Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

4

Haruskah pulang?

Ingin rasanya Berlian tertawa dengan keadaannya saat ini. Untuk pulang ke rumah saja rasanya begitu takut. Bagaimana tidak? Dia sudah membayangkan bagaimana raut wajah ibu dan saudara tirinya. Wajah yang judes pasti sudah menanti di balik pintu. Semoga saja kali ini tidak ada bentakan ataupu sebuah pukulan.

“Kalau aku kena marah, ya sudah. Memang mau bagaimana?” Berlian menghela napas seraya bersandar pada jok taksi belakang.

Sampai di rumah, dugaan Berlian benar adanya. Dua orang bengis itu sudah menunggunya. Bukan di balik pintu, melainkan di teras rumah. Jangan ditanya bagaimana rupa mereka sat ini, tentu saja sangat mengerikan. Berlian sampai menunduk dan menggigit bibir bagian bawah.

Sambil melipat kedua tangan di depan dada, Lina mendekat. Dia menatap Berlian dari ujung kaki hingga ujung kepala. Berikutnya ia mendecih melihat wajah Berlian yang tampak berkeringat. “Bagaimana?”

Satu pertanyan singkat yang membuat Berlian menelan ludah dengan cepat. Bibirnya terasa kelu untuk menjawab.

“Kenapa diam?” Linda ikut maju menbuat Berlian semakin menciut. “Apa kamu tuli?” imbuhnya.

Berlian memejamkan mata rapat-rapat sebelun kemudian mendongak. “Mereka tetap akan melanjutkannya.”

“Apa!” Lina membulatkan mata. “Bicaralah yang jelas. Apa kali ini kamu bisu?”

Puas sudah Berlian mendengar cacian sepanjang hari ini.

“Kamu jangan main-main ya?” serobot Linda sambil mendorong dada Berlian. “Kami tahu kamu sedang menipu kan?”

Berlian menggeleng kuat. “Tuan Brian tidak mau membatalkannya. Aku tidak bohong. Aku bahkan sudah bicara dengan Nyonya Ratu.

Lina dan sang ibu saling pandang. Mereka menahan gejolak di dalam dada. Rahang mengeras dan tidak tahu harus bagaimana.

“Sialan!” seru Lina saat kemudian. Dia kembali mendorong Berlian. “Bodoh!” Lanjutnya.

Tampilan Berlian benar-benar sedah berantakan. Rambt panjangnya sudah tidak tertata seperti semula. Keringatny semakin banyak dan badan gemetaran. “Aku minta maaf. Tapi aku sudah bicara. Sungguh!”

“Pembohong!” sembur Lina.

Berlian mulai tidak tahan dalam situasi seperti ini. Jelas sekali dirinya enggan menikah dan mulanya tidak tahu apa-apa, tapi kini semua tersa menyalahkanny dengan memaki tidak jelas.

Berlian kemudian mendongak. Ia menahan napasnya beberapa saat lalu berembus dan mulai membuka mulut. “Aku sudah menjelaskan semuanya. Jika kalian tidak paercaya maka temui mereka sendiri. Bicaralah dengan mereka.”

Mereka berdus masih terdiam, dan Berlian kembali melanjutkan kalimatnya. “Dan kalian juga tahu kalau aku belum ingin menikah. Jadi cukup sudah jangan terus menyalahkanku.”

Napas Berlian naik turun menandakan dia benar-benar merasa lelah. Ia merasa muak hingga detik akhir perdebatan, Berlian berani bicara dengan lantang. Kemudian Berlian berlari menuju kamarnya meninggalkan mereka berdua. Berlian memilih menjauh lebih dulu dari pada perdebatan terus berlanjut.

Begitu sudah sampai di kamarnya yang cukup sempit, Berlian langsung membanting tubuhnya di atas ranjang. Dia mengubah posisi ke tengkurap lalu beralih miring ke kanan. Ada rasa kantuk dan juga lelah menyapa. Dua bola mata indah tampak merah dan mulai berkaca-kaca. Ia sudah tidak bisa lagi menahannya. Air mata aitu tumpah begitu saja membanjiri wajahnya hingga perlahan jatuh juga mengenai seprei.

Berlian menutup matanya sesaat, kemudian perlahan bangun. Ia duduk melipat kedua kakinya lalu perlahan mengusap wajahnya yang basah. Ia menghela napas. Perasaannya cukup tenang setelah menangis. Lega, tapi tidak terlalu.

Berlian memalingkah pandangan ke arah samping. Ia mendapati benda persegi dengan kaca bening di bagian depan. Kemudian ia turunkan kedua kakinya dan satu tangannya merai benda tersebut. Saat benda itu sudah berada dalam genggaman, Berlian kembali naik ke atas ranjang. Ia tersenyum menatap benda tersebut. Bibirnya tampak tersenyum tipis. Sebuah senyuman yang menandakan ia tengah rindu berat dengan seseorang dalam bingkai itu. Siapa lagi kalau bukan foto sang ibu. Bidadari cantik yang menemani Berlian dengan waktu yang sangat singkat.

Belum sempat Berlian mengajak foto ibunya bicara, seseorang di luar sana mengetuk pintu kamarnya. Ketukan itu berhenti saat Berlian menoleh, tapi dilanjut dengan suara memanggil namanya.

“Berlian, ini ayah. apa boleh masuk?”

Kening Berlian spontan berkerut. Ia lantas melompat dengan cepat dari atas ranjang, lalu mengembalikan bingkai foto ibu pada tempatnya. Sebelum membuka pintu, Berlian memastiakan lebih dulu apakah masih ada sisa air mata atau tidak. Setelah yakin, barulah ia berjalan ke arah pintu.

“Ya, sebentar,” sahutnya.

Berlian mebukakan pintu, tapi hanya setengah. “Ada apa, Yah?” suara itu terdengar lemah dan enggan.

Melihat dari raut wajah sang putri, Redrik sudah bisa menebak kalau Berlihan pasti baru saja menangis. Matanya merah dan sedikit membengkak. Suaranya pun terdengar parau meski bicara lirih.

“Kenapa menangis?” tanya Redrik.

Berlian menggeleng tanpa memberi jawaban.

“Berlian, semua baik-baik saja kan?” Redrik kembali bcara sampai menepuk Pundak Berlian.

Diam-diam Berlian mengamati wajah ayahnya dalam-dalam. Ia mencoba masuk ke dalam pikiran ayahnya, berharap bisa mengerti kenapa ayah sampai mebiarkan ada orang asing yang melamarnya. Terus menatap hingga membuat sang ayah merasa bingung, Berlian tidak sadar kalau air matanya kembali berjatuhan.

“Astaga,” desah Redrik yang lansung menghambur memeluk Berlian saat itu juga.

“Ayah!” tumpah sudah air mat aitu semakin deras. Berlian sesenggukan tidak karuan. Begitu erat pelukannya, deras pula air matanya.

Masih dalam dekapan, Redrik membawa Berlian masuk ka dalam kamar. Perlah Redrik mendudukkan sang putri di bibir ranjang. Kedua tangan Berlian yang gemetaran Redrik genggam, lalu air mata yang masih mengalir itu ia usap.

“Apa yang terjadi? Apa semuanya baik-baik saja?” tanya Redrik.

Apa yang baik-baik saja? Hari ini benar-benar kacau. Mendapat lamaran dari orang asing, lalu mendapat makian yang lebih kejam dari ibu dan saudara tirinya, tentu saja itu tidak baik-baik saja. Sedih, kecewa dan takut, semua bercampur jadi satu.

Redrik menepuk Pundak Berlian yang sedari termenung. “Sayang ….”

Berlian mengusap wajahnya. “Untuk apa aku bercerita? Memang ayah bisa membantu?”

Redrik menelan ludah. Ia seperti baru saja merasakan sebuah tamparan tanpa sentuhan. Tidak salah Berlian mengatakan begitu, karena pada dasarnya memang Redrik tidak bisa berbuat apa-apa. Namun, Berlian harus tahu kenapa ayah melakukan semua ini. Maksudnya tentang lamaran yang mendadak. Hal itu memiki sebuah tujuan.

“Apa ayah tidak menyayangiku?”

Pertanyaan itu membuat Redrik ukup tersentak. “Tentu saja ayah menyayangi kamu”

“Kenapa ayah membiarkanku seperti ini? Membiarkan mereka menyakitiku?”

Menyangkut pertanyaan itu, Redrik lagi-lagi tidak memberi jawaban. Sudah beberapa kali Redri menjelaskan waktu itu, tapi itu tidak mudah untuk Berlian.

“Kamu tahu kenapa ayah diam.”

Ya, Berlian tahu. Sangat tahu meski terkadang memilih pura-pra tidak tahu karena ingin sekali sesekali mersa dipedulikan di hadapan ibu dan saudara tirinya. Namun, itu tidaklah membantu. Sebuah pekerjaan yang harus Redrik pertahankan supaya semua tetap berjalan semestinya. Apa yang ada di sini mungkin milik Redrik, tapi semua bermula dari modal yang keluarga Linda berikan.

“Berlian lelah, Ayah. Berlian tidak mau seperti ini terus.”

Redrik mengusap pipi Berlian dengan begitu lembut. “Itu kenapa ayah ingin kamu segera menikah, Sayang.”

Kening Berlian berkerut. “Apa hubungannya dengan menikah? Ayah bahkan tahu aku masih ingin berkerja.”

Ini sedang membicarakan apa dan ayah beralih topik kemana, membuat Berlian jadi bingung.

“Ayah akan senang kalau kamu menikah. Ayah menerima lamaran itu bukan tanpa alasan.”

Berlian masih menatap heran. “Apa maksud ayah?”

“Ayah senang karena Nak Brian akhirnya memeilih kamu.”

Ada ap aini? Apa maksudnya? Berlian masih tidak mengerti. Menikah? Bahkan Berlian malah mersa hal ini akan semakin memperburuk keadannya.

“Aku masih tidak mengerti, ayah. Katakan saja dengan jelas,” pinta Berlian.

“Ayah hanya ingin kamu bebas. Ayah tidak bisa melindungimu di sini. Mungkin dengan menikahkan kamu dengan keluarga yang tepat, kamu akan Bahagia dan di hargai,” ujar Redrik.

“Bebas? Bebas apa maksud ayah?” tanya Berlian.

Redrik menghela napas lalu perlahan kembali bicara. “Ayah akan terus merasa bersalah jika kamu berada di tengah keluarga ini. Ayah ingin mereka berhenti menggangumu, dan inilah cara satu-satunya. Yaotu dengan kamu menikah.”

“Dari mana ayah tahu aku akan Bahagia jika menikah? Aku bahkan sama sekali tidak mengenal keluarga itu.” Berlian masih menatap ayahnya.

“Percayalah, ayah sudah mengenal keluarga itu dengan baik.”

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel