Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8 Kesepakatan

“Kamu tahu darimana? Apa kamu mencari latar belakangku?” tanya Gavinka.

“Tentu saja. Aku bisa melakukan apa pun dengan uangku,” jawab Levin, sombong.

“Lalu apa? Kamu mau mengejekku?”

“Aku akan membantumu,” jawab Levin, membuat Gavinka tertawa kecil. Ia tahu maksud Levin.

“Ketawa?”

“Jangan membuatku terlihat buruk didepan matamu, aku tidak membutuhkan bantuan dari lelaki brengsek sepertimu,” jawab Gavinka, kembali bergulat melepaskan genggaman tangan Levin dilengannya.

“Tapi kamu akan bagaimana? Jika ayahmu menjualmu padaku?” tanya Levin, membuat maya Gavinka membulat.

“Apa maksudmu? Ayahku tidak akan melakukan itu,” kata Gavinka.

“Benarkah? Jadi, kamu berpikir ayahmu tak akan melakukan itu?”

“Aku mohon lepaskan aku, jangan terus membual untuk membuatku luluh padamu.” Gavinka terus berusaha melepaskan genggaman tangan Levin yang kini berubah menjadi lebih menyakitkan.

Levin akhirnya melepaskan genggaman tangan Gavinka. “Terserah kamu jika memang tak percaya. Aku akan mengirim buktinya nanti,” bisik Levin.

“Kamu—“

“Tuan Muda Levin, apa ada yang bisa kami bantu?” tanya Laure, ketika melihat tatapan mata Tuan Muda Levin penuh dengan amarah dan siasat.

“Aku tidak membutuhkan apa pun,” jawab Levin, lalu melangkah mundur menjauh dari Gavinka. “Ya sudah. Aku ke kamar dulu.”

Gavinka menghela napas sepeninggalan Levin, ia terus saja terganggu oleh lelaki brengsek itu, lelaki yang sudah mengambil segalanya darinya, ia tidak bisa lari apalagi meninggalkan pekerjaan yang memang sangat ia butuhkan ini.

“Gavinka, ayo ke dapur, kita harus menyiapkan makan malam,” kata Laure, membuat Gavinka menganggukkan kepala, lalu mengikuti langkah atasannya itu.

Sedangkan di kamar, Levin terus tertawa penuh kemenangan, dan ia kirimkan bukti transaksi Jay dengan Rehold pada Gavinka. Ia tidak ingin membagi Gavinka dengan saudaranya, ia harus memiliki Gavinka seutuhnya tanpa harus membagi apalagi dibagi.

Lelaki itu lalu membaringkan dirinya diatas ranjang king size miliknya yang di dominasi berwarn abu-abu. Kamar Levin berbeda dengan kamar lainnya yang ada di mansion ini, sepertinya Levin memang lebih menyukai kesederhanaan dan model minimalis dibandingkan Ars yang lebih menyukai kemewahan dengan tataan yang begitu mewah di kamarnya.

“Aku akan membuatmu menjadi milikku, Gavinka Allerd,” gumam Levin.

“Sepertinya kamu menikmati waktumu bersama Tuan Muda Ars,” sindir Ciona, membuat Gavinka tak mengatakan apa pun, ia memilih diam dan membiarkan Ciona berbicara sendiri yang didengar beberapa maid yang berada didapur, mengurus menu makanan yang lain.

“Gavinka baru di sini, namun ia sudah tembus ke kamar Tuan Muda Ars,” sindir lainnya.

“Kamu tahu, ‘kan, bahwa orang miskin pasti membutuhkan status dan uang,” sindir Ciona, lagi, membuat Gavinka menghela napas panjang, namun rasa marah dihatinya sudah membuat dirinyaa terluka dan mencoba ia tahan meski digendor-gendor dari dalam sana.

“Jangan melihat Tuan Muda Ars cacat, kamu malah memanfaatkannya,” kata yang lainnya, membuat Gavinka menoleh dan menatap tajam ke arah Ciona dan kawannya itu, kawan yang sudah berani mengatainya.

“Kenapa? Kamu marah? Marah saja, apa yang dikatakan Ciona ‘kan memang benar,” sindir lainnya, membuat Gavinka marah dan melemparkan air ke arah Ciona dan kawannya.

“Apa yang kau lakukan, Jalang?” tanya Ciona, tak terima diperlakukan dengan cara ini kepada Gavinka, perempuan yang baru saja masuk ke mansion ini dan merubah segalanya.

Ciona dan kawannya itu menghampiri Gavinka, mendorong Gavinka dengan keras, namun tak membuat perempuan itu tergeletak di lantai.

“Kau jangan macam-macam pada kami, ya,” ancam Ciona.

“Kamu yang jangan mengatakan sembarangan kepadaku,” sambung Gavinka.

“Memangnya kenapa? Kamu mau marah? Bukankah memang benar, kamu membutuhkan uang dan status? Karena itu, kamu menggoda Tuan Muda Ars, agar jalanmu di sini mudah,” ancam Ciona, membuat Gavinka tanpa sadar menampar Ciona, membuat semuanya menganga tak percaya melihat sikap Gavinka yang kelewatan.

Ciona sangat marah dan menjambak rambut Gavinka, membuat dapur dan seisinya berantakan, semuanya diam dan tak melakukan apa pun, mereka juga tak melerai perkelahian Gavinka dan Ciona.

Sesaat kemudian, Laure datang dan melihat sikap bawahannya.

“Ada apa ini?” tanya Laure, membuat semua maid menundukkan kepala. “Hentikan sekarang juga! HENTIKAN!” teriak Laure, membuat aksi Gavinka dan Ciona berhenti. Mereka tak mau kehilangan pekerjaan ini, mereka tidak mau sampai meninggalkan mansion ini.

Gavinka dan Ciona masih saling menatap.

“Apa kalian sudah gila? Melakukan ini di jam kerja?” tanya Laure, setengah berteriak.

“Gavinka sudah menghina saya, Nyonya,” keluh Ciona, membuat Gavinka menoleh dan menatap tajam ke arah Ciona yang kini menfitnahnya.

“Kalian berdua sama-sama salah. Aku akan menghukum kalian!” kata Laure, masih setengah berteriak.

“Kalian sudah mempermalukanku.” Laure berteriak. “Kalian tidak boleh ada yang bekerja selama dua hari, dan selama dua hari juga gaji kalian akan saya potong.”

“Tapi, Nyonya—“

“Diam! Ini keputusan saya, dan jangan ada yang berani melanggarnya!” kata Laure. “Kalian sudah melakukan hal yang tidak benar, dan kali ini saya tidak akan mengampuni kalian.”

Laure melangkah meninggalkan kedua bawahannya, semuanya menatap Gavinka tajam, semua menyalahkan Gavinka karena Ciona lebih lama bekerja di sini dibandingkan Gavinka.

Gavinka melangkah meninggalkan semuanya yang menatapnya tajam, ia melangkah masuk ke kamarnya, dan menangis sejadi-jadinya, mengapa semuanya terasa sangat berat, ia tidak bisa melakukan apa pun selain berpasrah pada keadaan yang memaksanya harus menerima semua ini, ia tidak ingin mengeluh namun rasanya sakit sekali, ketika ia membutuhkan uang demi memberikan perawatan terbaik pada adiknya, dan ternyata semuanya malah sulit sekali, dan makin sulit.

Gavinka menangis sejadih-jadinya, ia sesegukan, ia harus bagaimana dan ia harus melakukan apa saat ini. Apa salahnya dimasa lalu sehingga ia harus menjalani hidup sesakit ini, bahkan seluruh impiannya harus berakhir karena hanya dia yang bisa diharapkan keluarganya.

Gavinka mengambil ponselnya, dan hendak menelpon ayahnya, ia harus memberitahu ayahnya tentang Gaston yang harus melanjutkan perawatan di rumah, daripada harus bertahan, sedangkan sebagai kakak ia tidak bisa melakukan apa pun.

Chat masuk membuat Gavinka membuka pesan itu dan melihat nomor Levin, ia hendak mengabaikannya dan tidak akan membacanya, namun pesan terakhir yang mengatakan bahwa ayahnya sudah menjualnya, membuatnya terpaksa mengunduh gambar itu, gambar yang memperlihatkan ayahnya sedang menandatangani dan menerima uang banyak dari seseorang yang tengah memberikannya.

Levin juga mengirimkan bukti surat kuasa bahwa ayahnya setuju menerima seluruh uang dengan menyerahkan putrinya untuk Levin.

Seperti disambar petir, Gavinka tergelatak dilantai, menangisi nasibnya yang harus terjebak akan hal ini, ia sudah berusaha menghindar, namun ternyata Levin memiliki rencana lain untuk membuatnya menjadi milik lelaki itu, milik lelaki yang sudah cukup dalam hidupnya.

***

Beberapa hari telah berlalu, hubungan Ars dan Gavinka terjalin begitu mesra, terkadang Gavinka menemani Ars tidur, dan setelah Ars tertidur, ia pun langsung kembali ke kamarnya, Gavinka begitu menyukai segala yang Ars miliki meski keterbatasan membuat lelaki itu sering kali merasa kecil dan tidak berguna.

Gavinka mencoba melupakan kesepakatan ayahnya dan juga Levin, berusaha tak harus mengingatnya meski ingatan itu terus menghantuinya. Gavinka tak ingin membuat hubungannya dengan Ars berakhir, Ars yang ia cintai, bukan Levin yang ia inginkan, melainkan Ars yang memiliki keterbatasan yang selama ini berlaku lembut padanya.

“Sayang, apa yang kamu pikirkan?” tanya Ars, menggenggam lengan Gavinka.

Gavinka mendongak dan menatap Ars yang masih duduk di kursi rodanya, Gavinka ingin mengatakan kepada Ars tentang apa yang ada dipikirannya saat ini, namun ia tidak berani dan tidak ingin membuat hubungan Ars dan Levin merenggang begitu saja.

“Aku tidak apa-apa, Sayang,” jawab Gavinka, tersenyum dan menggenggam tangan Ars.

“Aku merasa beberapa hari ini kamu lebih banyak diam,” kata Ars, membuat Gavinka menggelengkan kepala.

“Aku hanya merindukan keluargaku,” jawab Gavinka menundukkan kepala.

Ars mengambil tangan Gavinka dan menggenggamnya. “Kamu pergi saja temui keluargamu.”

“Tapi—“

“Aku akan meminta izin Laure, tenang saja, Sayang,” sergah Ars, membuat mata Gavinka berbinar.

“Benarkah?”

Ars menganggukkan kepala, seraya membelai rambut Gavinka. “Benar. Apa pun yang kamu inginkan, beritahu aku, agar aku tahu apa yang kamu butuhkan.”

Gavinka dengan mata berbinar sumringah menatap Ars—kekasihnya. Sungguh ia bahagia sekali bisa diberi izin oleh Ars untuk mengunjungi keluarganya. Ia memang harus menemui ayahnya untuk menanyakan tentang Levin yang sudah memberikannya sejumlah uang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel