Bab 1 Perempuan yang tidak pernah diduga
Dimas tidak pernah menyukai pulang lebih awal. Rumah terlalu sunyi, dan kenangan terlalu ramai. Tapi sore itu, langkahnya terasa ringan. Ia baru saja dinyatakan lulus sidang skripsi dengan nilai nyaris sempurna. Ia ingin membagikan kabar bahagia itu kepada satu-satunya orang yang selalu ada untuknya yaitu ayahnya, Bara.
Namun begitu Dimas membuka pintu rumah, aroma lavender langsung menyambutnya. Bukan aroma yang biasa dipakai sang ayah.
Dan di ruang tamu, duduklah seorang perempuan.
Rambutnya dikuncir rendah. Kulitnya bersih. Senyumnya lembut, namun begitu asing dalam keakraban yang menyakitkan.
“Anita?” Dimas hampir tidak percaya.
Gadis itu berdiri, agak gugup. “Hai, Dimas.”
Mereka pernah menghabiskan tiga semester kuliah bersama. Pernah belajar bareng, menertawakan dosen killer, bahkan pernah bertukar mimpi. Dimas pernah menaruh hati. Tapi tak pernah mengucapkan.
Dan kini dia berdiri di ruang tamunya. Di samping ayahnya.
Bara, pria berusia empat puluh enam tahun itu, tersenyum santai. “Kamu datang di waktu yang tepat, Nak. Ayah ingin memperkenalkan seseorang.”
Anita meremas jemarinya sendiri. “Kami… akan menikah.”
Dunia Dimas seolah dihentakkan dari porosnya.
***
Dimas mengurung diri di kamar. Tangannya mengepal, tak tahu apakah harus marah, kecewa, atau tertawa miris.
Anita. Teman yang dulu membuatnya percaya bahwa tidak semua yang manis itu semu. Ia mengenal suara tawanya, caranya menulis catatan rapi, bahkan cara Anita menghindari mata saat gugup. Dimas menyukai semua itu secara diam-diam.
Dan sekarang, semua itu akan menjadi milik ayahnya.
Bagaimana bisa?
Bara bukan pria yang dingin, tapi sejak ibu meninggal delapan tahun lalu, ia lebih banyak sibuk bekerja dan menutup rapat hidup pribadinya. Tak pernah sekalipun memperkenalkan perempuan hingga hari ini. Dan perempuan itu adalah Anita.
Dimas merasa dipermainkan oleh takdir.
Makan malam menjadi senyap. Hanya suara sendok beradu dengan piring.
“Ayah tahu ini berat buat kamu,” kata Bara akhirnya. “Tapi ayah dan Anita… kami tidak merencanakannya. Kami bertemu, bicara, dan kami… cocok.”
Dimas mengangguk kecil. Matanya tak lepas dari makanan yang nyaris tak ia sentuh.
Anita mencoba tersenyum. “Aku nggak mau kamu merasa dikhianati. Tapi aku juga nggak bisa pura-pura nggak punya perasaan sama Bara.”
Dimas akhirnya menatapnya. “Dulu kamu bilang kamu takut jatuh cinta sama orang yang lebih tua. Apa itu bohong?”
Anita terdiam. Wajahnya menegang.
“Aku berubah,” jawabnya lirih. “Dan dia baik… dengan cara yang kamu belum kenal.”
Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk lambat. Dimas bangkit dari kursi. “Baiklah. Nikmati saja makan malam kalian. Aku kenyang.”
Ia berjalan menuju kamarnya, menutup pintu, dan membiarkan dunia di luar hancur sesukanya.
Malam turun dengan sunyi yang mencengkeram. Dimas duduk di balkon kamarnya, menatap langit yang tidak benar-benar gelap, tapi juga tak punya cahaya. Udara dingin tak sebanding dengan dingin yang ia rasakan di dada.
Ia masih tak bisa menerima kenyataan bahwa Anita teman yang dulu hampir ia cintai kini menjadi calon ibu tirinya. Hubungan mereka berubah drastis, dari sepasang teman yang pernah hampir menjadi sesuatu… menjadi bagian dari satu keluarga yang sama. Entah harus tertawa atau menangis.
Ponselnya bergetar.
Anita: “Boleh bicara? Lima menit aja. Di taman depan komplek.”
Dimas menatap layar lama sekali, sebelum akhirnya mengetik:
Dimas: “Datanglah. Tapi jangan lebih dari lima menit.”
***
Taman kecil itu tak jauh dari rumah. Hanya diterangi satu lampu jalan yang remang. Dimas duduk di bangku kayu, dan tak lama kemudian Anita datang. Jaket denim membalut tubuhnya, dan rambutnya diikat ke belakang. Dia selalu terlihat sederhana… dan justru itu yang dulu membuat Dimas tertarik.
“Aku tahu kamu benci aku sekarang,” Anita memulai, suaranya pelan.
“Aku gak benci,” sahut Dimas. “Aku cuma gak tahu harus menempatkan kamu di mana.”
Anita menatapnya, menyesap udara dengan canggung. “Waktu itu, kamu tahu aku dekat dengan orang lain. Tapi setelah semuanya berakhir, aku hancur. Lalu aku bertemu ayahmu. Dia mengobati banyak luka yang kamu gak pernah tahu aku punya.”
“Jadi kamu jatuh cinta karena dia menyembuhkan mu?” Dimas mengejek, setengah getir.
“Bukan cuma itu. Dia memperlakukan aku seperti perempuan dewasa. Bukan anak kuliahan yang cuma butuh perhatian.”
Kalimat itu seperti tamparan.
“Aku memperlakukan kamu seperti teman,” ucap Dimas datar. “Karena kamu tak pernah memberi ruang untuk lebih.”
Anita menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang tidak terucap. “Aku tahu. Dan itu salahku.”
Hening. Malam seakan ikut mendengarkan, menanti apakah kata-kata berikutnya akan memperbaiki atau justru menghancurkan.
“Aku harap kamu gak kehilangan arah karena ini. Aku masih ingin kamu tetap jadi orang penting di hidupku, Dimas,” Anita menatapnya sungguh-sungguh.
“Sayangnya… peran yang kamu pilih sekarang, membuat aku harus belajar melupakan semua kenangan yang pernah kita punya,” bisik Dimas.
Lalu ia bangkit, meninggalkan Anita sendirian di bawah lampu taman yang kini terasa semakin temaram.
***
Beberapa hari berlalu. Dimas menghindari rumah. Ia memilih tinggal di kos temannya, berdalih tengah menyusun tugas akhir.
Di sisi lain, Bara mulai menyadari bahwa keputusan mencintai Anita bukan keputusan pribadi semata. Ada Dimas yang selama ini ia besarkan seorang diri. Ada luka yang mulai tumbuh di antara mereka dan luka itu diam-diam menumpuk.
Sementara itu, Anita mulai gamang. Ia mulai mempertanyakan, apakah kebahagiaannya layak dibangun di atas reruntuhan perasaan orang lain?
Suatu malam, ia berbicara pada Bara.
“Kalau pernikahan ini membuat Dimas membenci kita seumur hidup, apa kamu masih yakin kita harus lanjut?”
Bara diam. Tatapannya menembus gelas kopi yang sudah dingin.
“Kadang cinta perlu ego,” katanya akhirnya. “Tapi jadi orang tua… butuh lebih dari itu. Butuh pengorbanan.”
Anita menunduk. Di hatinya, suara Dimas masih terngiang:
"Sayangnya… peran yang kamu pilih sekarang, membuat aku harus belajar melupakan semua kenangan yang pernah kita punya."
Dan perlahan, ia mulai takut… kalau mungkin, cinta yang ia pilih akan merenggut lebih banyak daripada yang ia duga.
