Bab 2 Ketika Cinta Menjadi Dosa yang Tak Dihukum
Hari-hari terasa panjang bagi Dimas. Ia hadir ke kampus seperti biasa, tersenyum pada dosen, berbicara seperlunya pada teman, dan pulang ke kos temannya menjelang malam. Tapi setiap langkahnya terasa seperti akting dalam drama hidup yang tidak ia pilih.
Semua orang mengira Dimas sedang fokus pada skripsinya. Tidak ada yang tahu bahwa di dalam dirinya sedang terjadi peperangan antara perasaan yang belum padam, dan harga diri yang terluka.
Di satu sisi, ia ingin melupakan Anita. Tapi di sisi lain, terlalu banyak kenangan yang tidak bisa dikubur begitu saja. Tatapan matanya saat tertawa, cara dia selalu duduk dengan kaki dilipat, bahkan bau parfum yang masih terasa menggantung di ruang tamu rumahnya.
Dan yang paling menyakitkan adalah sekarang perempuan itu tidur di rumah yang sama dengan ayahnya. Dan akan menyandang gelar yang tak pernah Dimas duga yaitu ibu tirinya.
***
Malam itu, Dimas menyalakan laptop. Bukan untuk skripsi. Tapi untuk menulis sesuatu yang selama ini ia tahan.
Untuk Anita,
Mungkin surat ini tidak akan pernah kamu baca. Tapi aku menulisnya agar hatiku tahu cara berhenti berdetak terlalu keras setiap kali mendengar namamu.
Kita pernah sedekat musim hujan dan aroma tanah. Pernah seterang cahaya pagi di perpustakaan kampus. Tapi sekarang, kamu adalah pintu yang harus kututup sendiri.
Kamu memilih ayahku. Aku tak menyalahkanmu. Mungkin memang aku tak pernah cukup berani untuk memintamu tinggal. Tapi tahukah kamu? Diamku waktu itu bukan karena tidak cinta. Tapi karena aku percaya, kamu akan kembali… jika memang untukku.
Ternyata aku salah.
Dimas
Ia menekan tombol “Save”, menutup laptopnya, lalu menghembuskan napas panjang. Tidak ada air mata malam itu. Hanya perasaan kehilangan yang lebih sunyi dari kematian.
Beberapa hari kemudian, Bara akhirnya mengirim pesan.
Ayah menikah minggu depan. Kalau kamu mau datang, kami akan senang. Tapi kalau tidak… ayah akan tetap mengerti.
Dimas menatap layar ponselnya lama sekali. Rasanya seperti diundang ke pemakaman hatinya sendiri.
Namun sesuatu dalam dirinya mendorongnya untuk datang bukan sebagai restu, tapi sebagai perpisahan.
***
Hari pernikahan itu datang cepat. Rumah dihias sederhana, dengan warna putih dan emas. Tamu-tamu dari kantor Bara berdatangan, tersenyum dan memberi selamat.
Dan di sudut ruangan, berdirilah Dimas.
Dengan setelan jas gelap, wajah tenang, dan mata yang menyimpan badai.
Anita menatapnya dari kejauhan. Wajahnya cantik, tapi ada kegelisahan yang tidak bisa disembunyikan. Tatapan mereka bertemu hanya sebentar. Tapi cukup untuk membuat Anita tahu, bahwa luka yang ia tinggalkan... tidak akan sembuh dengan cincin pernikahan.
Malam itu, setelah semua tamu pulang, Dimas diam di depan rumah. Ia belum masuk, belum juga pergi. Hanya berdiri memandangi langit yang tak memberi jawaban.
Langkah pelan menghampirinya dari belakang.
Anita.
“Terima kasih sudah datang,” katanya pelan.
“Jangan terima kasih padaku,” ucap Dimas. “Aku datang bukan untuk memberi restu. Tapi untuk mengucapkan selamat tinggal pada apa pun yang dulu pernah kita punya.”
Anita menggigit bibir bawahnya. “Dimas… aku gak pernah niat menyakitimu.”
Dimas menoleh padanya. “Tapi kamu tetap melakukannya.”
Hening.
“Kamu bahagia?” tanya Dimas akhirnya.
Anita menatap matanya lama. “Aku ingin mencoba. Tapi bahagiaku… tidak utuh.”
Dan malam itu, dua hati yang pernah nyaris bertemu, akhirnya benar-benar berpisah bukan oleh jarak, tapi oleh pilihan yang tak bisa ditarik kembali.
Sejak hari pernikahan itu, rumah yang dulu menjadi tempat Dimas bertumbuh kini hanya terasa seperti alamat. Ia pulang karena harus, bukan karena ingin. Setiap sudut ruangan menyimpan kenangan yang sudah tak bisa disentuh. Dan suara Anita di dapur… hanya membuat semuanya lebih rumit.
Ia berusaha bersikap wajar, seolah tak ada yang salah. Tapi hati manusia bukan mesin. Ia punya memori, ia punya rasa. Dan rasa itu adalah terasa sakitnya diam-diam bertambah.
***
Suatu malam, Dimas pulang larut. Hujan turun deras. Ketika membuka pintu, ia melihat Anita sedang merapikan buku-bukunya yang berserakan di ruang tamu. Rambutnya terurai, kacamata dibingkai tipis, dan ada segelas teh hangat di meja.
“Ayah tidur?” tanya Dimas, suara serak.
“Sudah,” jawab Anita. “Dia kecapekan. Banyak pekerjaan akhir-akhir ini.”
Dimas mengangguk, lalu duduk di ujung sofa yang sama. Jarak mereka tak sampai dua meter, tapi terasa seperti dua dunia.
“Aku lihat kamu sering pulang lebih malam dari biasanya,” ucap Anita.
Dimas hanya tersenyum hambar. “Mungkin karena aku belum terbiasa… punya kamu di rumah ini.”
Anita menatapnya, terluka. “Aku tidak minta tempat yang sama di hatimu, Dim. Aku cuma ingin… gak membuatmu membenciku setiap kali aku menarik napas.”
Dimas menarik napas panjang. “Masalahnya, aku gak tahu bagaimana caranya berhenti peduli.”
Anita menunduk. Air matanya jatuh tanpa suara.
“Aku pikir perasaan bisa disembuhkan dengan waktu. Tapi ternyata waktu hanya memperpanjang luka yang disimpan.”
Lalu ia menatap Dimas, matanya berkaca-kaca.
“Aku menikah dengan ayahmu karena aku pikir itu satu-satunya jalan untuk merasa dicintai lagi. Tapi sekarang, aku sadar… mungkin aku hanya sedang melarikan diri dari hatiku sendiri.”
Dimas mengepal tangan di pahanya. Ingin bicara, tapi tak tahu harus dari mana.
“Waktu kamu bilang kamu akan melupakan semua kenangan kita,” Anita melanjutkan, suaranya bergetar, “aku berusaha menghapus mu dari ingatanku juga. Tapi nyatanya… wajahmu tetap tinggal. Bahkan ketika aku mencoba tidur di samping laki-laki yang kini ku panggil suami.”
Kata-katanya menusuk.
“Berhenti,” bisik Dimas. “Jangan tambah sakitnya.”
Anita menutup wajahnya, menangis dalam diam. Dan untuk pertama kalinya, Dimas ingin memeluknya. Tapi pelukan itu… akan menjadi pengkhianatan lain.
Jadi ia bangkit. “Aku harus pergi.”
“Ke mana?” tanya Anita cepat.
“Ke tempat di mana aku bisa belajar membencimu… dengan lebih mudah.”
Dan malam itu, keduanya menangis di dua arah. Yang satu di sofa, yang satu di jalan. Tapi tangisan mereka berasal dari luka yang sama yaitu cinta yang terlambat menemukan tempat.
