Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Ketika Luka Menjadi Jalan Pulang

Rumah itu tak berubah. Halamannya masih dipenuhi tanaman yang dulu ditanam almarhumah ibu Dimas. Anggrek, melati, dan satu pohon kamboja yang menjulang sepi di pojok halaman menjadi saksi semua hal yang pernah tumbuh, dan juga yang layu sebelum waktunya.

Anita duduk di kursi makan, memandangi catatan kecil yang Dimas tinggalkan. Kata-kata itu… begitu sederhana, tapi menghantam keras. Ia menggenggam kertas itu seperti menggenggam sesuatu yang hidup.

“Aku pulang bukan untuk kembali. Tapi untuk melepasmu… tanpa benci.”

Air matanya jatuh, tak bisa dicegah.

Ia tidak pernah meminta untuk dicintai oleh dua generasi dalam keluarga yang sama. Tapi ketika hati menemukan rumah dalam tempat yang dulu menyelamatkannya dari kehancuran, siapa yang bisa benar-benar memilih? Hatinya hanya ingin kembali ke satu-satunya tempat yang pernah membuatnya merasa dicintai bahkan jika cinta itu salah arah.

***

Dimas duduk di taman kecil dekat pemakaman ibunya. Di tangan kirinya tergenggam foto lama terlihat ibunya dan Anita remaja. Mata keduanya memancarkan kehangatan, seakan berkata bahwa mereka lebih dari sekadar pengasuh dan anak yang terlantar.

“Bu…” bisik Dimas. “Maaf kalau aku mencintai perempuan yang dulu pernah Ibu peluk seperti anak sendiri.”

Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan daun yang luruh.

“Aku gak tahu harus marah atau bersyukur. Tapi aku sadar… mungkin aku cinta karena aku lihat dia dengan mata Ibu. Dengan kasih yang sama.”

Dan tiba-tiba, untuk pertama kalinya, Dimas menangis di tempat ibunya dimakamkan. Bukan karena marah, bukan karena kecewa tapi karena menerima.

Satu minggu setelah itu, Anita memutuskan pergi dari rumah. Ia tidak berkata apa-apa pada Bara, hanya meninggalkan surat pendek.

“Aku mencintaimu, Bara. Tapi aku tahu, ada ruang di rumahmu yang belum bisa aku huni sepenuhnya. Biarkan Dimas menemukan jalannya, dan aku menemukan jalanku. Cinta kadang bukan tentang memiliki, tapi mengikhlaskan agar tak ada lagi yang terluka.”

Bara menemukan surat itu pagi-pagi. Tangannya gemetar, matanya kosong. Ia mencintai Anita. Tapi lebih dari itu, ia mencintai putranya. Dan ia tahu, luka itu terlalu dalam jika mereka terus tinggal dalam rumah yang sama.

Ia menyandarkan diri di dinding ruang tamu, dan akhirnya menangis. Bukan sebagai pria dewasa, tapi sebagai ayah… yang kehilangan.

***

Dimas menerima pesan dari nomor tak dikenal dua minggu kemudian.

Isinya hanya satu kalimat:

“Jika suatu hari kamu memaafkan, temui aku di tempat ibu pernah menyelamatkanku.”

Dimas tahu tempat itu adalah rumah perlindungan di pinggiran kota. Tempat ibunya dulu menjadi relawan, tempat ia dan Anita pertama kali “berbagi rumah”, meski tak sadar saat itu mereka sudah saling menyimpan jejak.

Ia datang pada senja hari. Dan Anita sudah di sana, mengenakan baju sederhana, rambutnya dikepang. Tidak ada kosmetik. Tidak ada topeng.

“Kenapa kamu tetap menunggu?” tanya Dimas.

Anita menatapnya. “Karena kamu satu-satunya rumah yang pernah benar-benar aku cari. Tapi kalau kamu masih belum siap, aku akan pergi. Kali ini, benar-benar pergi.”

Dimas berjalan mendekat, lalu berhenti tepat di hadapannya.

“Aku masih mencintaimu. Tapi sekarang, aku mencintaimu sebagai luka yang tak ingin aku benci.”

Anita terdiam. Dadanya sesak.

“Tapi aku belum siap memanggilmu ibu,” lanjut Dimas, tersenyum kecut.

Dan untuk pertama kalinya, mereka tertawa di tengah air mata.

Tawa dua orang yang akhirnya saling mengerti bahwa cinta… kadang harus dibungkus rapi, dikubur dalam-dalam, dan dikenang bukan dimiliki.

***

Sudah empat bulan sejak pertemuan terakhir itu.

Dimas kembali ke kota asalnya. Ia menyelesaikan skripsinya, lulus dengan predikat terbaik, dan mulai bekerja sebagai asisten dosen di kampus yang sama tempat ia dan Anita dulu duduk berdampingan sebagai mahasiswa.

Hari-harinya tak sepenuhnya bahagia. Tapi ia tenang.

Ada hari-hari di mana ia masih memikirkan Anita. Tapi rasa yang dulu menyesakkan dada kini berubah menjadi bisikan lembut. Sesekali datang, tapi tak lagi menyiksa.

Dan di malam-malam tertentu, Dimas menatap langit dari jendela kamarnya dan bergumam pelan dalam hati:

“Semoga kau bahagia, meski bukan denganku.”

***

Satu hari di awal musim hujan, Dimas menerima surat tanpa nama pengirim. Hanya sebuah kertas putih, tulisan tangan, dan aroma lavender yang familiar.

Dimas,

Aku sedang berada di tempat yang sangat jauh dari kita. Di desa kecil tempat anak-anak yatim tinggal. Aku kembali ke dunia yang dulu mempertemukan aku dengan ibumu tempat semua luka dimulai, dan tempat aku ingin menyembuhkan orang lain dari luka mereka.

Aku mengajar membaca anak-anak perempuan di sini. Kadang mereka memanggilku “Bu Guru”. Dan entah kenapa, panggilan itu menyentuh lebih dalam daripada panggilan apa pun.

Aku tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi. Mungkin tidak pernah. Tapi jika hidup adalah buku, maka kamu adalah bab yang tidak akan pernah aku tutup.

Jika kamu bahagia, aku akan damai.

Anita

Dimas menggenggam surat itu lama. Lalu menaruhnya di dalam buku harian milik ibunya. Tepat di halaman yang kosong, seolah memang disiapkan untuk cerita yang tidak selesai.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel