2
Setelah pembicaraan satu minggu yang lalu, Berlian jadi lebih focus lagi mencari pekerjaan. Ia berpikir jika suatu saat memang harus mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri. Namun kali ini Berlian merasakan perasaannya sedikit tidak enak. Ayah seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Di depan cermin, bahkan Berlian sampai melamun.
Dok! Dok! Dok!
Seseorang mengetuk pintu setengah menggedornya. Berlian tentu siapa pelaku di balik pintu tersebut.
"Apa kamu belum selesai?”
Tebakan Berlian benar, itu adalah suara ayahnya. Pria itu berdiri di depan pintu menunggu sang putri yang sedari tadi tak kunjung ke luar dari dalam kamar.
Berlian menyahut. "Tunggu sebentar, Ayah."
Berlian Kembali terfokus kearah cermin setelah menyahut panggilan ayahnya.
Redrik Kembali berseru. “mereka sudah datang. Ayah tunggu di luar.”
Berlian tidak memberi sahutan melainkan tetap terdiam __terfokus pada papan cermin. Berlian mengamati tampilan dirinya yang sangat aneh. Cantik memang, hanya saja terlihat aneh karena jelas sekali bukan style Berlian sehari-hari. Dan lagi, Berlian tak henti-hentinya bertanya-tanya, mengapa ayah meminta dirinya menemui tamu, sementara tujuan si tamu bukanlah untuk menemuinya.
Semakin merasa aneh, Berlian lantas membuang napas kasar. Ia mendengus beberapa kali membuang rasa kesal.ketika rasa tidak yakin terus mendesak di dada, Berlian memutuskan menarik satu blous yang berada di dalam lemari. Ia melepasnya dari hanger, lantas memakainya lebih dulu, barulah kemudian meraih rok plisket panjang tepat selutut.
Selesai memakai semuanya, dua ujung bibir Berlian tampak tertarik membentuk senyuman. Tampilan yang sekarang sangat sesuai dan tampak natural. Tanpa riasan tebal dan juga baju terbuka. Sebelum keluar meninggalkan kamar, Berlian melempar baju sebelumnya ke sembarang tempat. Ia sungguh membenci pakain itu, bukan lagi benci, tapi sudah tampak seperti hendak menjual badan.
Di ruang tamu, kini sudah duduk para tamu special. Redrik duduk di samping sang isrti. sedangkan Lina duduk di tepat di samping ibunya.
Ruang ini tidak begitu luas, malah bisa dikatakan sempit. Tentu saja karena keluarga Redrik bukan dari golongan papan atas. Dan mungkin tamu yang dating saat ini adalah berlian untuk mereka. Mungkin saja.
Mereka bukan dari golongan orang sembarangan. Mulai dari generasi yang pertama hingga saat ini, keluarga mereka sudah terkenal dengan kesuksesanny dalam banyak bidang. Tak ayal kalau banyak orang di luar sana yang berharap bisa menjadi salah satu keluarganya. Terutama menjadi menantu keluarga Sanjaya. Satu keluarga yang hanya memiliki anak tunggal. Dan tentunya putra dari pasangan Dimas Sanjaya dan Ratu itu sangatlah sulit didapatkan karena kabarnya sangat jarang berbaur dengan para Wanita.
Linda—istri Redrik—sedari tadi sudah senyum-senyum mencari perhatian. Di sampingnya, sang putri juga tengah curi-curi pandang pada seorang pria tampan yang tengah duduk sambal menyilang kaki. Lina seolah merasa dirinya benar-benar cantik. Dalam hatinya juga berkata dengan yakin kalua pria di hadapannya akan tertarik.
“Kenapa dia menatapku seperti itu?” Brian mendecih hingga bibirnya sdikit terangkat. “Dia seperti Wanita murahan.” Lanjutnya seranya membuang mata jengah.
Kini, Linda membuka percakapan. Dia tersenyum ramah mentap dua orang yang ia harap akan segera menjadi besannya. “Maaf kalau rumah kami mungkin tidak terlalu nyaman untuk kalian.”
“Rumah ini sangat nyaman. Tidak perlu sungkan dan tidak enak begitu.” Jawab Ratu tsk kalah tersenyum manis.
“Perkenalkan ini putri kami. Namanya Lina.” Kini Linda memperkenalkan sang putri. Ia menyikut lengan Lina, memberi kode untuk segera menyapa.
“Halo, Paman, Bibi,” senyum Lina mengembang sempurna. Bukan tampak seperti senyum ramah, melainkan lebih terlihat seperti senyum menggoda.
Tatapan Lina tentu bukan ke arah Dimas dan Ratu, melainkan berpaling kearah Brian. Hal itu membuat Brian semakin merasa risih.
Cristine sudah sangat antusias. wajahnya begitu semringah dan terlihat yakin dan percaya diri. "Pasti Aku yang akan di pilih." Batinnya penuh kesombongan.
Meski terasa kurang nyaman karena tingkah Lina yang dirasa berlebihan, tapi Ratu seolah bersikap biasa saja. “Purtimu sangat cantik.” Pujinya.
Tuan Dimas yang sedari tadi diam, kini ikut bicara. Dia juga merasakan hal yang sama dengan sang istri saat melihat Lina, tapi tentu saja harus tetap bersikap biasa.
“Kamu menyukainya kan, Toma?” tanya Dimas. Ia tersenyum berniat menggoda Brian. “Lihat, dia sangat cantik,” imbuhnya.
Brian tidak bereaksi apapun selain tersenyum tipis seperti tidak ada keniatan sama sekali. Saat sang ibu menyikut lengannya, barulah Brian berdehem kecil dan mengangguk malas. Merasa tidak enak hati dengan sikap sang putra, Ratu segera tersenyum ke arah Linda.
Setelah Kembali berpaling muka, Brian mulai bosan. Dia sungguh tidak tertarik dengan Wanita sok kecentilan di hadapannya saat ini. Rasanya ingin segera pergi saja. Beberapa kali, Brian menghela napas dan rasa bosan sungguh tidak tertahankan. Dan saat kedua kaki ingin beranjak, derap Langkah kaki orang lain terdengar.
Brian perlahan mendongak. Ia putar pandangan mengarah pada sosok sederhan yang baru saja datang setelah rasa bosan menghantui. Mata Brian perlahan mulai menyusuri Wanita sederhana itu. Ia tatap dalam-dalam mulai dari atas hingga ke ujung kaki. Tidak terlalu buruk, hanya saja penampilannya jauh dari para Wanita cantik yang tinggal di kota metro politan. Bukan hanya Brian yang mengamati Berlian dengan saksama, melainkan Ratu juga. Dibandingkan dengan Lina, tentu Berlian sangat jauh. Berlian bisa dikatakan cukup kampungan dalam hidup yang modern seperti saat ini. Sedangkan Lina, jangan ditanya lagi. Wanita itu sangatlah modis. Hanya saja cara dia bersikap terlihat berlebihan.
“Duklah, Sayang,” Redrik menepuk ruang kosong di sampingnya. Terlihat jelas ada tatapan tidak suka dari dua orang yang duduk berdampingan di samping Redrik.
Berlian lantas duduk sesuai perintah sang ayah. Kini ia benar-benar merasa gugup, belum lagi ia cukup tidak nyaman dengan tatapan Brian yang aneh.
Setelah dirasa Berlian sudah duduk dengan nyaman, Redrik bicara. “Perkenalkan, ini juga putriku. Panggil saja Berlian.”
Brian tersenyum tipis seperti menyeringai usai tahu siapa nama Wanita polos itu. Sekali lagi ia juga curi-curi pandang hingga membuat Berlian merasa risih dan tidak nyaman.
“Halo, Paman. Bibi.” Berlian mengulurkan tangan. Mereka membalas bergantian jabatan tangan itu.
Belum sempat Berlian mendaratkan pantat di atas sofa dengan sempurna, tiba-tiba Brian berucap singkat yang spontan membuat semuanya terkejut.
“Biarkan aku menikah dengannya.”
Semua mata langsung membelalak. Dimas dan Ratu tidak terlau terkejut, tapi tidak dengan Linda dan Lina. Mereka sempat salin pandang menunjukkan betapa mereka saling terkejut.
“Kamu tidak salah, Nak Brian?” tanya Linda begitu saja.
Pertanyaan itu mungkin sedehana dan tidak tinggi, tapi jelas sekali terdengar tidak mengenakkam bagi Berlian. Ratu juga merasa kpertanyaan itu mengandung sebuah hinaan. Sedangkan Berlian, ia malah tidak terlalu focus dengan kalimat sang ibu tiri, melainkan terfokus dengan kalimat dari Brian. Kalimat singkat itu membuat dada Berlian terasa berdegup lebih kencang. Tidak sadar sampai ia meremas-remas telapak tangannya sendiri.
Mereka bereaksi beda-beda. Yang paling tampak jengkel tentu Lina. Dia masih tidak percaya Brian malah memilih Berlian yang jelas-jelas sangat jauh dengan dirinya. Kecantikannya juga sangat jauh berbeda.
Apa dia buta? Bagaimana mungkin bisa memilih Berlian yang jelek begitu? Aku di sini jelas-jelas yang paling cantik.
Ratu menatap Brian lekat-lekat. “Kamu akin, Sayang?”
Tidak masalah Brian mau memilih siapapun. Bagi Ratu asal sang ptra merasa cocok, maka itu pilihan yang tepat. Dan lagi, Berlian itu manis seperti Namanya. Ia juga csnti dan sepertinya sasngat sopan.
Brian belum sempat menjawab pertanyaan sang ibu, Linda sudah menyela lebih dulu. “Apa kamu sudah yakin, Nak?”
Linda bertingkah seolah asih belum percaya. Seorang Berlian yang menurut Linda hanya indah didengar Namanya saja dipilih oleh sosok tampan seperti Brian, itu rasanya tidak mungkin bukan?
“Pernikahan itu tidak main-main, Nak?” lanjut Linda lagi.
“Apa aku terlihat seperti sedang main-main?” kedua alis Brian terangkat. “Aku lebih dari serius malahan.”
Keputusan Brian tampaknya sudah bulat. Berlian yang begitu sederhana sudah mengalihkan pandangan Brian yang selalu menganggap ada satu Wanita tercanti versi lain. Di hadapan Brian, Linda dan Lina masih saling lirik dan menyikut. Mereka tentu malu dan juga merasa marah. Apalagi Lina, kali ini dia benar-benar merasa kalah dari Berlian. Satu kali kalah, tapi serasa ribuan kali dipermalukan,
Seraya melirik Berlian, Lina membatin, “Kamu piker aku akan diam saja? Tidak!”
Redrik mengambil napas dalam-dalam, lalu mengembuskan secara perlahan. “Nak Brian sudah memilih kamu. Berilah jawaban.”
Ini terdeengar gila. Berlian yang tidak tahu menahu, tiba-tiba mendapat lamaran dari seseorang yang sama sekali belum di kenalnya. Apa ini sebuah lelucon? Apa ini sebuah perjodohan seperti dalam serial pertelevisian? Shit!
“Ayah jangan main-main. Ini sama sekali tidak lucu.” Berlian menatap ayah dengan tatapan sendu. “Tuan itu datang untuk melamar Lina, bukan aku.” Berlian mulai mengguncang lengan ayah.
Redrik tersenyum. “Lamarsn ini untuk kalian berdua. Nak Brian yang bisa memilih dan memutuskan.”
“Tapi ayah…ini sangat mengejutkanku. Jangan seperti ini.”
Redrik masih tersenyum. Ia mengusap lengan Berlian dengan lembut. “Nak Brian sudah memilih kamu, Sayang.”
Perlahan Redrik menjelaskan semuanya. Tidah semuanya, hanya inti kenapa mereka datang mendadak. Tentu itu memang kemauan dari Brian sendiri.
“Aku belum siap menikah, Ayah.” Tatapan itu penuh dengan permohonan.
Tingkah Berlian membuat Lina merasa kesal. Dia melihatnya seperti Berlian memang tengan sok jual mahal, pada kenyataannya memang Berlian sangat belum siap. Ia lantas mencubit lengan ibunya dengan wajah cemberut.
Lina berdehem. “Nak, mungkin sebaiknya dipikir ulang Kembali keputusan kamu. Putriku inilah yang sudah siap menikah.” Lina menoleh seolah menunjukkan betapa sempurnanya seorang Lina.
“Sudah aku katakan, kan, aku mau dia.” Brian menunjuk ke arah Berlian yang menunduk.
Brian tidak habis pikir dengan sikap Wanita paruh baya di hadapannya itu. Dia malah seperti sedang menjual anaknya sendiri dengan memaksa keputusan seseorang. Sangat memalukan sekali.
Berlian mengedipkan mata memberi kode pada ayah supaya mau bicara, tapi Redrik malah tersenyum. Sebuah senyuman yang begitu indah seperti mersakan ada kelegaan di dalamnya. Andai Berlian tahu isi hati sang ayah, mungkin ia bisa berpikir ulang sebelum menolak.
***
