Bab 6
Pagi itu, Maria terbangun lebih awal dari biasanya. Dia berjalan ke dapur dengan niat membuat sarapan seperti yang biasa dia lakukan sejak Bi Asih mudik. Namun, langkahnya terhenti di pintu dapur saat melihat semua sudah tertata rapi di meja makan. Aroma telur dadar dan roti panggang menggoda di udara, menandakan kalau seseorang sudah bangun dan menyiapkan segalanya.
“Selamat pagi, Nyonya Maria,” sapa Bi Asih yang baru saja kembali dari kampung halaman.
Maria tersenyum, lega sekaligus sedikit merasa takjub. "Selamat pagi, Bi. Terima kasih, sarapannya sudah siap."
Bi Asih tersenyum ramah. “Sama-sama, Nyonya. Saya memang sudah niat bangun pagi buat bantu-bantu lagi. Nyonya tenang saja.”
Setelah ucapan terima kasih, Maria duduk sejenak dan menikmati sarapannya. Tak lama kemudian, dia kembali ke kamarnya. Namun, saat melintasi lorong menuju kamar, matanya terpaku pada pintu kamar Arga yang sedikit terbuka. Dia menahan langkah, lalu dengan cepat memastikan keadaan di dalam kamar. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Arga. Pikirannya berputar, ia ingat bahwa sejak kemarin, Arga belum kembali.
Saat di kamarnya, Maria berusaha menepis rasa khawatir itu dengan melipat pakaian. Namun, lamunannya terganggu oleh dering telepon. Nama Bima tertera di layar.
“Halo, Mas,” sapa Maria lembut begitu menerima panggilan.
“Halo, Maria. Kamu lagi apa?” suara Bima terdengar di ujung sana, hangat namun agak datar.
“Baru aja selesai sarapan, Mas,” jawab Maria, mencoba untuk tetap terdengar ceria.
“Dengan Arga?” tanya Bima, suaminya.
“Enggak, Mas. Arga belum pulang sejak kemarin.”
Bima mendengus kecil. “Ah, anak itu. Sejak mamanya meninggal, dia memang lebih suka menghabiskan waktu di luar rumah. Pernah waktu kuliah, dia lebih milih pergi ke Bandung, baru kembali waktu dia bosan di sana.”
Maria hanya terdiam mendengar keluhan Bima. Di satu sisi, ia paham alasan Bima ingin Arga berada di rumah, tetapi di sisi lain, ia merasa ada sesuatu yang kurang. Bima seolah hanya peduli pada keberadaan Arga di rumah, bukan pada perasaannya sebagai istri yang selalu sendiri di rumah.
“Ya sudah, nanti kalau ada apa-apa kabari Papa ya,” kata Bima lagi sebelum menutup telepon.
“Baik, Mas,” sahut Maria singkat, meski perasaan kecewa menguasainya. Dalam hati, dia berharap Bima bisa menunjukkan perhatian yang lebih dari sekadar basa-basi. Selama pernikahan, Bima tak pernah sekali pun memberinya perhatian lebih, bahkan mereka tidur di kamar yang berbeda.
Pernah Maria memberanikan diri meminta keintiman layaknya suami istri. Namun, Bima menolak dengan alasan bahwa dirinya masih teringat almarhumah istrinya, ibu dari Arga.
Maria menghela napas panjang, memandangi tangannya yang gemetar. Di usia yang masih 21 tahun, ia merasakan betul kekosongan dalam rumah tangganya. Hatinya bertanya-tanya, apa mungkin cinta akan tumbuh jika hubungan mereka berjalan sedingin ini? Namun, ia menenangkan dirinya, mencoba menerima keadaan yang sudah menjadi pilihannya.
---
Sementara itu, di tempat lain, Arga terbangun di kamar sahabatnya, Rio. Matanya yang masih setengah terpejam menatap layar ponselnya. Puluhan panggilan tak terjawab muncul dari Viola, mantan kekasihnya yang seolah tak kenal lelah menghubungi. Namun, yang lebih membuatnya khawatir adalah panggilan dari nomor sang ayah, Bima.
Dengan enggan, Arga memutuskan untuk menelepon balik ayahnya. “Halo, Pa.”
“Di mana kamu sekarang, Arga? Kenapa nggak pulang?” suara Bima terdengar tegas, meski diiringi nada khawatir.
Arga melirik Rio yang masih tidur, lalu menjawab pelan, “Arga lagi di rumah teman, Pa. Sahabat waktu di Bandung. Kita sekalian reuni.”
“Ooh, ya sudah. Tapi jangan lupa pulang, ya. Kasihan Maria sendirian di rumah,” kata Bima, menutup pembicaraan dengan sedikit nada peringatan.
Setelah panggilan terputus, Arga mendesah panjang. “Kasihan Maria?” gumamnya pelan. “Seandainya Papa tahu alasan gue di sini sebenarnya adalah buat menghindari Maria.”
Rio yang akhirnya terbangun, mengerjap-kerjapkan mata. “Apaan, Ga? Lu ngomong apa tadi?”
Arga tertawa kecil, berusaha menyembunyikan kegalauan yang sejak tadi membebaninya. “Nggak ada apa-apa, Rio. Udah, bangun. Kita sarapan di luar aja yuk.”
Sepanjang perjalanan, Arga terus mencoba menepis pikiran tentang Maria. Namun, bayangan tentang tatapan Maria yang ia lihat kemarin di dapur tak kunjung hilang dari benaknya.
Setelah sarapan, Arga memutuskan untuk kembali ke rumah, meski ada perasaan enggan yang merayapi pikirannya. Saat tiba di rumah, Maria tampak sedang duduk di taman belakang, memandangi bunga-bunga yang baru saja mekar. Arga mendekatinya perlahan, suara langkahnya membuat Maria menoleh.
“Kamu baru pulang, Ga?” tanya Maria lembut, senyumnya menghiasi wajahnya meski tampak sedikit dipaksakan.
“Iya, Ma. Maaf ya, kemarin aku nginap di rumah Rio,” jawab Arga sambil tersenyum kecil. Ada rasa canggung yang membayang di antara mereka.
“Nggak apa-apa,” kata Maria, mencoba menghilangkan suasana kikuk.
Arga duduk di bangku di samping Maria. “Ma, sebenarnya ... kamu nggak kesepian di sini?”
Maria terdiam sejenak, terkejut dengan pertanyaan Arga. “Kadang, Ga. Tapi aku coba nikmati aja, mungkin sudah jalannya begini.”
“Kenapa kamu nggak ngomong sama Papa?” tanya Arga lagi, meski tahu jawaban itu mungkin takkan mudah bagi Maria.
Maria tersenyum pahit. “Nggak gampang, Ga. Papa kamu masih cinta sama Mama kamu, aku tahu itu. Aku di sini ... mungkin cuma jadi pelengkap hidupnya aja.”
Arga merasakan ada perasaan berat di dadanya mendengar pengakuan Maria. Dia menyadari betapa rumit situasi yang mereka hadapi. Dalam hati, ada keinginan untuk melindungi Maria, tapi dia juga tahu bahwa posisinya tak lebih dari seorang anak yang harus menghormati hubungan ayah dan ibu tirinya.
“Ma, kalau kamu butuh teman cerita, aku di sini,” ucap Arga dengan suara lembut.
Maria menatapnya, dan kali ini, senyum tulus tergambar di wajahnya. “Terima kasih, Ga."
---
Malam itu begitu sunyi. Arga sudah terlelap di kamaranya, sedangkan Maria masih betah menyaksikan acara televisi kesukaannya. Ya, hanya itu yang dapat dilakukannya di kala sedang bosan. Ingin keluar menghirup ufara dinginnya malam, rasanya tidak mungkin. Dia tidak punya teman, atau sanak saudara yang bisa dikunjungi.
Sampai pada pukul 22:23, Maria tidak sengaja tertidur di depan televisi, dan Arga yang merasa kerongkongannya sedikit kering keluar dari kamar hendak mengambil minum. Langkahnya pun terhenti ketika dia mendapati Maria tengah tertidur pulas. Niatnya untuk mendekati perempuan itu lebih besar dari pada rasa hausnya.
Arga melangkah ke arah Maria, betapa terkejutnya dia ketika melihat perempuan itu tertidur dengan lingrie yang tersingkap ke atas sehingga memperlihatkan pahanya yang putih, mengundang untuk dibelai. Lekukan tubuhnya begitu indah, membuat Arga hanya menelan ludahnya.
Mata nakal Arga juga singgah pada sebuah belahan benda kenyal yang membusung. Dia semakin tertegun, matanya yang nakal itu kini berpindah pada bibir mungil Maria, mengundang untuk di kecup.
Arga menjongkok dengan matanya yang masih setia menatap bibir mungil Maria. Lalu tiba-tiba saja ada sebuah dorongan yang muncul untuk mengecup bibir mungil itu. Dia pelan-pelan menjatuhkan ciuman di bibir itu, dan ketika dia merasa tidak ada pergerakan dari Maria, dia semakin memperdalam ciumannya.
Merasa ada yang mengenai bibirnya begitu liar, Maria terbangun, tetapi tidak membuka matanya. Ada sedikit kebahagiaan di dalam dirinya "Oh, akhirnya suamiku melakukannya," pikir Maria. Dia berusaha membalas ciuman itu, meskipun dia tidak terlalu pandai, karena itu adalah kali pertama dia berciuman. Dia juga merangkul leher Arga, supaya lelaki itu semakin memperdalam ciumannya.
Maria sudah terenggah-enggah seperti hampir kehabisan napas, membuat Arga langsung melepaskan ciumannya dan berpindah ke leher jenjang Maria. Tangan nakalnya pun tidak tinggal diam. Tangan itu sudah masuk ke dalam lingrie berwanra biru malam milik Maria.
"Ah!!" desah Maria kala Arga menyentuh benda kenyal yang membusung dengan ujung yang masih ranum itu. Arga juga meremasnya sedikit kuat lalu memilin ujungnya, membuat Maria lagi-lagi mengeluarkan desahannya.
"Mas, tolong lebih lembut," kata Maria. Dia mengira kalau yang mencumbuinya saat ini adalah Bima, suaminya. Meskipun semua itu baru pertama kali dia lakukan, dia dengan senang hati menerimanya, karena hal itu memang sudah lama dia dambakan. Menjadi istri yang sebenarnya bagi Bima, meskipun dia tidak mencintainya.
"Oh, Maria ...." Arga semakin meremas kuat benda kenyal itu, membuat Maria langsung terkejut mendengar suara yang sedang mencumbunya itu, dan itu bukanlah suara Bima. Dia langsung membuka mata lebar dengan keterkejutan yang begitu dahsyat.
Maria sontak mendorong Arga yang tadi sudah menindihnya. Kemudian, dia bangkit, dan memperbaiki lingrienya.
"A—apa yang kamu lakukan?" tanya Maria melotot pada Arga.
"Maafkan aku, Ma. Aku khilaf."
"Pergi! Pergi dari sini. Kamu gila ya. Kalau kamu tidak pergi, maka aku yang akan pergi." Maria memeluk dirinya sendiri lalu menuding ke arah pintu, berharap Arga segera pergi.
"Baik, baik, Ma. Aku akan pergi."
