Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 8. You Can’t Move Forward if You’re Still Hanging on.

Brakkk

Nathan membanting kasar pintu mobilnya. Pria itu turun dari mobil—dan melangkah masuk ke dalam apartemen pribadinya yang ada di Kawasan Park Avenue. Tampak raut wajah Nathan memendung kekesalan. Hari-harinya begitu sial setiap kali bertemu dengan Aubree. Keanehan, kegilaan, semua hal yang menyakut gadis itu membuat kepalanya nyaris pecah. Seperti tadi kala Aubree datang ke kantornya; gadis itu membuat masakan seperti membuat racun. Bagaimana bisa ada masakan dengan rasa seperti itu? Sungguh, apa sebenarnya kelebihan yang dimiliki gadis itu? Hanya lahir dari keluarga kaya sama saja tidak memiliki kelebihan apa pun!

Dan hari ini Nathan memutuskan tidak pulang ke mansion kedua orang tuanya. Bukan tanpa alasan tapi Nathan tidak mau ayah atau ibunya menanyakan perkembangan hubungannya dengan Aubree. Lebih tepatnya Nathan enggan mendengar nama itu lagi. Hari ini dia sudah muak bertemu dengan Aubree yang menunjukan segala kegilaan gadis itu. Dia tidak mau sampai harus kembali mendengar nama itu lagi. Membayangkan menikah dengan gadis yang tak waras bagaikan mimpi buruk untuk Nathan.

Ting.

Pintu lift terbuka. Nathan melangkah keluar dari lift, dan segera menuju unit penthouse miliknya. Namun tiba-tiba langkah Nathan terhenti kala melihat sosok pria dengan bertubuh tinggi tegap sama sepertinya. Ya, di depan Nathan adalah Justin—kakaknya. Sepasang iris mata cokelat gelap Nathan menatap lekat Justin.

“Ada apa kau ke sini, Kak?” tanya Nathan dengan raut wajah yang masih kesal. Pikiran yang kacau.

“Ada yang ingin aku bicarakan padamu,” jawab Justin dingin dengan raut wajah tanpa ekspresi.

“Masuklah.” Nathan berucap dengan nada datar. Dia segera memasukan password penthouse-nya. Lalu mengajak Justin untuk masuk ke dalam penthouse miliknya. Pun Justin melangkah bersama Nathan masuk ke dalam.

Saat tiba di ruang tamu, Nathan mengambil dua gelas sloki dan satu botol wine yang ada di lemari minuman. Kemudian pria itu menuangkan wine ke dua gelas sloki dan memberikan salah satunya pada Justin.

“Thanks.” Justin mengambil gelas sloki yang diberikan oleh Nathan, dan disesapnya perlahan.

“Apa yang ingin kau bicarakan padaku?” Nathan duduk di hadapan Justin dengan tangan yang masih memegang gelas sloki.

“Aku sudah mendengar Dad dan Mom menjodohkanmu dengan putri Keluarga Randall.” Justin menatap lekat Nathan. Aura tegas begitu terlihat di wajahnya. “Well, kemarin aku sudah mencari tahu sosok Aubree Randall. Gadis itu terkenal dengan tangan besi dalam memimpin perusahaan keluarganya setelah kepergian Hoshea Randall. Kau mendapatkan gadis yang tangguh dan hebat dalam dunia bisnis, Nathan. Harusnya Aubree cocok denganmu.”

Nathan mengembuskan napas kasar mendengar ucapan Justin. Baru saja dia menghindari kedua orang tuanya karena tidak mau membahas Aubree. Tapi nyatanya kakaknya datang untuk membahas Aubree. Entah sampai kapan orang-orang yang ada disekitarnya membicarakan tentang Aubree. Banyak yang memuji gadis itu. Tetapi di mata Nathan; Aubree Randall tak memiliki satu pun kelebihan. Randall Group hanyalah peninggalan dari ayah gadis itu. Andai saja gadis aneh itu lahir dari keluarga sederhana, bisa dipastikan kehidupan gadis aneh itu tak memiliki fungsi sama sekali.

“Apa semua keluarga kita sudah tahu aku dijodohkan?” tanya Nathan dengan nada dingin, dan tersirat menahan kesalnya.

Justin mengangguk. “Ya, semua sudah tahu.”

Nathan menegak wine-nya kasar. Awalnya yang tahu perjodohan ini memang baru kedua orang tuanya saja. Tapi dia tidak menyangka berita sudah tersebar luas. Seluruh keluarganya sudah tahu tentang perjodohan sialan ini. Semakin rumit karena Nathan tumbuh di keluarga besar. Di mana kedua orang tua atau pun kakek dan neneknya masih sering ikut campur.

“Aku tidak mencintainya. Dia bukan wanita yang aku inginkan,” ujar Nathan dingin. Nada bicaranya begitu tegas, dan penuh penekanan. Nathan tak mau berbohong. Dia memang tidak menginginkan Aubree. Sama sekali tidak.

Sebelah alis Justin terangkat mendengar ucapan Nathan. Pria itu menyilangkan kaki kanannya, bertumpu pada kaki kirinya. “Lalu siapa yang kau cintai? Kylie Alessio?” tukasnya menyindir sarkas adiknya itu.

“Berhenti menyebut namanya!” geram Nathan penuh dengan emosi kala kakaknya itu menyebut nama itu. Nama yang sudah tak lagi mau Nathan dengar.

“Kau tidak mau mendengar namanya?” Justin mengulangi ucapan Nathan seraya menggerakan gelas sloki di tangannya. Senyuman simpul di wajah Justin terlukis. “Kenapa apa yang kau ucapkan dengan kenyataanya berbeda, Nathan? Kau tidak mau lagi mendengar namanya tapi kemarin ketika aku sedang tidak sengaja menunggumu di ruang kerjamu, aku melihat kau masih membaca artikel tentang kehidupan Kylie Alessio. Ini yang kau katakan sudah melupakannya?”

Nathan bungkam kala mendengar ucapan Justin. Ya, Kylie Alessio adalah wanita yang sejak dulu ada di hati Nathan. Kini Kylie telah menikah dengan seorang pengusaha ternama asal London sekaligus anak dari Perdana Menteri. Bahkan terakhir Nathan pun membaca di artikel Kylie telah memiliki seorang putra. Harusnya Nathan menata hidupnya. Dia mencintai wanita yang tak pernah mencintainya. Tapi kenyataan yang Nathan dapatkan dia masih terbelenggu pada perasaan yang sangat dia benci ini.

“Jangan membahasnya. Apa yang kau lihat hanya kebetulan. Aku tidak sengaja membaca artikel tentang Kylie,” ucap Nathan yang enggan kakaknya membahas tentang Kylie Alessio.

Justin mengangguk-anggukan kepalanya seolah memercayai ucapan adiknya itu. “Nathan, kita bukan lagi remaja yang merasakan cinta pada pandangan pertama. Jika Dad dan Mom sudah memberikan wanita yang terbaik untukmu, tugasmu cukup menjalani saja. Karena cinta tidak akan datang pada detik itu juga. Seiring berjalannya waktu, kau akan mulai mencintai pasanganmu. Aku yakin, Dad dan Mom tidak mungkin memilihkan gadis sembarangan untukmu. Kylie sudah menemukan kebahagiaanya. Sekarang kau juga harus menemukan kebahagiaanmu. Aku tidak mau kau masih hidup dalam bayang-bayang masa lalumu. You can’t move forward if you’re still hanging on, Nathan.”

Nathan terdiam beberapa saat kala mendengar ucapan Justin. “Aku tahu apa yang terbaik untuk hidupku. Kau tenang saja. Tidak usah memikirkanku,” ucapnya dingin.

“Alright. Aku harus pulang. Istri dan anak-anakku sudah menungguku.” Justin meletakan gelas sloki ke atas meja. Lalu dia bangkit berdiri. Sebelum pergi, Justin menatap lekat Nathan. “Besok aku memiliki meeting penting di The Mark Hotel. Tolong gantikan aku meeting. Besok pagi aku harus ke Los Angeles karena harus menggantikan Dad meeting.”

Nathan mengangguk singkat merespon ucapan Justin. Kemudian, Justin mulai melangkah meninggalkan penthouse milik Nathan. Nathan bergeming. Pria itu terus menatap punggung Justin yang mulai lenyap dari pandangannya. Tampak pancaran mata Nathan mengingat apa yang dikatakan oleh kakaknya itu. Terutama dikala Justin mengatakan ‘You can’t move forward if you’re still hanging on.’ Sebuah kalimat yang membuat Nathan tersadar bahwa dirinya masih terpenjara dengan perasaan sialan yang dia benci ini. Perasaan di mana dia ingin memusnahkan sejak lama. Namun, kenyataannya perasaan itu masih tetap ada. Bahkan belum ada satu pun yang mampu merobohkan dinding pertahanan di hatinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel