Bab 2
Dewa duduk seorang diri dipojokan kantin, biasanya dirinya tak pernah sendirian berkeliaran di Ganesha. Selalu di kawal tiga curut yang sekarang di yakini tengah kelimpungan mencari sang Dewa.
Tatapan mata tajam Dewa tiba- tiba saja terpusat pada dua orang gadis yang berbicara tanpa jaim. Lebih tepatnya salah satu diantaranya yang tengah mendengarkan temannya bercerita.
Yah, dia Bella yang tengah asik menikmati semangkok bakso sembari mendengarkan cerita dari Liana sahabatnya. Namun, seketika matanya memicing ketika tatapannya bersibobrok dengan pria yang tengah duduk di pojok sana.
Pria itu juga menatapnya tanpa ekpresi bahkan tanpa berkedip sekalipun.
Tanpa di duga, Bella mengacungkan jari tengah ke arah Dewa. Pria yang tadi tak sengaja di peluknya bahkan sedari tadi ada saja kata- kata sindiran yang di lontarkan fans berat pria itu pada dirinya. Mungkin saja mereka iri karena ia dengan gamblangnya memeluk Dewa pikir Bella.
Ia semakin kesal, semenjak kejadian tadi di lapangan. Ada saja yang menghampirinya ditambah kata- kata yang tak mengenakkan terdengar di indera pendengarannya.
"Mumpung ada orangnya," gumam Bella memelototkan matanya ke arah Dewa. Memang pada dasarnya Bella gadis yang sangat keras kepala dan susah di bilang.
Namun, jangan di ragukan otaknya itu. Jika dibandingkan dengan Dewa mungkin keduanya sama, sama memiliki otak yang sangat mengesankan.
"Monyet, lo gila hah," pekik Liana ketika melihat kelakuan Bella, mata Liana juga menangkap mata Dewa yang masih menatap kearah arahnya lebih tepatnya ke arah Bella yang sedari tadi tak bisa diam. "Lo beneran cari mati hah! Dia Dewa, Bel. Bukan si Manto," terang Liana, ingin sekali tangan itu mencekik leher Bella yang susah sekali di beri tahu.
"Orang buta tau kali kalau dia Dewa Dewi bukan pak Manto. Lo bisa lihat tuh, mata dia mau minta colok . Kenapa liatin gue segitunya? Ya walaupun gue tau kalau gue cantik," ujar Bella dengan pedenya. Hingga membuat Liana memutar bola matanya malas mendengar celotehan sahabatnya itu.
"Gue takut dia lagi ngatur strategi biar lo gak betah sekolah disini," tukas Liana yang sekarang sudah menampakkan raut kekhawatirannya.
"Gue gak takut. Kalau pun dia bisa, gue bakalan aduin sama kepala sekolah," terang Bella dengan senyumannya.
"Lu bodoh, Bel. Dia anak pemilik sekolah ini," ungkap Liana membuat Bella membulatkan matanya. Bahkan ucapan Liana membuatnya terbatuk- batuk tersedak kuah bakso yang sedari tadi di nikmatinya.
Uhukk... Uhukkk...
"Bella, bengek banget sih lo. Nih minum," sarkas Liana memberikan segelas jus lemon kesukaannya pada Bella.
"Lo serius, Li. Tapi gak masalah, meskipun gua hanya upik abu disini tapi gua kan anak didik kesayangan. Otak gue bisalah di tuker sekolahan ini," tukas Bella dengan percaya dirinya. Memang benar adanya jika hanya Bella yang sepertinya di sayang oleh guru Ganesha. Entah karena otaknya saja yang pintar, atau ada hal yang lainnya.
"Lo gila, Bel," pekik Liana menonyor dahi Bella ketika gadis itu malah tertawa di depannya. "Gue punya tantangan buat lo, Bel. Kalau Lo bisa luluhin hati Dewa dalam satu bulan, gua bakalan kasih lo duit lima juta. Kalau lo gak bisa luluhin si Dewa, lu harus bayar dengan kasih gue contekan. Mau gak lo!" Papar Liana membuat dahi Bella mengernyit. Kenapa harus luluhin hati pikir Bella.
"Lo kan tau gue udah punya ayang , Kenapa lo malah nantangin gue gitu. Kalau ayang gue tau gimana! Apalagi sampai dia mutusin gue." Sarkas Bella secara tak langsung menolak kemauan Liana.
"Halah, gak bakal ketahuan, Bel. Asal bibir lo gak nyeblak mulu. Coba lo pikir- pikir lagi omongan gue, itu gampang banget loh cuma luluhin Dewa waktunya gak mepet lagi," jelas Liana yang masih berusaha merayu Bella.
"Menantang banget. Boleh deh, gue coba dulu siapa tau berhasil," tukas Bella setelah berpikir dengan memegang dagunya.
"Halah, kalau soal duit aja mata lo ijo, Bel." Sindir Liana dengan kekehan gelinya.
"Hello, Liana yang cantik. Sekarang gak perlu munafik ya! Apa- apa butuh duit ya kali lo beli nasi goreng pakai daun. Mau di lempar ke laut anartika lo sama Bu Hafidzoh," jelas Bella dengan senyumannya.
Liana hanya manggut- manggut mendengarnya. Bella si cewek pekerja keras selalu berusaha agar bisa menghasilkan uang untuk menghidupi kebutuhannya.
Hidup bersama ibu tiri yang tak sekalipun menyayanginya tak membuatnya berpikir pendek. Gadis itu menguatkan tubuhnya agar bisa menghidupi dirinya sendiri tanpa mau meminta pada ibu tiri yang tak menginginkan kehadirannya.
Bekerja sebagai bertender adalah keputusannya, gadis itu tak mementingkan keselamatannya. Yang ada dalam otaknya adalah bagaimana caranya mendapatkan uang untuk dirinya sendiri.
Ia memiliki keinginan untuk tinggal sendiri tanpa adanya ibu tiri yang tak berperasaan. Mungkin jika sudah berhasil, dirinya akan bebas dari jeratan ibu tiri yang selalu menyetir kehidupannya.
"Lo nanti kerja?" Tanya Liana membuat Bella menoleh ke arahnya.
"Selalu dong, Li. Tidak ada hari tanpa bekerja kalau buat gue," tutur Bella menaik turunkan alisnya.
"Kenapa gak kerja di kantor Mama gue aja sih, Bel? Disana aman kok, ketimbang kerja disana, lo kerja malam terus pulangnya subuh belum lagi mau sekolah," ungkap Liana yang khawatir dengan keadaan Bella.
"Enggak, Li. Gue udah jatuh cinta sama pekerjaan gue," ungkap Bella berusaha meyakinkan Liana.
"Kalau karena gaji, gue bisa bilang ke Mama biar dia naikin gaji lo, Bel." Sahut Liana mengatupkan tangannya di depan dadanya. Ia memohon pada Bella agar berhenti bekerja di dunia malam meskipun hanya menjadi seorang bertender di sana.
"Neng geulis, disini ternyata. Aa Dami cariin dari tadi eh ketemnya disini," ucap seseorang yang tiba -tiba saja mendudukkan tubuhnya tepat di depan Bella, wajahnya bertopang pada tangannya yang bertengger di atas meja.
Dia Damian, seorang playboy cap kadal yang tengah menjalankan aksinya mendekati seorang Ara Bella.
"Busyet nih onta. Si Dewa ada disana," ujar Steve menarik kerah seragam Damian hingga membuat pria itu terjatuh dari kursi yang di dudukinya. Wibawanya seketika hancur di depan Bella ketika sifat jahil Steve datang dan merecokinya.
"Lo gak bisa buat gue seneng sebentar aja ,Steve." Sentak Damian yang kesal dengan tingkah Steve.
"Ingat, Dam. Bini lo udah banyak , gak usah nambah lagi," ujar Steve memberitahu.
"Kayak lo alim aja ,Steve. Lo berdua sama saja gak ada bedanya," pekik Arsen yang selaku menjadi penengah ketika Damian dan Steve berdebat.
Mereka duduk di tempat yang di duduki Dewa seorang diri. Ketiganya saling melirik ketika tatapan Dewa masih setia menatap ke arah gadis yang tertawa disana. Begitu manis tanpa cacat sedikitpun, ketiganya mengikuti arah pandangan Dewa dengan begitu antusias.
"Seharusnya yang jadi Queen di sekolah kita tuh dia bukan Evelyn. Bener gak sih!" Seru Steve melirik sekilas kearah ketiga temannya. Keduanya serempak menunduk namun tidak dengan Dewa yang hanya diam disana.
"Gue sih iyes secara cantiknya tuh gak main-main. Gue suka banget, pengen gigit. Ihhh gemesin." Damian berekpresi layaknya seorang kucing yang kehilangan induknya, membuat Steve dan Arsen begidik ngeri melihatnya.
"Njir, jijik gue sama Lo, Dam. Kenapa lo bisa jadi temen gue sih. Amit- amit," pekik Steve mengetuk dahinya dan meja secara bergantian.
"Ahhh, Abang. Jangan begitu dong! Kita kan saling mencintai." Bukannya berhenti, Damian malah menjahili Steve, pria itu beberapa kali menoel hidung mancung itu dengan gaya centilnya.
"Anjing, Dam. Gue tusuk mata lo pakai garbu ini." Ancam Steve mengarahkan garbu tepat di depan wajah Damian.
Pria itu sudah luruh, ia mendudukkan dirinya kembali tepat di hadapan Dewa. Entahlah, ia takut jika matanya benar-benar di colok oleh pria yang berstatus sahabatnya itu.
bersambung...
