Chapter2 - Dia Ada Disini..
Pagi ini mungkin akan menjadi hari yang penuh perjuangan untuk Anisa. Pasalnya
ia harus berada dalam satu kelas dengan Andrean. Ia harus mengulang mata kuliah yang sama
bersama sang sahabat karib. Lebih tepatnya mantan kekasih yang membuat Anisa belum bisa
move on hingga saat ini.
Meski berat, Anisa mencoba tetap bertahan. Nasi telah menjadi bubur sekarang. Tak
mungkin karena sakit hati ia mengorbankan pendidikan dirinya dan Zidan. Sahabatnya itu
bahkan rela melakukan transfer dari Universitas Negeri bergengsi di Jakarta demi
menemaninya berpindah ke Semarang. Ia tak boleh membuat pengorbanan Zidan sia-sia.
“Bisa Nisa..”— adalah kata yang setiap pagi ia ucapkan di depan sebuah cermin. Anisa
tersenyum setelah kembali memoleskan lip tint ke bibirnya. Bibir pucatnya harus dipoles agar
Zidan tidak khawatir. Sudah cukup ia merepotkan sahabat laki-lakinya itu.
Usai melakukan rutinitas dandan ala-ala, Anisa langsung menuju meja belajar.
Melakukan pengecekan barang-barang di dalam tasnya. “Powerbank udah.. Charger laptop
buat jaga-jaga..” Setelah merasa semua keperluannya masuk sempurna ke dalam tas, wanita
itu lantas memutuskan mengunci kamar kos. Jangan sampai ada barang-barang berharganya
yang hilang karena sebuah keteledoran.
“Pagi Mbak Nis.. Kuliah Mbak?!” tanya salah satu penghuni kos. Ia terlihat sedang
menyapu halaman di depan kamarnya.
Selama di Semarang Anisa memang memilih tinggal di sebuah kamar kos. Ia tak
meninggali apartemen yang papanya belikan. Anisa tak suka kesepian. Suasana menyiksa itu
hanya akan membuat dirinya teringat Andrean dan calon anak mereka yang telah tiada. Untuk
itulah dirinya menyewa sebuah kamar di bilangan Tembalang. Sebuah kawasan padat
penduduk yang didalamnya terdapat dua Universitas Negeri ternama. Yah meski sangat jauh
dari tempatnya mengenyam bangku perkuliahan.
Anisa berjalan pelan, keluar dari gerbang rumah kos bercat putih yang selama ini ia
tinggali sejak hidup di Semarang. Diseberang jalan Anisa melihat Zidan yang ternyata sudah
menunggu dirinya. Zidan terlihat menyandarkan diri pada pintu Jazz putih milik laki-laki itu.
Melihat itu, senyum Anisa terbit. Ia melangkahkan kaki untuk menghampiri sang
sahabat. Anisa tak henti memperhatikan sosok laki-laki yang selama ini menemaninya. Mata
sayu belum lagi gurat lelah tercetak jelas di wajah tampan Zidan.
‘Kenapa selalu memaksakan diri kalau sebenernya nggak bisa jemput sih Dan?!’, batin
Anisa. Ia sudah memberitahu Zidan untuk berhenti menjadi supirnya. Apartemen Zidan dan
tempat kosnya terbilang sangat jauh. Mungkin ada belasan kilometer mengingat Zidan tinggal
di dekat Tugu Muda— orang-orang Jakarta lebih familiar dengan daerah Lawang Sewu yang
berada di dekat tugu tersebut.
“Yuk..” ujar Zidan lalu masuk ke dalam mobil. Hanya hening yang tercipta. Tak ada
pembicaraan atau bahkan guyonan, karena memang keduanya memilih bungkam. Paling
sesekali Zidan mencuri pandang untuk bisa menatap Anisa yang sepertinya tengah gelisah
memikirkan sesuatu.
Anisa yang sadar sedari tadi diperhatikan, akhirnya membuka suara. “Dan, lo ngapain
liatin gue kaya gitu sih?! Gue ngerepotin lo ya?! Kan mending tadi naik ojol aja, Dan.” Ujar
Anisa tak enak hati.
Zidan menggelengkan kepala. “Nggak kok Nis. Kan tadi gue yang maksa pengen nganter
ke kampus. Gue cuman agak ngantuk aja.” jelas Zidan. Ia memang tak pernah keberatan jika
harus mengantar jemput Anisa kuliah. Walaupun itu termasuk ketika dirinya memiliki jam
kosong sekalipun. Baginya, memastikan Anisa selamat sampai tempat tujuan merupakan
sebuah keharusan. Ia telah berjanji pada Papa Anisa untuk menjaga putri semata wayangnya.
“Nanti gue nggak turun ya.. Gue nunggu di mobil aja. Lo nggak lama kan ntar
kelasnya?” tanya Zidan lalu menunjukan mula melas agar dirinya tak ikut turun dari mobil. Ia
akan menggunakan waktu kelas Ansia untuk tidur sebentar.
“Nggak di deket Koperasi Mahasiswa aja?”
“Ngantuk..” balas Zidan yang akhirnya disetujui oleh Anisa.
“Dan.. Tapi mending lo balik ke apart aja deh. Gue habis ini ada kelompokan itu di
Starbucks CL,” Biasanya anak-anak Semarang- lebih tepatnya anak muda saat ini sering
sekali memendekan kalimat. Contohnya saja CL yang merupakan singkatan dari Citraland,
sebuah mall di kawasan simpang di Semarang. “Kayaknya bakalan lama deh. Andrean sama
Selina soalnya.”
Ini yang Zidan tunggu. Murungnya Anisa ternyata disebabkan oleh dirinya yang akan
terjebak bersama Andrean dan Selina lebih lama. “Nggak! Gue temenin lo.. Lo
tanggungjawab gue, Nis..” ujar Zidan membuat Anisa menghembuskan nafas. Sesampainya
di kampus, Anisa turun dari mobil Zidan. Ia langsung berlari menuju kelasnya.
Baru sampai di depan kelas, Anisa menghela nafasnya pelan. Ia melihat Andrean tengah
menyandarkan kepala di bahu selina. Laki-laki itu sedang memejamkan mata, mungkin bisa
jadi ia sedang terlelap karena belaian lembut tangan Selina dikepalanya.
Disuguhi pemandangan seperti itu, Hati Anisa mencelos Perih rasanya. Anisa mengambil
nafas sekali lagi, namun kali ini lebih dalam lalu menghembuskannya secara perlahan.
‘Mama kuat kan, Nak?! Mama harus kuat demi kebahagiaan papah kamu, Sayang,’ setelah
mengucapkan kalimat kepedihannya dalam hati, Anisa lantas memilih duduk tepat di
samping Andrean dan Selina.
“Astaga! Masih pagi. Kalian udah ayang-ayangan. Manja banget si Mas Andre satu ini.”
Goda Anisa. Ia berperan cukup apik. Mengeluarkan senyum geli. Menutupi keadaan hatinya
yang remuk redam tak berbentuk.
Andrean membuka mata ketika mendengar suara lembut Anisa. Ia menatap wanita yang
kedua matanya terlihat seperti menahan tangis hingga pandangan mereka bertemu beberapa
saat. Bibir itu tersenyum meski jelas terlihat duka ada disana. Andrean sangat tahu jenis
senyuman apa yang Anisa berikan padanya dan Selina saat ini.
Bukan! Itu bukan senyum bahagia Anisa dalam melihat sahabatnya senang. Garis tegas
itu seakan terpaksa tercipta di wajah ayunya.
“Nis, jangan lupa ntar ngerjain tugas abis ini.” Anisa menganggukan kepalanya.
“Mau nebeng gue?” tawar Andrean pada Anisa, namun kali ini Anisa menggelengkan
kepala sembari masih mempertahankan senyumnya.
“Nggak deh Ndre.. Gue diantar sama Zidan. Dia katanya juga mau ngopi.” dibawah meja
jemari Anisa saling meremas. “Di CL beneran kan jadinya?” jujur saja, seringkali rasa gugup
masih mendera Anisa jika ia harus berkomunikasi dengan Andrean.
Rasa gugup itu masih ada bahkan setelah tiga tahun perpisahan mereka. Anisa masih
sering merasakan jika ia harus berdekatan dengan Andrean. Untung saja selama ini ada Zidan
yang selalu bisa mencairkan suara sana diantara mereka.
Selang tidak lama, dosen yang mengampu mata kuliah mereka memasuki ruangan. Di
dalam hati Anisa merasa lega karena ia tidak harus berlama-lama berbincang dengan Andren
dan Selina.
Dosen penyelamat. Terimakasih Pak. Saya benar-benar berhutang budi.
DI KOTA SEMARANG Anisa memang hidup bersama Zidan. Laki-laki itu dipercaya
oleh orang tua Anisa. Keduanya memang bertetangga. Bahkan orang tua mereka juga
bersahabat. Padahal dulu Anisa tahu Zidan justru dari Andrean dan takdir membawa sang
sahabat untuk lebih dekat.
Anisa masih sangat ingat. Dulu Zidan Arkansyah Gibran adalah anak pindahan. Laki-laki
itu bahkan tinggal jauh dari lingkungan rumahnya dan Andrean. Tapi setelah beberapa
minggu, orang tua Zidan yang ternyata bersahabat dengan Mama-Papa Anisa membeli rumah
kosong di depan milik mereka.
Zidan menjadi orang pertama yang melindungi Anisa ketika kedua orang tuanya tahu
keadaan putri mereka. Laki-laki itu selalu ada. Memberikan support terbaik dengan tak ikut
menghakimi.
Pada senja kelabu yang mulai meredup, Anisa terlihat menunggu kehadiran seseorang.
Sesekali ia membenarkan ikatan rambut sembari merapikan pakaian. Ia seperti orang
linglung. Duduk dan berdiri berulang kali di atas kursi taman fakultas. Kegiatan aneh Anisa
terhenti saat lengan kekar merangkul pundaknya.
Tanpa sadar senyum Anisa terbit, mengetahui Zidan- lelaki yang ia tunggu telah datang.
Zidan tak pernah ingkar. Ketika ia berjanji, maka hal itu akan Zidan lakukan sampai akhir.
Anisa menggelengkan kepala melihat outfit yang Zidan kenakan. Jeans robek dengan
kaos putih bertuliskan, ‘Can I Love You,’ lengkap dengan topi hitam yang laki-laki itu putar,
membuat Zidan terlihat sangat tampan.
Bukan rahasia umum lagi jika paras mahasiswa ekonomi itu sangat menawan. Bahkan
tidak sedikit dari adik angkatan mereka yang mengincar posisi sebagai kekasih Zidan.
Mereka sering mendatanginya untuk mempertanyakan perihal hubungannya dengan Zidan,
membuat tertawa terbahak-bahak karena dianggap kekasih laki-laki itu.
Anisa menggelengkan kepala. Mengingat kelakuan para adik tingkat benar-benar
membuat ia ingin kembali terbahak. “Ayo berangkat! Selina udah nunggu.” ajak Anisa
sembari menggenggam jemari Zidan.
“Pokoknya ntar lo jangan lama-lama ya..” Anisa terkekeh. Masih saja Zidan ini. Anisa
menganggukan kepala, lalu menyeret Zidan untuk memasuki Starbucks.
Jantung Anisa berdegup melihat Selina yang bergelayut manja sembari menciumi pipi
Andrean.
Zidan yang tahu mimik muka Anisa sudah berubah sendu, seketika meremas jari Anisa.
Mencoba menyalurkan kekuatan untuk sahabatnya itu membuat tatapan Andrean jatuh ke
tangan mereka.
Secepat kilat Anisa melepaskan tangan zidan. “Gu.. Gue mau ke toilet dulu.” pamit
Anisa yang langsung ditahan oleh Zidan. “Gue anter ya?” kepala Anisa menggeleng. Ia
menolak cepat sebelum berlari pergi.
Nyatanya Anita tak pernah pergi ke toilet lantai mana pun. Wanita itu menghentikan
langkah kaki tepat di belakang mobil Zidan. Menyandarkan kepalanya di sana untuk
menumpahkan tangis yang seharian ini ia tahan.
Anisa menghirup nafasnya dalam. Ia tidak boleh lemah seperti sekarang ini. Ia harus
kuat. Sebentar lagi semua akan usai. Dirinya hanya perlu lulus dan pergi dari Semarang. Ia
lantas menegakkan tubuh, berjalan menuju besi pembatas untuk melihat kemacetan jalanan
tikus yang menjadi satu-satunya jalan keluar kendaraan.
“Niss..” tubuh Anisa menegang ketika lengan seseorang merengkuh dirinya ke dalam
pelukan laki-laki itu.
Parfum ini..
“Lo kenapa ada disini?” pekik Anisa kaget.