
Ringkasan
Tentang cinta masa lalu yang berakhir luka & tentang mereka yang mencintai dalam diam untuk tetap dapat bersama. Besarnya cinta, luka yang disebabkan & ikatan pertemanan yang terjalin erat. Cerita ini tentang lingkaran hitam yang memaksa mereka untuk tetap rela terbelenggu di dalamnya. [Dia oksigenku, ayah dari seseorang yang tak bertahan lama dirahimku. Dia napas dalam hidupku, tapi menorehkan luka yang dalam diparu-paruku dan hatiku. Mengapa aku tetap bertahan meski dia meninggalkanku? Mengapa aku membiarkan bulir-bulir air mata ini terus jatuh untuk cinta yang tak lagi diinginkan? Kini ia tak lagi sama. Pria itu telah kembali pada posisi semula. Menjadi seorang sahabat bersama kenangan cinta yang pernah kami ukir bersama] Jadi, akan kah mereka dapat menemukan apa yang disebut bahagia?
Chaper 1 - Sakit Itu Masih Terasa
Jika cinta itu membahagiakan, kenapa bagiku justru terasa menyakitkan?!
Ditinggalkan oleh dirinya yang begitu aku cintai..
Ditinggalkan oleh sesuatu yang bahkan belum terlahir dan sempat aku kasihi..
Masih adakah kata ‘bahagia,’ dalam cinta yang ada dalam hidupku?!
Jika memang ada, tolong kembalikan kebahagiaan itu.
Di sini.. Aku masih menunggu..
Wahai engkau sang pemberi kebahagiaan, Tuhanku..
Jemari tangan Anisa berhenti menggoreskan tinta pena. Wanita itu menutup buku diary
yang selama ini selalu ia bawa kemana saja. Wajahnya menengadah, menatap langit sebelum
mengalihkan pandangan untuk mencuri-curi sebuah tatapan.
Angin yang berhembus. Daun-daun yang berayun pelan, serta gelapnya langit bahkan
tahu sejauh mana hati dan jiwa Anisa berkelana. ‘Hanya dengan melihatnya saja aku merasa
sangat bahagia, meski sakit itu juga terasa,’ batin Anisa miris. Ia lalu memalingkan wajah
untuk menghalau air mata yang ingin tumpah dari kedua sudut matanya.
Namanya Anisa— Seorang gadis yang terlahir dari trah Adiputra. Oleh teman-teman
dekatnya, Anisa dipanggil dengan sebutan Nisa. Ia merupakan mahasiswi fakultas psikologi
salah satu Universitas Swasta di Kota Semarang. Wajahnya ayu, memiliki kulit putih dan
mata yang indah. Ia juga dibekali dengan kecerdasan otak yang mumpuni untuk menunjang
wajah cantiknya. Selain itu, Anisa merupakan anak semata wayang seorang pengusaha
ternama di Jakarta. Kakeknya merupakan mantan orang terkemuka di kabinet masa orde
lama. Singkatnya, Anisa bukan wanita biasa meski kini dirinya harus menyembunyikan jati
diri di kota perantauannya.
Di sudut taman, tepatnya di dekat gedung fakultas psikologi— Anisa saat ini tengah
memperhatikan sosok manusia yang ia cintai. Ia terus menatap laki-laki itu tanpa kedip meski
seluruh hatinya berdenyut nyeri menahan sakit yang menyesakkan jiwanya.
Anisa mengaduh, “masih sakit..” Kekehnya sembari memukuli dadanya sendiri. Sekuat
hati menahan, nyatanya ia tak bisa membohongi dirinya sendiri. Nyeri yang mengikatnya
ternyata tak dapat ia hilangkan keberadaannya. Terlebih kala netranya menangkap
kebahagiaan laki-laki itu.
Ia adalah Andrean— alasan mengapa hati Anisa terasa sembilu dihajar oleh pukulan tak
kasat mata. Andrean merupakan sahabat sekaligus mantan kekasih Anisa di Jakarta. Saat ini
laki-laki itu sedang bergurau bersama Selina- tunangannya, wanita yang orang tuanya
pilihkan. Mereka terlihat sangat romantis. Sesekali Andrean bahkan menyelipkan anak
rambut selina— lalu mereka kembali tertawa kecil.
“Perih..” isak Anisa lalu memalingkan wajah lagi. Air mata kali ini benar-benar turun
membasahi pipi putihnya. Melihat kebahagiaan Andrean, nyeri datang bak sayatan pedang.
Menghancurkan tembok yang telah ia bangun dengan cucuran darah segar di hidupnya.
Tuhan.. Apakah aku juga bisa bahagia seperti Andrean di sana?!
Laki-laki itu dapat membangun hubungan baru, sedangkan Anisa selalu terjebak
ditempat yang sama, dengan posisi serupa. Dimana ia terus saja mencintai Andrean dalam
hidupnya.
‘Nak.. Mama harus apa?’ tanya Anisa dalam hati. Ingatannya berputar, kembali pada
masa lalu. Serangkaian kisah pedih itu berjalan menemani kemalangannya.
“Maafin aku, Nis. Sumpah aku nggak tahu kalau Mama bakalan pindahin aku juga ke
Semarang.”
Setetes cairan bening mulai mengalir di kedua pipi Anisa. Pandangan matanya mulai
kosong mengetahui bahwa laki-laki dihadapannya terlalu enggan menatap dirinya.
Apalagi yang harus Anisa perbuat, ketika laki-laki yang seharusnya ada disampingnya
untuk memberi kekuatan bahkan memutuskan pergi. Meninggalkan dirinya untuk berjuang
sendiri.
“Kalau aku bilang tinggal disini, apa kamu juga akan tetep pergi Ndre?” Lirih Anisa
serupa gumaman belaka. Suara angin bahkan terdengar lebih besar, dibanding miliknya
yang bergetar karena menahan tangis.
“Please Ndre.. Aku butuh kamu.. Kami butuh kamu Andrean.” Pinta Anisa.
Kata kami mungkin tak terdengar oleh kuping Andrean. Kini yang terlihat dimata Anisa
hanya punggung tegap Andrean yang semakin menjauh darinya. Laki-laki itu memasuki
BMW hitamnya tanpa mau sedikitpun berbalik, melihat dirinya yang kini bersimpuh di atas
trotoar.
“Kami butuh kamu Andrean.. Aku dan anak kita butuh kamu..” Anisa mengusap
perutnya yang masih rata, lalu menatap pilu kepergian Ayah dari janin yang saat ini ia
kandung.
Mata Anisa perlahan terbuka. Ia menggigit bibir bawahnya ketika teringat masa dimana
Andrean pergi begitu saja tanpa membalikkan tubuh untuk melihat keadaannya. Laki-laki itu
menghilang dengan sepucuk surat yang ia titipkan pada Zidan— sahabat mereka. Anisa
bahkan masih ingat jelas setiap kalimat yang Andrean tuliskan dalam suratnya.
Nis.. Sorry..
Gue harus pergi. Gue harap kita bisa terus sahabatan. Dulu sebelum kita memulai
semua ini, kita adalah sahabat paling bahagia di seluruh dunia. Iya kan, Nis?! Jadi gue
mohon, bagaimanapun akhir kisah cinta kita, suatu hari, kalau kita dipertemukan lagi dalam
keadaan yang berbeda, lo harus inget Nis. Lo pernah menjadi Anisa yang paling gue cintai.
Dan selamanya akan begitu..
Tanpa terasa air mata kembali menetes di pelupuk mata Anisa. Tangan kanan Anisa
menepuk bagian dada yang terasa sesak setelah mengingat kejadian di masa lalu.
Selamanya?!
Laki-laki itu bahkan telah menemukan sosok baru. Melupakan dirinya dan cinta mereka.
Kemana perginya kata selamanya itu?!
Anisa terbatuk dengan nafas tersengal. Demi melawan sakit di dadanya, Anisa bahkan
sampai kehilangan udara yang mengisi paru-parunya. Ia kalah.. Ia telah kalah pada genangan
masa lalu yang selalu menyeretnya untuk kembali merasakan lara.
Zidan— Laki-laki yang sedari tadi memperhatikan Anisa dari atas kap mobilnya segera
berlari cepat ketika melihat sahabatnya itu terisak semakin hebat. Ia menarik tubuh Anisa
agar berdiri. Merengkuh diri wanita itu dalam pelukannya yang hangat. Memberikan dekapan
pada tubuh mungil yang rapuh karena harus menyaksikan Andrean bermesraan dengan
tunangannya.
Zidan tahu.
Sangat tahu..
Ia merupakan saksi betapa kejamnya takdir menghantam diri pemilik tubuh lemah dalam
dekapannya saat ini. Ditinggalkan oleh sahabat sekaligus kekasih. Belum lagi harus terbaring
lemah di atas ranjang rumah sakit karena kehilangan calon anaknya.. Dan sekarang Anisa
harus melihat final dari kejamnya takdir Tuhan. Dimana pil pahit ternyata harus mereka telan
setelah mengetahui Andrean telah dijodohkan dengan wanita lain. Kepindahan mereka sia-
sia. Laki-laki yang sahabat Zidan cintai benar-benar telah pergi dan tak mungkin kembali
untuk mencintai Anisa.
“Dia bahagia, Dan.. Dia bahagia.. Nggak sama gue...” dekapan ditubuh Anisa semakin
mengerat. Sebelah tangan Zidan bahkan merengkuh kepala Anisa. Ia terus menciumi rambut
wanita itu. Meyakinkan diri bahwa di dunia ini, Anisa masih memiliki dirinya.
“Lo kuat Nis. Demi anak lo. Lo harus kuat. Relain Andrean, Nis. Relain dia kayak lo
relain anak lo selama ini. Nis.. Lo juga berhak bahagia..” lirih Zidan dengan nafas tercekat.
Betapa banyak coba yang datang silih berganti pada manusia serapuh Anisa. Kapan tepatnya
semua akan berakhir? Zidan rindu tawa lepas Anisa.
Anisa menggelengkan kepala. "Sakit Dan, ketika oksigen yang lo butuhin,” Anisa tak
kuasa lagi meneruskan kata-katanya. Dalam hati, ia lantas meminta maaf pada malaikat tak
bersayap yang pernah Tuhan kirimkan walau sesaat. ‘Maaf.. Tolong maafkan Mama yang
belum bisa melupakan Papa kamu Sayang. Sekarang Papa benar-benar meninggalkan kita.
Dia sudah bahagia dengan Tante Selin. Nak.. Mama haus apa sekarang?’
“Masih ada gue Nis.. Masih ada gue..” mereka berpelukan erat, terhanyut dalam lara
hingga tak menyadari jika di seberang taman ada sosok yang menatap mereka tajam. Orang
tersebut mengatupkan rahang, serta mengepalkan kedua tangan. Ia sudah tidak lagi menatap
gadis dihadapannya. Fokus utamanya berada pada sosok mungil yang berada pada pelukan
Zidan. Ia seakan tengah dijatuhi vonis mati ketika melihat Zidan terus saja menciumi puncak
kepala Anisa.
Dan laki-laki itu adalah Andrean..
Sosok utama yang menjadi alasan mengapa tangis itu ada..
Ditempatnya, Andrean bahkan mengepalkan kedua telapak tangannya. Pria itu juga tak
sadar jika dirinya sempat meluapkan kemarahannya dengan mendorong pelan tuhuh Selina
agar menjauh darinya.