Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2

# Happy Reading #

7 Tahun yang lalu…

Mutia dan seluruh mahasiswa baru berkumpul di aula besar universitas tempatnya menuntut ilmu. Sejauh manik kecoklatan milik Mutia memandang, banyak orang seusianya dari berbagai suku. Hal itu terlihat jelas dari warna kulit dan logat bicara mereka. Sungguh Mutia bersemangat sekali, ia akan membuka lebar-lebar pintu pertemanan agar dirinya tak menjadi orang cupu lagi.

Predikat "cupu" melekat pada Mutiara selama masa sekolah menengah. Itu karena dia terlalu asik dengan dunianya sendiri. Mutia lebih suka melihat atau meng-observasi teman-temannya ketimbang mengajak mereka mengobrol sepanjang jam istirahat. Begitulah kehidupan sekolah Mutia. Namun, saat ia duduk di universitas, Mutia bertekad untuk membuang jauh-jauh gelar cupu-nya.

Ia ingin berubah. Ingin mempunyai banyak teman dan merasakan hal yang belum pernah ia alami selama masa SMA, yaitu jatuh cinta. Ya, cinta belum berkenan menyapa Mutia pada masa seragam putih abu-abu. Jadi dia sangat berharap sekali bila Dewa Cupid bersedia memberinya pengalaman itu saat bangku kuliah ini.

Di dalam aula tersebut, Mutia memilih duduk di kursi lipat yang letaknya di tengah-tengah, tak terlalu depan juga tidak di belakang. Kursi itu diletakkan di atas level yang posisinya semakin ke belakang semakin tinggi. Di sebelah kanannya masih ada kursi kosong sedangkan sebelah kiri, ada seorang mahasiswi berambut panjang bergelombang. Dia terlihat serius membaca buku yang ada di tangannya. Sehingga Mutia sungkan untuk mengusik keasyikan gadis itu.

Tak lama acara pembukaan OSPEK dimulai. Secara bergantian, Dekan dan Dosen juga tak ketinggalan Ketua BEM memberikan pidato di atas panggung. Seluruh mahasiswa dengan tenang mendengarkan sambutan dari orang yang berdiri di podium tersebut.

"Berikut ini saya umumkan nama pemain dalam drama yang akan dimainkan di malam apresiasi seni pada hari Sabtu. Bagi yang terpilih harap maju ke depan dan keputusan bersifat mutlak. Tak boleh ada penolakan tapi kalau ada yang tidak bersedia akan ada sanksi yang berat," cetus Ketua BEM secara tegas menjelang akhir pidatonya.

"Apa sanksinya, Kak?" potong seorang mahasiswa yang berada di sisi kanan melontarkan pertanyaan dengan mengangkat tangannya seraya berdiri. Ia amat penasaran akan akibat jika tidak mau berpartisipasi dalam pentas seni tersebut.

"Sanksi sosial. Bekerja sebagai relawan di panti asuhan yang ditunjuk oleh pihak kampus? pada hari Sabtu dan Minggu selama satu tahun. Apa sudah jelas dan mengerti?" pungkas pria yang membalut tubuhnya dengan kemeja juga jaket almamater sebagai luaran.

"Huuu." Terdengar protes panjang dari mayoritas mahasiswa yang keberatan dengan paparan Ketua BEM itu.

"Harap tenang!" sentak sang Ketua BEM pada pengeras suara untuk menghentikan keributan. Setelah sedikit hening, pria berkacamata itu melanjutkan penyampaian pengumuman.

"Nama-nama yang saya sebut, silahkan maju ke depan. Mutiara Jingga, Delano Fajar, Shara Elisa, Aldyan Yarid, Deborah Febianti, Andromeda Pradito, Shirly Gunawan, Lukas Oktav, Kinara Larasayu, dan terakhir Hendra Atmoko. Untuk nama yang tidak disebut akan membantu persiapan di belakang layar dari pentas seni," sambung kakak Ketua BEM tersebut.

"Kami memilih berdasar nilai akademik tertinggi dari perwakilan masing-masing fakultas. Nantinya peran akan ditentukan dengan melihat dari penampilan fisik mahasiswa yang sekarang berdiri di atas panggung ini," imbuhnya lagi.

Dada Mutia bergejolak ketika namanya ikut dipanggil oleh kakak Ketua BEM itu. Berulang kali ia mengembuskan nafas untuk menormalkan ritme degup jantung yang naik turun.

Dengan ragu-ragu, Mutia beranjak dari tempat duduk. Kemudian perlahan rasa gugup menyergapnya. Ia ikut berdiri di atas panggung bersebelahan dengan Emir Rajasa, sang Ketua BEM. Sedangkan di sisi lainnya berjajar kesembilan teman Mutia yang ikut terpanggil.

Ada rasa senang sekaligus bingung menghampiri lubuk hati Mutia. Ia bahagia karena akan bermain peran. Mengingat cita-citanya semasa kecil yang ingin menjadi artis akan terwujud secara dadakan. Tentu ia tidak akan melewatkan kesempatan untuk menjajal kemampuan beraktingnya tapi Mutia harus terlebih dahulu memupuk kepercayaan diri agar bisa tampil maksimal ketika drama itu berlangsung.

Di saat yang sama Mutia juga merasa gelisah karena ini yang pertama baginya. Pengalaman perdana berdiri di atas panggung dan ditonton banyak orang. Selama sekolah menengah ia hanya naik ke atas panggung saat menerima penghargaan sebagai murid dengan prestasi yang membanggakan. Sementara untuk bermain peran seperti ini, Mutia belum pernah melakukannya. Meskipun begitu, Mutia bertekad akan menampilkan usaha terbaik dalam pentas ini.

Setelah semua sudah di berada di atas panggung. Ketua BEM mengumumkan kelanjutan informasi dari podium tempatnya berpijak. Semua orang yang berada di aula utama itu mendengarkan baik-baik penjelasan dari pria berkacamata tersebut.

Ternyata kesepuluh orang itu akan berperan di sebuah drama kampus untuk acara apresiasi seni di akhir acara OSPEK. Di drama itu Mutiara Jingga dipasangkan dengan Delano Fajar. Di situlah gadis berwajah cantik ini menjadi dekat dengan pria yang 100% memenuhi kriteria fisik pacar idaman Mutia, panggilan akrab dari Mutiara Jingga. Wah, sungguh keberuntungan yang luar biasa bagi Mutia.

Setelah pengumuman itu, kesepuluh orang yang akan bermain dalam drama dikumpulkan di aula fakultas seni. Dengan didampingi dosen dan beberapa mahasiswa tingkat akhir yang akan membantu Mutia dan teman-temannya untuk menjadikan pementasan tersebut sukses walau hanya dalam hitungan hari.

Sesudah pembagian naskah dan peran, para pemain disuruh untuk membaca naskah drama sepanjang 50 halaman secara singkat. Mereka diminta memahami dialog masing-masing peran dan membayangkan bagaimana ekspresi dari kata-kata itu jika diucapkan di atas panggung.

Sesudah reading selama tiga puluh menit, mereka diajari untuk bermeditasi yang bertujuan untuk mengosongkan pikiran dan memasukkan karakter yang akan mereka perankan. Sepuluh orang yang memerankan drama ini duduk berjajar membentuk lingkaran sembari memejamkan mata. Mereka mendengarkan instruksi dari dosen akting yang akan membimbing dalam pertunjukan drama pada hari Sabtu ini.

Sesudah itu kesepuluh orang tersebut disuruh berdiri membentuk lingkaran dan memulai tahap selanjutnya. Beberapa mahasiswa tingkat akhir datang untuk membantu. Para mahasiswa tersebut membimbing mereka agar tidak salah dalam melakukan latihan hari ini.

"Kita senam wajah dulu setelah itu lanjut latihan gerak adegan." Dosen drama memberi tahu step by step apa yang akan dijalani oleh sepuluh pemeran drama.

"Tangan di pinggang, mulut maju ke depan lalu tarik ke samping kiri, kemudian buka mata sampai membulat sempurna. Biarkan sampai kening berkerut dan pandangan lurus ke depan." Bu dosen memberikan aba-aba.

"Jangan ada yang tersenyum karena kita tidak sedang melawak. Tatap wajah jelek dari teman kalian. Anggap itu wajah cacat dari lawan main kamu," lanjut beliau dengan nada serius. Tak ada yang berani membantah. Kesepuluh orang itu melakukan sesuai arahan.

Dosen paruh baya tersebut menghitung sampai delapan, lalu berkata lagi, "sekarang ganti, dalam posisi yang sama, mulut kalian, tarik ke kanan."

Mau tidak mau Mutia menatap wajah Lano yang ada di depannya. Ia menikmati pahatan sempurna ciptaan Sang Kuasa yang membentuk wajah tampan Lano. Meski dia memampilkan mimik jelek, tapi pria bertinggi 175 cm itu masih terlihat menarik di mata Mutia.

Sudah bisa dibayangkan bagaimana perasaan Mutia saat ini. Gembira, deg-degan bercampur gugup berpadu menjadi satu. Namun, dia bertekad menekan rasa gemetar yang membuncah demi aksi unjuk gigi pertamanya agar tak berantakan.

***

"Ratu, tunggu aku. Kita pasti akan hidup bersama lagi ketika aku sudah selesai menuntaskan misiku." Lano mengucapkan dialognya pada Mutia.

"Aku akan menunggu saat itu, Raja." Mutia juga membalasnya sesuai skenario.

"Stop! Gak ada feelnya. Kalian pernah pacaran nggak sih?!" Bu dosen melontarkan pertanyaan yang sulit untuk dijawab.

"Ingat, kalian itu peran utama. Beban kalian lebih berat daripada peran yang lain," lanjut dosen paruh baya itu.

Mutia hanya termangu. Lano pun begitu sama. Kedua menelaah dan mencari cara untuk bisa memerankan tokoh yang mereka mainkan.

"Jangan hanya mulut mengucap dialog. Pakai improvisasi dengan gerakan juga mimik wajah. Ingat itu!" Dosen drama itu memberi arahan untuk kedua pemeran utamanya.

"Kalian latihan sendiri. Temukan chemistry di antara hubungan raja dan ratu ini. Besok harus ada perubahan dengan adegan ini. Kalian rundingkan dialognya harus seperti apa gerakan juga sekalian mimik wajahnya. Eksplor imajinasi kalian. Mengerti semua!" Perempuan paruh baya itu memberikan petuahnya dan meninggalkan para mahasiswa baru yang ada di ruangan tersebut.

Kemudian Mutia dan Lano berlatih adegan mereka sendiri. Keduanya sangat canggung ketika harus menyentuh kulit atau bagian tubuhnya yang lain. Lano mengerti akan kekakuan Mutia.

"Boleh aku kasih saran?" ucap Lano dengan tiba-tiba. Ia memecah keheningan karena Mutia sibuk berlatih dialognya.

"Apa?" tanya Mutia singkat sembari melihat ke wajah tampan Lano dengan naskah yang ia tempelkan ke bibirnya. Hampir separuh wajah Mutia tertutupi lembaran kertas itu.

"Bagaimana kalau kita membiasakan memanggil sesuai nama peran kita. Tetapi, ini hanya sampai akhir drama aja. Supaya kita terbiasa," usul Lano yang terlihat sangat antusias.

"Oke, aku nggak keberatan," pungkas Mutia.

Kemudian Mutia dan Lano melanjutkan latihan mereka. Keduanya mulai terbuka satu sama lain dan mencoba untuk akrab demi keberhasilan drama yang mereka mainkan.

"Ratu, kayaknya kita harus lebih sering menghabiskan waktu bersama." Lano memberi saran lagi.

"Maksud kamu?" Mutia membalas dengan bertanya.

"Ya seperti yang dibilang dosen tadi, kita harus bangun chemistry agar hubungan kita dapat lebih dekat dan tidak canggung satu sama lain," papar Lano sambil menatap lembut manik kecoklatann lawan bicaranya.

"Baik aku setuju, jika ini baik untuk drama kita. Mengapa tidak, kita lakukan saja." Mutia sepaham dengan pemikiran Lano.

***

Saat pulang dari kampus pada hari itu, Lano mengantar Mutia sampai ke rumahnya. Keduanya memang sepakat untuk berlatih bersama di rumah Mutia pada pukul 18.00 malam.

Tepat di waktu yang sudah disepakati keduanya, Lano datang ke rumah Mutia dengan naik sepeda motor sport berbeda dengan tadi saat pria itu mengantarnya sepulang kuliah. Sungguh membuat dada Mutia semakin bergetar melihat kegagahan pria yang berada di hadapannya.

Sebisa mungkin gadis itu tak memperlihatkan betapa ia gugup saat harus bertatapan dengan Lano untuk berlatih bersama. Wangi tubuh Lano begitu membuat hati Mutia berdesir hebat. Rupanya dia memakai parfum yang berbeda. Saat di kampus tadi Lano menggunakan wangi beraroma mint, malam ini Lano memakai wewangian citrus. Keharuman yang segar itu begitu membuai Mutia.

Berulang kali Mutia menetralkan perasaannya dengan membaca naskah dialognya. Berusaha untuk konsentrasi. Namun, saat laki-laki itu mendekat ke arah Mutia, gadis itu kehilangan focus.

Oh, Tuhan. Ada apa dengan diriku? Apa ini yang dinamakan jatuh cinta?

Mutia bertanya-tanya dalam benaknya. Ia lalu mengembuskan napas dan menggelengkan kepalanya seolah mengusir jauh-jauh buah pikirnya. Lalu dia mengajak Lano untuk membahas seluruh adegan yang ada di 50 lembar naskah drama itu.

"Raja, ini beneran di skenario kita disuruh adegan kissing?" tanya Mutia di sela-sela mereka mendiskusikan tiap adegan dalam drama yang dia dan Lano mainkan.

"Dari yang aku lihat dari naskah ini sih kayak gitu. Emang kamu nggak tau tentang cerita putri salju yang diadaptasi di cerita ini?"

"Ya taulah. Aku cuma kaget aja, apa kita harus melakukan ini di depan banyak orang?" tanya Mutia yang enggan percaya dengan apa yang dia baca.

"Hanya ada satu solusi," ungkap Lano.

"Apa itu?" Mutia bertanya dengan antusias.

"Kita harus bisa profesional. Pisahkan mana yang tuntutan peran dan mana yang pribadi," ujar Lano memberikan solusi pada Mutia.

Ya, Tuhan. Apa aku bisa memainkan adegan ini? Mutia Kembali meracau dalam hatinya. Ia membayangkan bagaimana jadinya bila harus melakukan ciuman pertamanya dengan seorang laki-laki di depan banyak orang? Apalagi pria yang mencumbunya adalah Lano.

Berawal dari drama ini, benih-benih cinta antara Mutia dan Lano bersemi. Tak hanya Mutia yang merasakan bahwa dirinya telah terjerat pada pesona seorang Delano Fajar, Lano pun demikian. Setiap sikap malu-malu yang ditunjukkan Mutia selalu berhasil membuat Lano semakin jatuh ke pelukan lawan mainnya itu.

Kemudian nama panggilan Raja-Ratu ini mulai berubah menjadi King-Queen saat mereka mulai menjalin kasih. Padahal dulu keduanya sepakat hanya untuk disebut sampai drama selesai digelar. Jadi dari drama itulah asal muasal panggilan sayang di antara mereka.

- To Be Continued -

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel