Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4

Sore itu langit mulai gelap, matahari sudah mulai tenggelam. Arga dan Rio akhirnya memutuskan pulang setelah seharian di kampus. Mereka berjalan menuju parkiran dengan langkah santai, masih melanjutkan obrolan ringan yang sejak tadi terasa cukup menghibur di sela-sela pikiran berat Arga tentang Viola.

"Voila," Arga mendesah sambil menyebut nama mantan kekasihnya, matanya menerawang.

Rio menghentikan aktivitasnya membalas pesan dari Rani, lalu menatap Arga dengan serius. "Lu benci banget ya sama Viola?" tanyanya.

Arga menarik napas panjang. "Benci sih enggak, Yo. Cuma ... gua udah capek aja. Dia itu salah satu alasan kenapa gua balik ke Jakarta. Dia udah terlalu nyakitin gua, dan kayaknya lebih baik kita nggak usah saling ganggu lagi."

Rio mengangguk pelan, memahami perasaan sahabatnya. Dia tahu betul bagaimana Viola sempat menjadi sosok penting dalam hidup Arga. Segala perhatian, waktu, dan bahkan materi Arga curahkan untuk perempuan itu. Tapi, semuanya berakhir pahit setelah Arga mengetahui bahwa Viola mengkhianatinya.

"Kadang emang ada orang yang nggak pernah puas sama apa yang udah dia punya, Ga. Lu sabar aja ya, mungkin Viola ngejar sesuatu yang lain," ujar Rio dengan nada lembut. "Sekarang mending pulang aja, udah sore ini."

Arga mengangguk setuju. Dia mengantar Rio pulang terlebih dahulu, kemudian melanjutkan perjalanan ke rumahnya sendiri. Tapi sesampainya di depan pagar, Arga malah terdiam. Pandangannya kosong, hatinya seakan berdebar lebih kencang daripada biasanya. Entah kenapa ia merasa enggan untuk masuk ke rumah, seolah-olah ada perasaan aneh yang membuatnya gugup.

Arga masih memandangi pagar rumahnya dengan tatapan ragu ketika sebuah ketukan di jendela mobilnya mengagetkannya. Ternyata papanya, Bima, yang mengetuk pintu kaca mobil, menatapnya dengan tatapan bingung.

"Kenapa nggak masuk, Arga?" tanya Bima, suaranya tegas dan penuh wibawa.

Arga tersenyum canggung, menurunkan kaca mobilnya. "Ah, Papa. Nggak, tadi cuma mikirin sesuatu aja," jawab Arga berusaha santai.

Bima menaikkan alis, menatap anaknya sejenak sebelum bicara lagi. "Apa yang kamu pikirkan? Masih muda, jangan kebanyakan pikiran. Lebih baik kita masuk. Papa ada oleh-oleh dari Bali buat kamu."

Arga tersenyum, akhirnya membuka pintu mobilnya dan keluar. Dia mengikuti langkah Bima yang berjalan masuk ke rumah sambil tersenyum kecil, merasa sedikit terhibur oleh perhatian papanya.

Mereka berdua masuk ke rumah bersama-sama. Begitu pintu terbuka, sosok Maria langsung menyambut mereka. Perempuan muda berusia 21 tahun itu, dengan wajah manis dan senyum lembut, segera menghampiri Bima dan merebut tas yang dibawa suaminya.

"Capek ya, Mas?" tanya Maria lembut, sambil sesekali melirik Arga dengan tatapan malu-malu.

Bima tersenyum, mengusap kepala Maria. "Nggak terlalu. Ayo, masuk. Papa bawa oleh-oleh buat kalian," kata Bima, mengajak mereka duduk di ruang tamu.

Arga mengikuti dengan sedikit kikuk, sementara Maria duduk di sebelah Bima. Dia memandangi Arga dari sudut matanya, namun buru-buru mengalihkan pandangan saat Arga balas menatap.

Bima mengambil sebuah kotak dari dalam tasnya, meletakkannya di meja. "Ini, oleh-oleh dari Bali buat kamu, Maria. Kamu pasti suka."

Maria tersenyum riang saat membuka kotak tersebut, yang berisi kain tenun Bali dengan warna dan corak yang sangat cantik. "Mas, ini bagus banget. Makasih ya, Mas," kata Maria sambil menatap Bima.

"Bagus, kan? Papa pikir itu cocok buat kamu," balas Bima sambil tersenyum puas. Lalu, dia menoleh ke Arga dan mengeluarkan kotak lain dari tasnya. "Ini buat kamu, Arga. Semoga kamu suka."

Arga membuka kotak tersebut dan mendapati sebuah gelang perak khas Bali. "Wah, makasih, Pa. Keren banget," ujar Arga sambil mencoba memakai gelang itu di pergelangan tangannya.

Senyum Bima semakin lebar melihat kegembiraan mereka. "Papa senang kalian suka. Maria, kalau kamu suka kain itu, nanti kita beli lagi buat koleksi," ucapnya sambil menatap Maria dengan penuh perhatian.

Maria mengangguk bahagia, tapi pandangannya justru lebih sering terarah pada Arga yang tampak begitu menarik dengan gelang barunya. Ada perasaan aneh yang muncul di hatinya, sesuatu yang ia tahu tidak pantas, tapi sulit ia tahan.

Sementara itu, Arga juga merasa ada suasana canggung yang mulai menguasai dirinya. Semakin lama ia menatap Maria, semakin sulit rasanya mengabaikan perasaan yang diam-diam terus bertumbuh di dalam hatinya.

"Eh, ada teh anget nggak? Tenggorokan kering banget nih," kata berusaha mengalihkan perhatian.

"Oh iya. KU buatkan teh ya?" sahut Maria cepat, seolah senang ada alasan untuk menjauh dari tatapan Arga.

Bima mengangguk, mempersilakan Maria menuju dapur. Sementara itu, Arga dan Bima melanjutkan obrolan ringan mereka. Tak lama kemudian, Maria kembali dengan nampan berisi cangkir teh panas. Dia menyajikan teh dengan rapi, lalu duduk kembali di sebelah Bima, namun tetap sesekali mencuri pandang pada Arga.

Arga merasa suasana semakin tegang, terlebih ketika Maria mencoba berbicara dengannya. "Eh, Arga ... gimana kampus baru? Betah nggak?"

Arga sedikit kaget ditanya begitu oleh Maria. "Oo ... iya, lumayan lah. Tapi masih agak canggung. Banyak temen baru, jadi butuh waktu buat adaptasi," jawab Arga sambil tersenyum tipis.

Maria mengangguk, memainkan ujung kain tenun di tangannya. "Kalau ada apa-apa yang butuh bantuan, bilang aja. Siapa tahu bisa bantu."

Arga mengangguk pelan, lalu meneguk teh hangat di hadapannya, mencoba menghindari tatapan Maria yang terasa semakin intens. Dia sendiri tak tahu harus bersikap seperti apa. Di satu sisi, dia tahu Maria adalah istri ayahnya yang begitu ia hormati. Namun di sisi lain, ada perasaan aneh yang terus tumbuh di hatinya setiap kali ia melihat wajah Maria yang lembut.

Tak lama, Bima bangkit dari duduknya. "Papa ke kamar dulu ya, mau istirahat sebentar. Perjalanan tadi lumayan capek juga." Dia tersenyum pada Maria dan Arga sebelum melangkah pergi meninggalkan ruang tamu.

Begitu Bima pergi, suasana ruang tamu terasa lebih sepi dan hening. Arga dan Maria terdiam, hanya suara detik jarum jam yang terdengar jelas. Keduanya saling mencuri pandang, namun segera mengalihkan tatapan ketika mata mereka bertemu.

Maria akhirnya memecah keheningan dengan suara pelan. "Arga ... sebenarnya saya juga masih canggung di sini, di rumah ini."

Arga menoleh, menatap Maria dengan rasa ingin tahu. "Canggung kenapa, Maria?"

Maria tersenyum kecil, menundukkan pandangan. "Yah, saya juga nggak banyak kenal orang di sini. Saya ... cuma mau kamu juga nyaman di sini, gitu."

Arga menatapnya dalam-dalam, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar keinginan Maria untuk berbaikan dengan keluarga barunya. Ada rasa kesepian yang ia lihat di mata Maria, sesuatu yang membuatnya merasa iba.

"Aku ngerti, kok. Kita sama-sama adaptasi aja, ya," jawab Arga lembut.

Maria mengangguk pelan, pandangannya kembali terfokus pada cangkir teh di tangannya. "Terima kasih, Arga. Saya senang bisa punya teman bicara, walaupun ... yah, kamu anak tiriku."

Arga tersenyum samar. "Nggak apa-apa, Ma. Kamu juga bagian dari keluarga ini sekarang."

--‐---

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel