Chapter4 - Semuanya Sudah Terlambat
Hari ini tepat sudah satu minggu lamanya Anisa menyandang status sebagai kekasih
Daniel Wiraatmaja. Daniel tak menyia-nyiakan kesempatan yang datang kepadanya. Pada
hari dimana ia mengantarkan Anisa pulang ke kos, pria itu benar-benar menyatakan cinta
kembali— meminta agar Anisa benar-benar mau mempertimbangkan hubungan mereka ke
depannya dan tanpa Daniel duga, Anisa menyambut tawaran tersebut. Anisa ingin terbebas
atas perasaan yang dirinya miliki pada Andrean, untuk alasan tersebut ia ingin mencobanya
bersama Daniel.
Tak terasa tujuh hari telah berlalu begitu saja. Hubungan keduanya berjalan sangat baik
selayaknya kekasih normal pada umumnya. Daniel selalu menyempatkan diri untuk
mengantar jemput Anisa kuliah. Pria itu bahkan meminta Pak Tarjo mewakili dirinya jika
seandainya Daniel diburu oleh pekerjaan yang tidak bisa laki-laki itu tinggalkan. Tidak
berhenti disana, hubungan yang tadinya merenggang sebab pesan ambigu Andrean juga
semakin membaik dengan sang pengirim. Kini Anisa menjalani semuanya seperti orang yang
baru terlahir ke dunia.
Sayangnya hari ini Anisa harus pulang sendiri di hari pertamanya setelah menjadi kekasih
Daniel. Pria itu sekarang berada di Surabaya dan Pak Tarjo yang biasanya bertugas
menggantikan sedang cuti karena istrinya melahirkan secara sesar. Zidan yang dulunya selalu
standby dua puluh empat jam juga sepertinya tengah bersekongkol dengan dewi fortuna milik
Anisa. Pria itu mendadak sekali harus terbang ke Jakarta. Sahabatnya itu tidak mengatakan
alasan yang jelas, hanya saja ia meman harus pergi dan tidak dapat menunda perjalanannya
untuk menunggu Anisa selesai kuis.
Rupanya semesta sedang ingin meminta Anisa untuk belajar hidup mandiri. Ia terlalu lama
bergantung pada Zidan selama ini.
Hari ini Anisa datang ke kampus dengan tampilan kasual. Ia tetap tampak cantik meski
hanya mengenakan kaos polo berwarna pink dan celana ripped jeans. Ditangan kirinya
terdapat handbag hitam menggantung pada lengannya, sedangkan bagian kanannya
memegang sebuah buku bacaan yang super tebal. Rambutnya yang indah berhamburan
diterpa angin sore.
“Mana sih?” Anisa terlihat cukup sibuk dengan sebelah tangannya yang mengobrak abrik
isi tas— guna mencari ponsel. Hingga tiba-tiba ada seseorang yang memegangi buku dan
tasnya yang sudah melorot kebawah. Ia lantas tersenyum mengetahui si penolong merupakan
orang yang dirinya kenali dengan baik.
“Thanks, Ndre..” ujar Anisa berterima kasih kepada Andrean.
Andrean mengambil buku ditangan Anisa, “nyariin apaan Nis dari tadi? Daniel nggak ada
jemput hari ini?” tanya Andrean membuat Anisa yang masih sibuk mencari ponselnya
menyengir layaknya kuda. “Nggak nih Ndre. Daniel lagi ke Surabaya. Ada kerjaan dia, Pak
Tarjonya mendadak cuti soalnya istrinya lahiran. Ketemu..” Anisa mengacungkan ponselnya
ke udara, seolah memberi tahu Andrean jika barang tersebutlah yang dirinya cari-cari sedari
tadi.
“Zidan nggak keliatan? Biasanya dia ada buat jaga-jaga.”
“Lagi pergi dia. Nyebelin banget. Perginya juga tiba-tiba. Kalau ngomong dulu kan gue
bisa ikut.”
Andrean mulai bertanya-tanya mengapa Anisa yang kemarin sempat menarik diri darinya
kini justru menjadi Anisa yang lebih periang. Entah mengapa, hat Andrea bergejolak.
Pikirannya mendadak kacau menyadari perubahan itu ada setelah Anisa bersama Daniel.
Sejak kedatangan Daniel, Anisa tak pernah lagi terlihat menyendiri dan murung. Seharusnya
hal tersebut menenangkan hati Andrean. Kekasihnya akhir-akhir menjadi tak seposesif dulu
karena mengira Anisa menyukainya— namun kenyataan tak pernah sesuai dengan
permintaan otak, terlebih hatinya yang justru menjerit pilu.
Mengapa bukan dirinya yang menjadi penyebab kembalinya Anisa?!
Kenapa harus Daniel?!
Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu memenuhi benak Andrean. Hidupnya menjadi
teramat tidak tenang dengan kemunculan sahabatnya. Usai berhenti meredam cemburunya
untuk Zidan, sosok lain membuat perasaan tidak wajar itu kembali singgah. Kali ini kepada
orang yang lebih tepat— kekasih Anisa.
“Baliknya gue Anterin.” Tanpa kata-kata, Andrean menarik lengan Anisa. Ia tak peduli
apakah Anisa akan menolak niat baiknya atau tidak. Andrean berjalan begitu cepat sampai-
sampai membuat Anisa memekik kaget.
“Ndre nggak usah! Aku bisa naik ojek aja..”
“Nggak! Gue harus pastiin lo selamat!” jawab Andrean cepat.
Sampai disamping BMW hitam miliknya, Andrea lantas membuka pintu penumpang. Ia
mendorong tubuh Anisa pelan, memastikan Anisa sudah duduk manis di sebelah kursi
pengemudi. “Pake self beltnya Nis.. Kalau gue yang makein lo nggak akan suka.” Ucap
Andrean. Ia benar-benar menunggu Anisa mengenakan sabuk pelindung. Seolah jika ia
berbalik badan dan sabuk itu tak terpasang, maka Anisa akan lari dari mobilnya.
“Good..” Andrean menutup pintu mobil. Berlari memutari tunggangnya untuk masuk ke
dalam sana. Bibirnya melengkungkan senyuman, karena hari ini ia akan pulang bersama
wanita yang masih dirinya cintai.
Anisa yang bingung dengan perlakuan Andrean hanya mengunci mulutnya rapat. Ia tidak
mau bertanya mengenai perlakuan pria itu meski merasa cukup terkejut. Andrean beberapa
hari ini memang terlihat sering memperhatikannya. Tak jarang pandangan mata mereka
bahkan bertemu, dan laki-laki itu tak pernah memalingkan wajahnya. Alih-alih menghindar
karena ketahuan, Andrean justru memberikan lambaian tangan. Seperti orang yang
membenarkan pemikiran Anisa.
Mobil Andrean melaju sangat kencang membelah jalanan. Tujuannya kali ini adalah
tempat yang selama ini diam-diam sering ia kunjungi untuk menuntaskan rindunya. Bukit
Sari— sebuah perumahan elit ternama yang tidak jauh dari sebuah kawasan bernama
Tembalang. Andrean tak dapat memfokuskan diri menyadari Anisa kini berada di dekatnya.
Mereka hanya berdua di dalam sebuah mobil tanpa gangguan kekasihnya ataupun Zidan. Ia
mencuri-curi pandang demi menyakinkan diri bahwa apa yang ia alami memang benar-benar
nyata, bukan hanya halusinasinya saja.
“Nis..” panggil Andrean.
“Ya Ndre?” Anisa mengunci layar ponselnya, menatap Andrean yang ternyata meliriknya.
“Kenapa?” tanya wanita itu lembut.
“Kamu..”
‘Kamu?’ batin Anisa. Ia bertanya dalam hati mengapa Andrean kembali mengubah
panggilan untuk dirinya.
“..cinta sama Daniel?” Andrean merutuki dirinya sendiri. Ia menggigit bibirnya karena
melempar pertanyaan yang memicu pertengkaran di tengah kesunyian yang menerpa mereka.
“Maksud lo nanya gitu apa ya, Ndre?” Anisa yang tidak mengerti hanya menatap Andrean
dengan tatapan herannya. Ada apa dengan Andrean? Pria itu juga tak kunjung menjawab
pertanyaan Anisa. Ia diam layaknya patung dengan raut bersalahnya.
“Turunin gue di depan sana! Sekarang Ndre!” Perintah Anisa. Nada suaranya berubah
sangat ketus membuat Andrean menuruti permintaan Anisa meski belum juga membuka
automatic lock mobilnya.
“Buka!” Bentak Anisa.
Andrean menggelengkan kepalanya. Sumpah ia tak pernah bermaksud untuk membuat
Anisa bertanya. Tindakan impulsifnya mungkin telah menyakiti hati Anisa, tapi jujur dari hati
yang paling dalam Andrean juga ingin tahu jawabannya. Ia membutuhkan pernyataan itu
langsung dari mulut Anisa.
Di genggamnya tangan Anisa, hingga Anisa kini semakin menatap nyalang pria
disampingnya. Pada sepasang mata indah itu Anisa bisa melihat kesedihan dan keputusasaan
yang berkumpul menjadi satu. Mereka membentuk sebuah telaga yang airnya belum
mengaliri pipi Andrea. Anisa tertampar melihatnya.
“Nis..” Andrean mulai membuka suara. Tangan kirinya yang bebas terulur, mengusap
puncak kepala sang wanita dengan penuh sayang. Sebuah hal yang ingin ia lakukan sejak
dulu, namun tak dapat ia lakukan meskipun hatinya meronta.
“Apa kamu udah nggak cinta sama aku?”
Andrean pasrah. Ia siap mendengar apapun dari bibir wanita yang dicintainya. Meski
akhirnya berujung pada sakit hati, tak mengapa. Ia akan menganggap jawaban Anisa sebagai
karma yang harus dirinya tanggung seumur hidup.
Anisa mulai terdiam, air mata yang sedari tadi ditahannya lolos didepan mata Andrean.
Air tersebut menetes begitu saja meski egonya melemparkan makian pada dirinya sendiri.
Spontan melihat itu, Andrean mengusap lembut pipi Anisa. Rasanya dadanya ikut nyeri.
“Kenapa baru sekarang Ndre? Kenapa tidak dua tahun lalu ketika kita bertemu kembali?"
Ucap Anisa serupa bisikan namun Andrean tetap bisa mendengarnya.
Mendengar pertanyaan yang Anisa layangkan, Andrean meneguk ludahnya sendiri.
Bagaimana bisa dulu ia bertanya seperti itu ketika ia tidak mampu menatap Anisa karena
kesalahannya? Ia sadar jika dirinya terlalu pecundang selama ini.
“Terlambat Ndre, meskipun jawabanya iya, tapi Daniel bukan orang yang pantas untuk
aku sakiti. Aku pernah ditinggalkan oleh orang yang sangat aku cintai, melihatnya kembali
bahagia dengan wanita lain lalu Daniel datang menghapus luka itu. Menawarkan penawar
luka. Secinta apapun aku, nggak sepantasnya aku nyakitin dua orang sekaligus karena aku
tahu rasanya mati meski tetap bernafas.” Anisa tidak akan menjadi egois. Daniel dan kekasih
Andre tidak layak mendapatkan sakit seperti yang pernah ia derita. Mereka orang-orang baik.
“Kembalilah bahagia lagi Ndre. Seperti biasanya, kebahagiaan kamu sekarang dengan Selina,
bukan dengan aku. Maka aku juga akan belajar mencintai Daniel dan belajar bahagia seperti
kamu.”
Hati Andrean mencelos mendengar penuturan Anisa. Seperti ada duri-duri tajam
menghantam dadanya secara bersamaan ke dalam hatinya.
Anisa ingin belajar mencintai Daniel. Kenapa kata-kata itu bagaikan bom waktu yang
meledak begitu saja. Memporak-porandakan hatinya dan menyisakan luka yang tak dapat
Andrean tahan keberadaannya.
Anisa masih mencintainya namun akan belajar mencintai Daniel? Andrean melepas
genggamannya. Tangan kanannya membuka lock door mobilnya, membiarkan Anisa turun.
Bola matanya lantas bergerak mengawasi wanita yang ia cintai berjalan lalu menghentikan
laju sebuah Taxi.
Lama Andrean merenung. Setelah kepergian Anisa tadi, ia masih berada dititik yang sama
tanpa sebuah pergerakan. Membenamkan kepalanya di atas roda kemudi sembari memukul-
mukul dadanya sendiri yang terasa sesak. Mili demi mili hujan dimata Andrea turun.
“I love you Nis.. Aku masih sangat mencintai kamu, Sayang.” Karma itu benar-benar
datang menggulung Andrean layak sebuah ombak. Andrean tenggelam pada luka yang
diciptakannya sendiri di masa lalu. Ia terbakar oleh bara api yang ia nyalakan dan bara itu
ternyata tak pernah padam sejak pertama kali dirinya memantikkan api.
Seandainya boleh jujur. Andrean menyesali semuanya. Jika tahu selamanya tak akan
pernah dapat melepaskan diri dari bayang-bayang cinta Anisa, ia akan berusaha lebih gigih
menolak ajakan orang tuanya. Mempertahankan cinta mereka berdua hingga tak ada
perpisahan yang menjadikan mereka hidup semenderita sekarang. Ketika kekuatannya
muncul, ternyata semua sudah sangat terlambat. Anisa tidak mau lagi menerimanya.