5
Tidak ada yang memberi kesempatan sama sekali. Tidak ada kata mundur dan Berlian mau tdak mau hari ini akan dipersunting seorang pria yang melamarnya secara mendadak. Tuan Brian,. Ya, itu Namanya.
Semua tampak lancer tanpa hampatan sedikit pun. Pengucapan ikrar janji sici dilantunkan dengan begitu tenang dan nyama di dengar. Tepuk tangan keluarga juga terdengar penuh syukur. Namun, ada hal janggal di sini. Selesai dari hal sacral, Berlian tidak melihat kebaradaan Brian di gedung ini. Semakin aneh pula saat suasana yang suci hanya cukup dihadiri ayah dan ibu dari masing-masing mempelai.
Ada apa ini? Apa ini yang Namanya pernikahan rahasia?
Keluarga Sanjaya begitu kaya raya. Rasanya akan sangat tidak mungkin jika melangsungkan pernikahan sederhana. Bukan maksun Berlian ingin pernikahan yang megah, hanya saja ini sangat terasa aneh. Dan di mana bunga-bunga atau dekorasi indah yang biasanya menghiasi gedung pernikahan? Tidak ada.
Meski Brian mengucapkannya dengan sangat lancer tapi eksprsi wajahnya yang datar tidak bisa disembunyikan. Lain saat terakhir bertemu, Brian begitu tampak antusias menggoda Berlian, tapi ini tidak. Haha! Lucunya sekarang pria itu malah menghilang entah kemana.
Berlian kemudian menepis semua pikiran macam-macam yang menghantui otaknya sedari tadi. Ia harus terfokus pada acara yang sejujurnya belum usai. Berlian mendapat sebuah pelukan dan ucapan selamat dari dua orang yang kini sudah menjadi mertuanya. Senyum lebar dan Bahagia tampak jelas menghiasi wajah mereka, tapi tidak dengan Berlian. Berlian hanya bisa tersenyum tipis.
Satu kecupan mendarat sempurna di kening Berlian. “Selamat, sayang. Semoga kamu Bahagia.”
Selanjutnya Redrik mendekat. Ia coba tetap tenang meaki rasanya ingin sekali menangis. Redrik kemudian memeluk sang putri dengan erat. “Kamu akan baik-baik saja, Sayang,” bisik Redri.
Redrik kemudian mundur melepas pelukan itu. Ia tidak berani menatap wajah Berlian saat ini. Ia takut sang putri akan menangis.
“Kami pamit. Jaga Berlian untukku.” Redrik menatap besannya itu penuh harap.
Sekarang Redrik mempercayakan sepenuhnya sang putri Bersama keluarga baru. Meski cukup khawatir, Redrik lebih percaya Berlian aka naman jika Bersama mereka.
Dimas tersenyum dalam artian meyakinkan Redrik bahwa Berlian akan aman bersamanya.
Setelah mersa yakin, Redrik kemudian berbalik badan. Ia hanya sekilas menatap Berlian sebelum pergi. Tidah jauh darinya, istri ddan sang putri sudah menunggu dengan wajah masam.
Saat langkah ayah semakin jauh, jelas sekali Berlian menitikkan mata. Ia tidak ingin ditinggal, tapi tidak mungkin. Inilah keluarga baru Berlian. Setelah sang ayah dan ibu juga saydaranya sudah tidak terlihat, Berlian teringat lagi dengan sosok Brian yang tak kunjung muncul.
“Berlian … kamu baik-baik saja?”
Berlian terjungkat saat mendapat sebuah tepukan tangan di pundaknya.
“Maaf, Nyonya, aku ….”
“Jangan panggil aku ‘nyonya’, aku ini ibumu sekarang.” potong Ratu.
“Maaf,” lirih Berlian.
Ratu tersenyum lantas meraih tangan Berlian. “tidak apa-apa. Kita pulang sekarang.”
Berlian melihat mertuanya seperti menyembunyikan sesuatu, tapi untuk bertanya tidak Berlian lakukan. Ia baru di sini, rasanya akan lancing kalau tiba-tiba bertanya.
Sekitar setengah jam, Redrik Bersama istri dan sang putri baru saja sampai. Tidak ada kegiatan yang menbuatnya mengeluarkan banyak tenaga, tapi Redrik mengalami rasa lelah. Tubuhnya tersa lemah, seperti enggan bergerak.
Ketika Redrik baru saja duduk bersandar, Lina juga ikut duduk. Dia membuang napas bosan dengan sedikit memberi lirikan kea rah ayahnya.
“Apa?” sungut Redrik.
Lina mendecih dan membuang mata jengah. “Kenapa nadanya kasar begitu?”
Linda ikut duduk di samping sang suami lantas berdecak. “Putrimu Cuma bertanya, kenapa kamu sampai sewot begitu?”
“Aku lelah.”
Linda tertawa getir. Bibirnya tampak menyeringai sengit setelahnya. “Lelah kenapa? Hari ini kamu sedang bahagia suamiku. Tidak usah pura-pura begitu.”
“Apa maksud kamu?”
“Tidak usah pura-pura, Ayah,” sambung Lina. “Ayah sedang Bahagia karena Berlian menikah dengan orang kaya kan?”
Redrik diam. Ia memilih terfokus ke arah lain.
Tiba-tiba Linda berdehem. Raut wajahnya terlihat serius. “Ngomong-ngomong soal kaya raya, sepertinya ada yang aneh.”
Lina spontan menoleh, sementara Redrik masih termenung.
“Apa maksud ibu?” tanya Lina.
Linda menepuk paha sang suami cukup keras. “Suamiku!” panggilnya.
“Hmm.”
“Apa kamu tidak merasa aneh?”
“Apanya yang aneh?”
Belum sempat bicara, Lina menyerobot. “Aku kedalam dulu. Haus.”
Linda mengangguk kemudian terfokus lagi pada sang suami.
“Aku merasa ada yang aneh dengan acara pernikahan Berlian.” Linda kembali bicara.
“Tidak usah berpikiran macam-macam.” Redrik berdiri.
Berbarengan dengan Redrik yang hendak melenggak, Lina muncul. Dia menggenggam botol minuman. Sebelum ayahnya benar-benar melangkah, Lina melanjutkan kalimat yang dilontarkan oleh sang ibu.
“Apa ayah benar-benar tidak merasa ada keanehan?” Lina lantas duduk. “Mereka itu sangat kaya, kenapa pernikahan itu sangat sederhana? Bukan lagi sederhana, tapi tepatnya seperti keluarga yang tidak mampu.”
Redrik menghela napas seraya mengusap wajahnya. “Tidak perlu berpikiran yang macam-macam. “
Setelah berkata demikian, Redrik langsung pergi meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Memang aneh? Tapi Redrik mencoba untuk berpikiran tetap positif saja. Ia mengibas-ngibas wajahnya beberapa kali supaya otaknya kembali terasa dingin.
“Sepertinya ayah menyembunyikan sesuatu,” celetuk Lina.
Linda merebut minuman botol dari tangan Lina lantas meneguknya hingga menghabiskan setengahnya. Setelah itu ia bersendawa dan mengoperkan kea rah Lina lagi.
“Bukan ayah menyembunyikan, tapi menurut ibu ayahmu juga tidak tahu apa-apa. Mungkin saja keluarg Sanjaya sudah bangkrut atau memang dasarnya miskin.”
Lina kini mengangguk-angguk saja. Ia juga berpikir begitu, dan artinya ia cukup beruntung karena tidak jadi dipersunting keluarga Sanjaya. Meski Brian tampan, kalau tidak kaya untuk apa?
***
Berlian kini berdiri di halaman luas yang beberapa hari yang lalu pernah ia pijak. Di hadapannya tampak rumah besar bak istana yang tentu sangat mengagumkan. Berlian termenung untuk sesaat. Dia mengingat bagaimana acara pernikahannya yang sangat sepi. Tidak mau berpikir macam-macam, mungkin keluarga ini hanya ingin acara yang cukup sederhana saja. Lalu, di mana Brian?
Adakalanya Berlian ingin bertanya, tpi ia sadar masih orang baru di sini.
Ratu menepuk Pundak Berlian yang masih melamun. “Ayo masuk, Sayang.”
Berlian mengangguk. Ia nurut saja saat mertuanya mengajak masuk ke dalam. Ratu langsung mengajak Berlian menuju ke kamar. Sebuah kamar yang akan menjadi milik Berlian dan Berlian pastinya.
Ketika pintu kamar terbuka, Berlian masih tampak biasa saja, tapi saat Ratu mengajak masuk, Berlian langsung tercengang. Bola matanya yang indah kini sudah membulat sempurna. Saat ini Berlian akan langsung membandingkan kondisi kamarnya yang dulu dengan sebuah kamar yang kini berada di hadapan matanya.
Besar, Luas, Indah dan … ah, Berlian tidak bisa berkata apa-apa.
“Apa kamu menyukainya?” tanya Ratu.
Berlian tersenyum tipis seraya mengangguk. Harus jawab apa? Mungkin Berlian begitu kagum dengan nuansa di kamar ini, tapi nanti … apa masih begitu? Bagaimana saat Brian datang?
Mata Berlian perlahan menatap sebuah papan besar dengan busa beselimut seprei merah di atasnya. Ia menggidikkkan wajahnya perlahan supaya otaknya tetap bisa berpikir positif. Namun sayangnya itu tidak bisa. Ranjang luas itu membuat pandangan Berlian seolah sedang melihat Brian di sana.
“Sekarang kamu istirahat dulu. Ibu akan bangunkan kamu nanti.”
Lagi-lagi Berlian hanya bisa mengangguk.
Sebelum ke luar meninggalkan kamar tersebut, Ratu mengusap lengan Berlian. “Tenang saja, sebentar lagi Brian akan kembali.”
Sampai di lantai bawah lagi, Dimas masih berdiri menunggu sang isrti. Ia menebak sang istri tengah mersa gelisah saat ini.
“Brian?” tanya Dimas.
Ratu mengangguk.
Dimas membuang napas berat lalu merangkul sang istri. “Semua akan baik-baik saja.”
Ketika mereka hendak melangkah menuju kamar, terdengar seseorang datang. Mereka berdua menoleh secara bersamaan. Ada rasa lega ada juga rasa kesal saat melihat siapa yang datang.
“Kamu masih ingat rumah ternyata?” cibir Dimas. “Dari mana saja kamu?”
Brian menyugar rambutnya ke belakang. Wajahnya terlihat lusuh dan lelah.
“Kamu tuli?” cerca Dimas lagi.
“Aku lelah, ayah. Kita bicarakan besok saja.”
“Brian!” suara Dimas spontan meninggi. Dengan sigap Ratu langsung meraih lengan sang suami supaya tenang. Ia tidak mau kalau sampau Berlian dengar dan tidak nyaman.
***
