Bab 3
Siang itu matahari bersinar terang, dan kampus mulai ramai dengan mahasiswa yang berlalu-lalang di sekitar gedung. Arga baru saja melangkahkan kaki di kampusnya yang baru ini. Dengan penampilan yang mencolok, tak heran kalau hampir semua gadis yang lewat atau duduk di sekitar kampus menoleh ke arahnya.
Arga yang berusia 26 tahun memiliki postur tinggi, tegap, dan sedikit berotot. Wajahnya yang tampan dengan hidung mancung, alis tebal sedikit melengkung, serta bibir tipis yang terlihat seksi berhasil menarik perhatian banyak orang.
Senyum tipisnya melayang pada setiap gadis yang menyapanya, dan beberapa bahkan berbisik-bisik sambil melirik ke arah Arga.
"Eh, itu mahasiswa baru, ya? Gak pernah liat dia sebelumnya," bisik seorang gadis kepada temannya.
"Kayaknya sih gitu. Gila, ganteng banget," temannya membalas sambil senyum-senyum malu.
Arga hanya membalas dengan senyuman kecil. Dalam hati, dia merasa agak canggung dengan perhatian yang begitu besar. Baginya, perhatian seperti ini cukup biasa, apalagi di lingkungan baru. Tapi tetap saja, suasana kampus di Jakarta ini terasa sedikit berbeda dibanding di Bandung.
Tiba-tiba suara yang sangat familiar terdengar dari belakang. "Arga!" Rio berjalan cepat menghampirinya.
“Eh, bro! Dari tadi?” Arga tersenyum, menepuk bahu Rio.
“Nggak, baru aja. Eh, lu sadar gak sih? Cewek-cewek kampus pada melirik lu." Rio tertawa, matanya mengisyaratkan ke arah sekelompok gadis yang sedang memandang mereka dari kejauhan.
Arga hanya mengangkat bahu. “Ah, biasa aja kali. Ntar juga pada bosan sendiri.”
Rio tertawa lebih keras. “Lu pede banget, sih! Tapi beneran, Ga, di kampus ini lu kayak magnet cewek-cewek, tau nggak? Dari tadi pada bisik-bisik soal lu, bilang lu tuh kayak model majalah.”
Arga terkekeh. “Yah, mungkin kalo mereka tau gua ini mahasiswa pindahan semester enam, mereka bakal mundur pelan-pelan. Biasanya, kan cewek-cewek lebih suka sama yang seumuran.”
Saat mereka sedang tertawa, seorang gadis cantik tiba-tiba menghampiri mereka dengan langkah pelan. Wajahnya terlihat malu-malu, tapi rasa penasarannya sepertinya mengalahkan rasa malunya.
“Eh, halo. Lu mahasiswa baru, ya? Aku nggak pernah lihat sebelumnya,” gadis itu membuka percakapan, matanya berbinar menatap Arga.
Arga tersenyum ramah dan mengulurkan tangan. “Arga Radinata. Lu bisa panggil gue Arga aja.”
Gadis itu tersipu, menyambut uluran tangan Arga tanpa ragu. “Vera Sulistia,” balasnya sambil tersenyum.
Arga mengangguk sopan, memperhatikan Vera yang tampak enggan melepaskan genggamannya. Rio di samping mereka hanya geleng-geleng kepala, merasa geli melihat momen itu.
“Eh, Vera, Arga kayaknya mau ketemu kepala universitas, deh,” Rio buru-buru membuka suara, memecah suasana. Arga hanya tersenyum kecil, memahami maksud Rio yang berusaha ‘menyelamatkan’ dirinya dari situasi canggung ini.
“Oh, iya ... iya, silakan, Ga. Nanti ketemu lagi, ya,” Vera melepaskan genggaman tangannya dengan wajah sedikit kecewa.
Arga hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, lalu ia dan Rio segera berjalan menjauh, meninggalkan Vera yang masih memandangi mereka.
“Bro, cantik banget itu si Vera. Lu nggak tertarik gitu?” tanya Rio saat mereka berjalan menuju kelas Arga.
Arga hanya terkekeh dan menepuk punggung Rio. “Buat lu aja, lah. Cantik-cantik gitu pasti banyak penggemar. Gua nggak mau ribet.”
Rio tertawa kecil. “Ih, lu kan tau sendiri gua udah punya Rani. Kasian lah si Rani di Bandung kalo gua main sama yang lain.”
Arga mendengus kecil, matanya berkilat iseng. “Yaelah, bro. Tapi kan Rani di Bandung. Emang lu tahan, nih?”
Mendengar itu, Rio otomatis memegang bagian bawah tubuhnya, lalu tertawa. “Ya tahan lah! Mana bisa main-main kayak lu, Ga.”
Arga tergelak, menggelengkan kepala. “Yah, kalo gak bisa, tinggal bilang. Si Vera pasti seneng tuh.”
Mereka berdua tertawa keras, sampai beberapa mahasiswa di sekitar menoleh bingung. Tepat saat mereka sudah hampir sampai di kelas, seorang dosen masuk dan langsung menatap mereka berdua dengan alis terangkat.
“Ehem! Kalian berdua-,' kata dosen iti terhenti.
"Arga, dia Rio," kata Arga menuding dirinya lalu ke Rio.
"Ah, saudara Arga, dan Rio. Bisa lebih pelan suaranya?” tegur dosen tersebut sambil menatap mereka tajam.
Mereka langsung mengangguk, berusaha menahan tawa mereka. Rio cepat-cepat menarik Arga ke tempat duduk, mencoba meredam canda mereka yang hampir ketahuan dosen.
"Ngapain lu di sini? Bukannya lu ngambil jurusan ekonomi?" tanya Arga menatap Rio.
"Gue lagi gak ada kelas hari ini. Jadi, gue nimbrung di sini. Dosen juga gak bakal tahu kok."
Saat kelas berlangsung, Arga mencoba. Ia teringat pada Maria yang hanya beberapa tahun lebih tua darinya, dan bagaimana perasaan yang tak seharusnya itu terus menghantui pikirannya.
“Ga, lu kenapa? Kok bengong mulu?” bisik Rio yang duduk di sampingnya.
“Enggak, bro. Gua cuma ... kepikiran sesuatu,” jawab Arga sambil menggeleng, mencoba fokus pada materi yang dijelaskan dosen.
Rio menatapnya heran. “Kepikiran apaan? Gara-gara si Vera ya?”
Arga tertawa kecil, mencoba menghindar. “Apaan sih. Enggak lah.”
“Lah terus? Jangan-jangan ... gara-gara nyokap tiri lu?” Rio berbisik dengan nada jahil.
Arga langsung menoleh, memberikan tatapan tajam ke Rio. “Sstt... Lu ngomong apa sih?”
Rio tertawa pelan, mengangkat bahu. “Ya, gua kan temen lu. Gua bisa ngerti kok dari bahasa tubuh lu. Lagian ... lu udah cerita ke gua kemaren, inget?”
Arga hanya mendesah, sedikit bingung harus bilang apa. “Rio ... susah jelasin, bro. Gua sendiri nggak ngerti sama perasaan gua.”
Rio mengangguk sambil menepuk bahu Arga pelan. “Santai, bro. Cuma saran aja, hati-hati. Jangan sampai lu kebablasan. Apalagi kalo sampe bokap lu tau. Wah, tamat lu.”
Arga tersenyum tipis, tetapi hatinya bergejolak. Sejenak ia merenung, membayangkan apa yang mungkin terjadi jika perasaannya terhadap Maria semakin dalam. Di satu sisi, ia merasa bersalah, tapi di sisi lain, ia tak bisa menahan perasaan yang semakin kuat setiap kali ia berdekatan dengan Maria.
Sebelum ia sempat menjawab Rio, dosen di depan kelas memanggil namanya. “Saudara Arga, bisa tolong sebutkan kembali konsep utama dalam materi ini?”
Arga tersentak, mencoba mengumpulkan fokusnya. “Iya, Pak. Jadi, konsep utamanya adalah ...," jawabnya dengan cepat, berharap dosen itu tidak menyadari pikirannya yang tadi melayang-layang.
Rio menahan tawa di sampingnya, menyenggol Arga pelan. “Gua bilang juga apa ... lu kalo lagi kepikiran, susah fokus.”
Arga hanya tersenyum kecut. Di balik tawa dan candaannya, ia tahu bahwa pikiran tentang Maria masih menghantuinya, dan semakin hari, ia merasa semakin sulit menghindari perasaan yang terus berkembang.
Setelah kelas bubar, Arga dan Rio memilih duduk di bawah pohon besar di dekat taman kampus. Rio sibuk mengetik cepat di ponselnya, membalas pesan-pesan dari Rani yang ada di Bandung. Senyum kecil tersungging di wajahnya setiap kali ada balasan manis dari Rani.
Sementara itu, Arga duduk termenung di samping Rio, pikirannya kembali melayang pada Maria. Sosok perempuan itu terus muncul di kepalanya, meskipun ia mencoba mengalihkan pikiran.
"Halah, dari tadi bengong mulu. Kepikiran siapa sih, lu?” Rio melirik, menyenggol Arga.
Arga hanya menggeleng, tapi sebelum ia sempat menjawab, ponselnya tiba-tiba berdering. Ia menatap layar ponsel, dan seketika matanya menyipit saat melihat nama yang tertera.
Rio menoleh penasaran. “Eh, kenapa gak diangkat, Ga?”
Arga hanya terdiam, menggenggam ponsel itu lebih erat. Sementara matanya terpaku pada nama yang berkedip di layar.
------
