia berkata, “Dia cantik, Rio. Cantik banget ... dan seksi. Gue bener-bener, gue nggak tahu harus gimana. Naluri gue bergejolak tiap kali lihat dia.”

Rio tercengang mendengar pengakuan sahabatnya itu. “Arga. Maksud lu, lu bener udah yakin tertarik sama nyokap tiri lu?"

Arga menutup wajahnya dengan kedua tangan, merasa malu tapi lega sudah mengeluarkan apa yang selama ini ia pendam. “Iya, gue juga nggak nyangka. Selama ini gue coba tahan, tapi kemarin di dapur, gue nggak sengaja lihat dia dan ... ya, naluri kejantanan gue muncul gitu aja,” ungkap Arga dengan nada putus asa.

Rio terdiam sejenak, lalu menepuk bahu Arga pelan. “Ga, lu sadar nggak, kalau perasaan itu bisa bahaya? Lu harus bisa kontrol diri. Itu cuma perasaan sesaat yang harusnya bisa lu kendaliin,” ujarnya dengan bijak.

Percakapan Arga dan Rio terhenti saat ponsel Arga berdering. Melihat nomor asing yang menghubunginya, Arga ragu untuk mengangkatnya.

"Ayo, angkat aja. Siapa tahu penting," ujar Rio sambil menyikut Arga.

Akhirnya, Arga menjawab panggilan itu. "Halo?"

"Halo, ini Arga, kan? Gue Vera, dapat nomor lu dari Rio," sapa suara gadis di ujung telepon dengan ceria.

Arga langsung melirik Rio tajam. "Sialan lu, monyet," umpatnya setengah berbisik, hanya bisa didengar Rio.

"Hah? Lu ngomong apa, Ga?" tanya Vera, terdengar sedikit bingung.

"Oh, nggak, nggak ada apa-apa. Iya, gue Arga," jawab Arga cepat.

"Ya udah, simpan nomor gue ya!" kata Vera sebelum menutup telepon.

Begitu panggilan berakhir, Arga menatap Rio dengan tatapan kesal. "Lu bener-bener sialan ya! Ngapain lu kasih nomor gue ke si Vera?"

Rio terkekeh, tak merasa bersalah. "Sorry, Ga. Gue pikir, daripada lu mikirin nyokap tiri lu, mending lu mulai hubungan baru."

Arga mendesah panjang. "Gue belum siap, Rio."

Malam itu, Arga akhirnya memutuskan menginap di rumah Rio.

******

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel