Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3

Semua mata tertuju pada sosok yang masih tertunduk. Suasana terlihat tidak baik-baik saja saat ini setelah kepulangan keluarga Sanjaya. Lamaran mendadak itu membuat seisi rumah terasa tidak begitu nyaman. Linda, Lina dan Berlian begitu tegang, tapi berbeda dengan Redrik. Redrik terlihat biasa saja bahkan malah bisa dikatakan sangat santai. Jika di pandang dalam-dalam akan tampak senyum tipis di sana.

Cukup puas menatap Berlian yang tertunduk, Lina menghampiri Berlian. Dengan cepat dia meraih dagu Berlian hingga spontan mendongak. Tatapan itu begitu menusuk membuat Berlian tidak berani menatap terlalu lama.

Di sofa lain, Redrik duduk diam dan membuang muka. Dia kepala keluarga, tapi seperti tidak bisa berbuat apa-apa. Sering kali ia membiarkan Berlian mendapat perlakuan buruk dari ibu dan saudara tirinya.

“Aku minta maaf,,” ucap Berlian dengan sangat lirih. Ia cukup kesusahan karena tangan Lina maih mencengkeram dagunya.

“Kamu sengaja kan?” Lina melepas cengkeraman itu dengan cepat, membuat Berlian terlempar ke samping. “Wanita sok polos!”

Berlian mengalihkan pandangan ke arah ayahnya. Ia menatap penuh harap agar ayahnya membantu dirinya menenangkan Lina dan juga ibunya. Namun seperti biasanya, ayah hanya diam seolah tidak peduli. Di mana kekuasaan seorang pria berstatus kepala keluarga? Redrik selalu mengalah pada sang istri hingga lupa cara melindungi sang putri.

“Apa kamu tahu?” Lina Kembali menatap Berlian. “Kamu tidak jauh berbeda dengan ibumu.sama-sama Wanita penggoda!”

Itu terdengar sangat kasar, tapi tetep saja Berlian hanya diam. Jangan tanya bagaimana reaksi Redrik. Meski kalimat itu mengejutkannya, tetap kenyataanya dia tidak bisa berkutik karena sang istri trus saja menatapnya dengan tajam. Sekalipun Berlian bertriak meminta pertolongan, tidak ada yang peduli. Mau seperti apa pun, beginilah kehidupan Berlian.

Cukup lama trtunduk, Berlian kini menatap ibu dan saudara tirinya bergantian. “Aku akan bicara dengan keluarga Sanjaya. Aku akan meminta mreka untuk membatalkan lamaran, pernikahan atau apa pun itu..”

Linda dan Lina saling tatap lalu bersamaan menoleh ke arah Berlian. “Kamu yakin?” Lina Kembali mencengkeram dagu Berlian.

Berlian spontan mengangguk mantap membuat Lina tersenyum penuh seringaian puas.

“Berlian …” lirih Redrik setelah sepanjang perdebatan hanya terpaku diam.

Dengan cepat Berlian bangkit lantas bersimpuh di hadapan ayahnya. “Biarkan aku menemui keluarga Sanjaya.”

“Mereka sudah memilih kamu, Berlian.”

Linda Kembali memberi pelototan tajam pada suaminya.

“Tapi ayah tahu kalau aku belum siap menikah, kan?” Berlian mengguncang lengan ayahnya. “Biarkan aku menemui mereka. Katakana saja di mana rumahnya.”

Redrik menghela napas. Sebelum menjawab permohonan sang putri, Redrik lebih dulu menata Linda dan Lina bergantian. “Baik kalua itu mau kamu.”

Ucapan itu membuat Linda dan Lina tersenyum lega.

Redrik menatap Berlian. “Ayah akan ijinkan kamu menemui mereka, tapi dengan satu syarat.”

Suasana Kembali menegang.

“Kamu boleh bicara dengan mereka, tapi jika mereka tidak mau membatalkan semuanya, ayah tidak bisa berbuat apa-apa lagi.”

“Apa maksud ayah?” salak Lina. “Tidak bisa begitu dong!”

“Hei!” Linda menepuk Pundak sang suami. “Apa maksud kamu?”

“Semua keputusan ada di tangan keluarga Sanjaya. Aku tidak mungkin berani melawan mereka. Kamu tahu maksudku kan?”

Redrik berdiri dan mendekatkan wajah kea rah sang istri lalu pergi begitu saja. Ia sempat mengatan pada Berlian di mana alamat rumah keluarga Sanjaya seraya berjalan menjauh.

Linda dan Lina Kembali saling menatap. Meski kurang setuju dengan keputusan Ayah, tapi hanya ini jalannya.

Berlian berdiri, ia usap wajahnya yang terasa panas, gerah tidak karuan. Ia ingat-ingat Kembali alamat yang ayah ucapkan kemudian beranjak pergi usai mengambil dompet dan ponselnya.

Sekarang semua terasa aneh. Berlian merasa hidupnya sedang dalam ancaman. Ia sampai tidak merasakan sengatan matahari yang begitu panas siang ini. Ia baru tersadar dari lamunannya setelah taksi yang ia pesan muncul.

Sekitar satu jam lebih, barulah Berlian sampai di rumah mewah milik Sanjaya. Rumah yang sangat besar. Mungkin lima kali lipat dari rumahnya besarnya. Kebetulan pintu gerbang sedang dibuka. Berlian menyapu pandangan, tapi tidak menemukan siapa pun. Kedua kaki jenjangnya terus melangkah dan sampailah di depan pintu.

Baru saja hendak mengetuk pintu yang tinggi dan lebar itu, tiba-tiba saja pintu terbuka. Seseorang dari dalam sana muncul membuat Berlian tercengang.

“Kamu?” terkejut melihat Berlian, Brian beralih menyapu pandangan sesaat. “Sedang apa di sini?” tanyanya.

Berlian tidak mendengar ucapan Brian. Saat ini masih menutup wajah dengan kedua tangannya. Pandangan yang tepat di hadapannya membuatnya harus segera menutup mata rapat-rapat.

“Ma-maaf.” Kini Berlian berbalik badan.

Brian mengerutkan kening lalu menunduk. Kini ia baru sadar kalau saat ini hanya memakai celana kolor dan bertelanjang dada. Tetap saja Brian acuh membiarkan Berlian melihatnya jika mau.

“Sedang apa kamu di sini?” tanya Brian.

Berlian berbalik badan karena Brian memtarnya dengan cepat. Dada bidang di hadapannya membuat siapa pun pasti akan menelan ludah. Dan sebelu hal itu menghasut otaknya, Berlian segera bergidik.

“Aku hanya ingin tuan membatalkan semuanya.”

Kalimat itu terucap dengan begitu cepat.

Brian malah menyeringai. “Aku malah berniat mempercepat pernikahan kita.”

“Apa!” seketika Berlian membelalak, tapi segera mengatup saat matanya harus ia jauhkan dari dada bidang di hadapannya. “ Maaf, Tuan,” katanya kemudian.

“Aku tidak main-main dengan lamaranku. Dan kamu….!” Brian menunjuk hingga menyentuh kening Berlian. “Kamu tidak ada hak untuk menolak. Paham?”

Berlian berjalan mundur menjauh dari tatapan Brian. Ia sampai menelan ludah menahan gugup dan juga panik.

“Aku sudah memutuskan. Maka tak ada satupun yang bisa mengubahnya,” gumam Brian saat Kembali masuk ke dalam rumah, membiarkan Berlian sendirian.

“Siapa yang datang, Ian?” tanya Ratu.

Brian tidak menjawab, hanya sebatas menunjuk saja. Hal itu tentu membuat Ratu penasaran. Dan Ketika Berlian berniat pergi, Ratu langsung meraih lengannya.

“Berlian? Kenapa tidak masuk?” tanya Ratu. “Apa Brian melarangmu masuk?”

Berlian tersenyum getir. Saking bingungnya ia sampai menggaruk tengkuknya sendiri yang tidak gatal. “Anu .. aku Cuma…”

Ratu masih menunggu.

“Aku hanya berniat berkenalan dengan Brian.”

Astaga! Apa yang baru saja aku katakan? Kenapa malah melenceng jauh? Sial!

Seketika Ratu tersenyum. “Aku akan suka jika kamu menjadi menantuku.”

Harus apa sekarang? Lari? Tentu saja tidak mungkin. Berlian hanya bisa termenung. Bahkan selama perjalanan pulang, otak Berlian masih saja kepikiran. Ia juga membayangkan apa yang akan terjadi nanti sesampainya di rumah nanti. Namun, rasa khawatir itu nyatanya kalah dengan kalimat yang diucapkan oleh ibu Brian.

Menjadi menantu? Kenapa aku?

Dengan mudahnya mereka memutuskan sebuah pernikahan bahkan tanpa perkenalan tterlebih dahulu. Yakinlah, mungkin ini lelucon. Ya Tuhan!

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel