Bab 3 Kepergian yang Membebaskan
Dimas pergi dari rumah esok harinya. Membawa koper kecil dan satu foto masa kecil bersama ayahnya.
Ia tidak memberi tahu siapa pun ke mana ia pergi. Hanya satu pesan singkat ia kirim pada Bara:
Aku tidak marah, Ayah. Tapi aku harus menjauh sebelum rasa hormatku runtuh karena perasaan yang tidak seharusnya. Jaga dia baik-baik, kalau Ayah benar-benar mencintainya.
Dan pada Anita, tak ada pesan. Karena kadang, diam adalah perpisahan paling menyakitkan… tapi juga paling jujur.
***
Seminggu tanpa Dimas, rumah itu sunyi. Bara mulai bertanya-tanya, kenapa semua ini terasa salah padahal ia mencintai istrinya. Anita pun mulai kehilangan dirinya sendiri karena setiap malam ia terbangun dengan bayangan Dimas yang pergi tanpa menoleh.
Dan di suatu malam ketika hujan turun lagi, Anita menatap jendela, lalu bergumam:
“Maaf, Dim… aku bukan ibu yang baik, aku juga bukan kekasih yang baik. Aku cuma seseorang yang terlalu takut kesepian… sampai melukai orang yang paling peduli padaku.”
***
Sudah dua bulan sejak kepergian Dimas. Ia menetap di kota kecil tempat ibunya dulu berasal. Menyewa kamar kecil di atas warung kopi tua yang sepi, dan bekerja sebagai asisten di perpustakaan daerah. Ia sengaja memilih tempat tanpa terlalu banyak suara, agar bisa mendengar pikirannya sendiri.
Tapi semakin sunyi, semakin keras bayangan Anita mengetuk di kepalanya.
Sampai suatu hari, seorang wanita paruh baya datang ke perpustakaan. Ia menatap Dimas lama, lalu tersenyum aneh.
“Kamu anaknya Bara, ya?”
Dimas mengangguk pelan.
Wanita itu duduk. “Dulu aku teman ibumu. Kami satu komunitas relawan. Tapi ada satu hal yang harus kamu tahu… soal Anita.”
Jantung Dimas berdegup cepat.
“Aku gak ngerti maksud Ibu.”
Wanita itu membuka dompetnya, mengeluarkan sebuah foto lama. Di foto itu ada ibunya, Bara… dan seorang gadis remaja dengan seragam putih abu-abu.
Itu… Anita.
Dimas menatap foto itu dengan syok.
“Anita pernah tinggal di rumah kamu. Waktu itu dia masih SMA. Anak korban kekerasan dari keluarga asuhnya. Ibumu yang menyelamatkannya, membawanya tinggal sementara sebelum diserahkan ke yayasan.”
Dimas mulai gemetar.
“Dia tinggal beberapa bulan. Dekat sekali sama ibumu. Tapi saat ibumu meninggal, dia hilang tanpa kabar. Sampai sekarang.”
“Kenapa… dia gak pernah cerita?” suara Dimas nyaris tak terdengar.
Wanita itu menatapnya dalam.
“Karena Anita membawa rahasia yang mungkin lebih menyakitkan dari cinta yang kamu kira kamu punya. Dia bukan cuma perempuan yang kamu cintai… dia bagian dari masa lalu ibumu yang belum selesai.”
Malam itu, Dimas menelepon seseorang yang tak pernah ia sangka akan ia hubungi lagi.
Anita.
“Halo?” suara Anita terdengar di seberang. Ragu. Tergetar.
“Kenapa kamu gak pernah bilang… kalau kamu pernah tinggal di rumah kami dulu? Kalau kamu kenal ibu?”
Hening panjang.
Akhirnya, Anita menjawab. “Karena aku takut kamu akan melihat aku sebagai bagian dari masa lalu ibumu, bukan masa depanmu.”
“Dan sekarang kamu malah menjadi istri ayahku,” Dimas tertawa getir. “Jauh lebih rumit dari masa depan.”
Anita menarik napas panjang. “Aku jatuh cinta sama keluargamu sejak lama. Bukan hanya kamu. Tapi kehangatan ibumu. Kebaikan ayahmu. Semua yang tak pernah aku punya di hidupku. Tapi aku juga kehilangan semuanya dalam satu malam, saat ibumu meninggal.”
Dimas menggenggam telepon erat. “Apa itu alasanmu kembali?”
“Ya… dan tidak. Aku ingin menemukan kembali rasa aman itu. Tapi bukan dengan niat menyakiti siapa pun.”
Dan untuk pertama kalinya, Dimas mengerti. Bahwa cinta Anita bukan sekadar romansa. Itu adalah trauma. Kerinduan akan rumah. Akan pelukan seorang ibu yang tak pernah benar-benar ia miliki.
Dimas pulang seminggu kemudian. Tidak untuk mencari Anita, tapi untuk berdamai dengan masa lalu. Ia menemui Bara di ruang tamu.
“Ayah tahu?” tanya Dimas. “Tentang masa lalu Anita di rumah ini?”
Bara mengangguk. “Tahu. Tapi aku kira lebih baik kamu dengar dari dia sendiri, bukan dari aku.”
“Kenapa kamu tetap menikahinya?”
“Karena aku mencintainya. Bukan sebagai pengganti ibumu. Tapi sebagai seseorang yang juga pernah kehilangan rumah.”
Dan Dimas sadar bahwa ia bukan satu-satunya yang terluka. Mungkin memang tidak ada pemenang dalam kisah ini. Yang ada hanya mereka yang belajar bertahan.
Sebelum pulang, Dimas menuliskan satu catatan kecil untuk Anita, ia letakkan di meja dapur.
Rumah bukan tempat yang kita tinggali. Tapi orang yang mengajari kita cara mencintai.
Aku pulang bukan untuk kembali. Tapi untuk melepasmu… tanpa benci._
