1
Tiada yang tahu dengan siapa kita akan menikah. Hidup, jodoh, mati, semua Tuhan yang menentukan. Adakalanya kita menikahi seseorang yang bahkan sama sekali belum pernah kita jumpai. Banyak cerita novel yang menjadi favorite seorang gadis berambut Panjang yang sekarang sedang duduk di atas ranjangnya. Ia bersandar, tersenyum mengagumi sebuah novel yang baru saja ia baca. Ah, tepatnya novel yang sudah ia baca kesekian kali.
Berlian menutup novel tersebut lalu beranjak. Ia melangkah menuju rak bukunya yang berada di ujung. Ia melangkah gontai seraya menguap begitu lebar. Ini sudah pukul sepuluh malam, tapi berlian terlalu focus pada bacaannya.
“Sebaiknya besok aku mencari cerita baru. Aku bis agila kalau terus-terusan membaca novel ini.”
Berlian meletakkan bukunya di antara buku lain. Dari sekian banyak novel yang ia beli, baru satu biku yang ia baca berulang kali. Bukan karena tidak bagus, tapi cerita yang ia baca berulang kali itu lebih menyentuh. Seorang Wanita yang berjuang mendapatkan cinta dari kekasihnya.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan pintu itu membuat Berlian terlonjak. Ia sampai mengusap dadanya karena kaget. Belum selesai dengan rasa kagetnya, kini suara seruan dari luar sana kembali membuat Berlian terjungkat. Angelina sempat memejamkan mata dan menarik napas Panjang.
“Apa kamu tuli?” suara itu kini terdengar memaki. “buka pintunya!”
Bukan hanya suara teriakan, kini Berlian juga mendengar pintu digedor lagi. Berlian sudah mencoba untuk tidak kaget jika hai ini terjadi, toh hampir setiap hari Berlian mengalaminya. Namun itu tidak mudah. Lengkingan dari mulut saudaranya atau bahkan ibu tirinya membuat hari-hari Berlian seperti senam jantung.
“Tunggu sebentar!” sahut Berlian.
Berlian melenggak cepat. Ia tidak mau kalau sampai orang yang memanggil di luar sana mulai memaki.
“Kenapa lama sekali?” decak Lina.
“Maaf aku baru saja selesai membaca buku.”
“Aku tidak butuh alesanmu!’ Saat itu juga Lina meneleng kepala Berlian hingga terlempar ke samping. Untung saja tidak sampai terpentok. bibir pintu.
Berliam kembali mengangkat wajah lantas menatap Lina. “Ada apa memanggilku?”
Lina membuang napas. “Ayah mencarimu.”
“Ayah?”
“Tidak usah sok kaget begitu. Bukan sudah biasanya mencari putri kesayangannya?” Lina mendecih diikuti tatapan sengit. “Dasar menyebalkan!”
Lina memutar badan lalu pergi tanpa bicara lagi. Sementara Berlian, ia lebih dulu masuk ke dalam kamar untuk mengikat rambutnya lebih dulu.
Jika Berlian boleh memilih, ia ingin sekali pergi dari rumah ini. Rumah ini tidak seperti pepatah yang selau banyak orang ucapkan. “Rumahku surgaku.” Kalimat itu sungguh jauh berbeda dari kehidupan Berlian saat ini.
Selesai menguncir rambutnya, Berlian langsung menemui ayahnya di ruang tengah. Di sana dia tidak menemukan adanya ibu maupun saudara tirinya. Mungkin mereka sudah pergi ke salon atau tempat di mana mereka akan merasa senang. Contohnya membanggakan diri di depan teman-teman.
“Halo, Ayah. Kenapa memanggilku?” Berlian duduk di sofa kosong di samping ayahnya.
Tidak terlalu banyak yang ayah bicarakan. Yang Berlian tangkap, ayah hanya menceritakan saat-saat pertama kali bertemu dengan ibunya. Sesuatu yang sangat romantis, tapi akhirnya berakhir sedih bukan tidah saling mencintai, hanya saja keadaan atau takdir yang membuat semua berakhir.
“Kenapa ayah menceritakan semua hal itu padaku?” tanya Berlian.
Redrik tersenyum lalu mengusap ujung kepala Berlian dengan lembut. “Ayah hanya ingin kamu tahu kalau ibumu sangat menyayangi kamu. Dia ingin suatu saat kamu menemukan kebahagiaan.”
Berlian terdiam. Ia tidak sepenuhnya mengerti kalimat yang di ucapkan ayahnya. Ayah jarang sekali membicarakan hal sensitive seperti ini. Kalau begini, Berlian jadi mulai berpikiran yang macam-macam.
“Apa ada hal lebih penting yang ingin ayah bicarakan denganku?” tanya Berlian. “Ayah tidak biasanya membahas hal sensitive seperti ini.”
Redrik menghela napas Panjang. “Ayah ingin kamu segera bebas.”
“Apa maksud ayah?”
“Ayah tidak bisa sepenuhnya melindungi kamu di sini. Kamu tahu maksud ayah, kan?”
Berlian menatap dalam-dalam wajah ayahnya. Wajahnya terlihat sendu. “Ayah mengusirku?”
“Astaga, Berlian! Kenapa kamu bisa berpikiran begitu? Ayah mana mungkin mengusir kamu.” Redrik membelalak kaget.
Mata Berlian tampak berkaca-kaca. Bendungan di balik pelupuk matanya sepertinya sebentar lagi mungkin akan jebol. Berlian menatap wajah ayahnya yang tak kunjung bicara, ayah masih diam saja dan malah membalas tatapan Berlian lebih dalam. Mereka berdua tampak sedang bertukar pikiran masing-masing. Detik berikutnya, Berlian tidak tahan dan langsung memeluk ayahnya dengan erat.
***
