Bab 2
“Perasaan aneh gimana? Maksud lu, perasaan nggak nyaman gitu?” tanya Rio dengan wajah penuh perhatian.
Arga terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Bukan nggak nyaman. Lebih kayak ... tertarik gitu. Gue tahu ini salah, tapi ... ya, gue ngerasain hal itu. Gue nggak bisa kontrol, Rio.”
Rio mengangkat alis, jelas terkejut dengan pengakuan Arga. “Bro, lu serius? Tertarik sama ibu tiri lu sendiri?”
Arga mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan rasa malu dan bingung sekaligus. “Iya. Makanya gue jadi serba salah. Di satu sisi, gue tahu ini nggak benar, tapi di sisi lain, gue nggak bisa bohong sama diri gue sendiri.”
Rio terdiam, tampak berpikir keras. “Wah, ini sih ribet, bro. Mungkin lu cuma butuh waktu buat adaptasi. Lagipula, hubungan kalian kan keluarga, bukan yang lain.”
“Gue tahu, Rio. Tapi tiap kali gue ngeliat dia, ada sesuatu yang nggak bisa gue jelasin. Dia itu terlalu cantik untuk seorang ibu tiri,” ujar Arga dengan nada putus asa.
Rio menarik napas panjang, mencoba memberikan saran terbaik untuk sahabatnya. “Bro, mungkin lu harus coba menjauh sedikit, atau setidaknya batasin interaksi lu sama dia. Kadang, jarak bisa bikin perasaan-perasaan aneh itu berkurang.”
Arga mengangguk, walaupun tampak tidak sepenuhnya yakin. “Iya, mungkin gue harus coba itu. Tapi, tetap aja, gue masih bingung gimana caranya ngehadapin ini semua.”
Rio menepuk bahu Arga dengan lembut. “Sabar, bro. Gue yakin, seiring waktu lu bakal nemuin cara buat ngatasi perasaan ini. Lu cuma butuh waktu dan jarak.”
Arga tersenyum tipis, berterima kasih pada Rio yang selalu ada untuk mendengarkan. “Thanks, Rio. Gue cuma nggak tahu harus cerita sama siapa lagi selain lu.”
Rio tertawa kecil. “Tenang aja, bro. Gue di sini buat dengerin semua cerita aneh lu, kok.”
Arga tertawa kecil. “Iya, gue tau itu. Dan gue bersyukur punya lu sebagai sahabat.”
Rio tersenyum, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah jalan. “Eh, udah jam segini aja. Gimana kalau kita cari tempat buat makan? Gue udah lapar banget nih.”
Arga tersenyum, merasa lebih baik setelah bercerita. “Boleh. Ada tempat enak deket sini, gue sering makan di sana.”
Rio mengangguk antusias. “Ayo, jalan!”
Dengan perasaan yang sedikit lebih lega, Arga menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraannya. Meskipun masih ada keraguan dalam hatinya, setidaknya ia tahu ada Rio yang selalu mendukungnya. Sementara itu, pikirannya tetap dipenuhi bayangan Maria.
Setelah Arga mengantarkan Rio pulang, ia kembali ke rumah dengan pikiran yang sedikit lebih tenang. Namun, begitu ia melangkah masuk, suasana rumah terasa hening, sepi, seolah tak ada siapa pun di dalamnya.
Arga menelusuri ruang tamu sebentar, mencari sosok yang biasanya berkeliaran di rumah, tapi tak menemukan siapa pun. Akhirnya, ia memutuskan langsung masuk ke kamarnya dan menghempaskan diri di atas ranjang.
Baru saja ia berbaring, ponselnya berdering. Nama Viola muncul di layar, mantan kekasih yang beberapa hari terakhir mencoba menghubunginya.
Arga menatap layar sejenak, hatinya terasa getir. Ia tak punya keinginan untuk berbicara, apalagi membahas masa lalu yang baru saja ia coba tinggalkan di Bandung. Ketika panggilan itu berakhir, pesan dari Viola masuk.
"Ga, maafin gue. Gue salah. Lu di mana sekarang, Ga? Gue kangen," bunyi pesan tersebut.
Arga menghela napas panjang, membaca pesan itu tanpa niat membalas. Ia tahu, Viola hanya muncul saat merasa kehilangan, bukan karena benar-benar ingin memperbaiki hubungan mereka.
Arga mengabaikan pesan itu. Dia memutuskan untuk mandi, berharap pikiran-pikiran tentang Viola segera hilang bersama dinginnya air.
Selesai mandi, Arga hanya mengenakan handuk yang dililitkan di pinggang. Hanya itu yang terasa nyaman baginya malam itu. Merasa haus, ia berjalan keluar kamar menuju dapur. Langkahnya terhenti sejenak di ambang pintu dapur ketika melihat Maria sedang sibuk di sana.
Sejenak suasana menjadi hening. Arga merasa canggung dan agak salah tingkah, tetapi ia mencoba bersikap biasa saja.
Maria menyadari kehadiran Arga dan tersenyum kaku. “Bi Asih pulang kampung. Jadi, untuk sementara saya yang akan memasak,” ujarnya, memalingkan pandangan dari tubuh Arga yang masih basah dengan otot-otot yang terlihat jelas.
Arga mengangguk singkat. “Oo ... Di mana Papa?” tanyanya, mencoba mengalihkan kecanggungan yang tiba-tiba timbul.
Maria berusaha tetap tenang. “Mas Bima pergi ke Bali tadi pagi,” jawabnya sambil kembali fokus pada bahan-bahan masakan di meja.
Arga membuka pintu kulkas, mengambil sebotol air dingin, dan menenggaknya. Air mengalir dari mulutnya, menetes ke dada bidangnya, membuat kulitnya berkilau di bawah cahaya dapur. Maria yang tak sengaja melihat itu menelan ludah, merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan dalam hatinya.
“Mungkin lusa Mas Bima baru kembali,” lanjut Maria, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk.
Maria lalu berbalik untuk mengambil tomat dari dalam kulkas. Namun, tanpa sengaja kakinya menginjak permukaan lantai yang sedikit licin.
Maria kehilangan keseimbangan, tubuhnya hampir terjatuh ke lantai. Dengan reflek cepat, Arga menangkapnya, memeluknya erat agar tidak terjatuh.
Keduanya terdiam, terjebak dalam posisi yang canggung. Maria masih berada dalam dekapan Arga, tubuh mereka begitu dekat.
Jantung Arga berdetak lebih cepat, dan ia bisa merasakan napas Maria yang berirama pelan namun terasa hangat di kulitnya. Mata mereka bertemu dalam jarak yang sangat dekat, seolah waktu berhenti sejenak, membawa keduanya dalam perasaan yang sulit dipahami.
“Ma—Makasih, Arga,” bisik Maria, suaranya bergetar.
Arga menelan ludah, berusaha menenangkan detak jantungnya yang tak terkendali. “Sama-sama, Ma. Hati-hati,” ucapnya, meski matanya masih terkunci dengan tatapan Maria.
Beberapa detik berlalu dalam diam, sebelum Maria akhirnya menjauh dengan wajah yang sedikit memerah. Arga melepas pelukan itu perlahan, namun tatapannya tak lepas dari wajah Maria yang terlihat gugup.
“Aku nggak sengaja. Maaf,” kata Maria, dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Arga hanya mengangguk pelan, tak berkata apa-apa. Ada perasaan yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang ia sendiri tak mampu jelaskan. Mereka berdua berdiri di sana, di tengah keheningan yang ganjil dan penuh makna, seolah ada batas yang baru saja mereka langgar tanpa sadar.
Dengan hati-hati, Maria melangkah mundur, menghindari tatapan Arga yang masih menatapnya intens, tanapa berkedip. Ia kembali fokus pada bahan masakannya, namun tangannya sedikit gemetar, sulit berkonsentrasi setelah kejadian barusan.
Arga menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan perasaannya. Tanpa sepatah kata lagi, ia berjalan keluar dari dapur, meninggalkan Maria yang masih terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Di balik pintu, Arga berhenti sejenak, merasakan debaran jantungnya yang tak kunjung reda. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya ketika bertemu dengan Maria.
------
