Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Mera Ke kantor

Di ruang tamu mewah keluarga Lynch yang dipenuhi dengan hiasan kristal dan aroma teh melati, Mera mendengar Lowis dengan wajah memerah karena amarah. Ucapannya keras dan penuh tekanan, "Kamu gila? Mama tidak sudi memiliki menantu murahan seperti Beatrice. Apa kamu suka memungut bekas milik Tyson? Cari wanita lain yang lebih cantik dan sempurna dari Beatrice," tolaknya tegas, tanpa memberikan ruang sedikit pun untuk kompromi.

Namun, Lowis tetap tenang. Dengan ekspresi licik, ia mencoba membujuk ibunya menggunakan kata-kata yang ia tahu akan menyentuh ambisi terbesar Mera. "Dengarkan Lowis dulu, Ma. Andai aku menikah dengan Beatrice, Tyson pasti akan menikahi Creya. Dengan begitu, mama akan mendapatkan tujuan utama mama, yaitu keuntungan besar dari apa yang Gever janjikan pada kita. Kita tidak hanya akan mendapatkan keuntungan berkali-kali lipat, tetapi juga bisa memperbesar perusahaan Lynch."

Mera menatap Lowis tajam, jelas tak percaya dengan kata-kata itu. Tapi sebelum ia bisa menanggapi, Lowis melanjutkan dengan nada yang lebih halus dan meyakinkan, "Ma, apa mama percaya kalau aku benar-benar mencintai Beatrice?"

Pertanyaan itu membuat Mera mengerutkan kening, lalu Lowis mendekatkan dirinya dengan senyum kecil, seakan membisikkan sebuah rahasia besar. "Itu hanya trik, Ma. Ini semua untuk menghancurkan Tyson. Dia tidak pernah bersikap baik pada mama, dan sekarang lihat bagaimana dia memperlakukan Beatrice lebih dari seorang sekretaris. Aku yakin Tyson mencintainya. Entah itu cinta tulus atau hanya mainan ranjang, kita bisa memanfaatkan Beatrice untuk menghancurkan Tyson."

Perlahan tapi pasti, ekspresi keras Mera mulai melunak. Diam-diam ia merenungi kata-kata Lowis, matanya menunjukkan ia mulai terpengaruh. Lowis yang menyadari perubahan itu tersenyum puas, senang rencananya mulai berjalan sesuai harapan.

"Ya, ucapanmu ada benarnya," Mera akhirnya mengakui, meski masih terdengar enggan. "Lalu apa rencanamu sekarang?" tanyanya dengan lebih tenang, tetapi tatapannya masih tajam.

Lowis tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Ia mendekati ibunya lebih dekat, dengan nada meyakinkan, ia berkata, "Jika mama mengizinkan, tolong percepat pernikahan ini. Mama bisa minta izin langsung ke Tyson untuk meminang Beatrice, atau mama bisa berbicara dengan Beatrice sendiri."

Mera terdiam sejenak, lalu mengangguk paham. "Baiklah," jawabnya singkat. Di balik ketenangannya, ia mulai merancang langkah-langkah untuk memastikan semuanya berjalan sesuai dengan ambisi keluarganya. Sementara itu, Lowis tersenyum puas, merasa selangkah lebih dekat dengan misinya untuk menghancurkan Tyson.

***

Di ruangan kantor yang tertata rapi dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan kota, Beatrice tengah sibuk merapikan beberapa file di mejanya. Tumpukan dokumen itu ia susun dengan hati-hati sebelum ia berencana menyerahkannya kepada Tyson untuk diperiksa. Pandangannya fokus pada setiap halaman, memastikan semuanya sempurna, hingga suara dering ponselnya memecah konsentrasi.

Beatrice menoleh sekilas ke layar ponsel yang tergeletak di sudut meja. Nama "Bens" muncul di sana, membuat alisnya sedikit terangkat. Sebelum ia sempat meraih ponsel itu, Heza yang berada tak jauh darinya sudah melirik layar ponsel tersebut dengan ekspresi tak senang.

Tanpa basa-basi, Heza langsung meraih ponsel Beatrice dan mematikan panggilan itu dengan gerakan cepat, seolah tindakan itu sudah menjadi haknya. Matanya menyipit tajam, bibirnya mengerucut dengan ekspresi geram. "Pria sampah seperti dia kenapa masih berani menghubungimu? Apa dia sudah bosan hidup?" suaranya penuh nada kesal, membuat Beatrice menahan senyum.

Belum puas, Heza melipat tangannya di dada, memandang Beatrice dengan tatapan penuh tekad. "Kalau perlu, aku bisa menghajarnya untukmu. Tinggal bilang saja. Aku pastikan dia tidak akan berani mendekat lagi."

Beatrice, yang sejak tadi hanya mendengar ucapan Heza dengan senyuman kecil, akhirnya terkikik pelan. Ia menggelengkan kepala dengan lembut, menatap Heza dengan mata penuh kesabaran. "Tidak perlu, Heza. Aku bisa mengurusnya sendiri," jawabnya santai, berusaha menenangkan emosi sahabatnya itu.

Namun, Heza masih terlihat kesal. "Kau terlalu baik, Beatrice. Orang seperti dia tidak pantas mendapatkan perhatianmu, apalagi menghubungimu," gumamnya sambil melirik ponsel yang kini ia letakkan di meja dengan kesal.

Beatrice hanya tersenyum lagi, kali ini lebih lembut. "Aku tahu, tapi itu sudah urusanku. Jangan terlalu dipikirkan, ya," katanya sambil melanjutkan pekerjaannya, meninggalkan Heza yang masih menggerutu kecil, Beatrice lalu masuk ke dalam ruangan Tyson untuk menyerahkan flashdisk yang sudah berisi file yang ia rapikan barusan.

Di ruangan kerja Tyson yang megah dengan pencahayaan lembut dan aroma khas kayu mahoni, Beatrice berdiri di hadapan meja kerja pria itu, menyerahkan sebuah flashdisk dengan kedua tangannya. "Tuan, ini flashdisk yang Anda minta. Semua file yang Anda butuhkan sudah saya rapikan berdasarkan tanggal dan waktu, dari tahun ke tahun. Dengan begitu, Anda bisa lebih mudah dan cepat memeriksanya karena semuanya sudah terdaftar secara berurutan," jelasnya dengan nada sopan dan profesional.

Tyson mengangguk datar tanpa memberikan komentar apa pun, matanya tetap terpaku pada layar komputer, seolah kehadiran Beatrice tidak berarti apa-apa.

Belum sempat Beatrice beranjak dari ruangan, terdengar ketukan di pintu. Pintu terbuka, memperlihatkan Mera yang masuk dengan senyum lebar dan beberapa paper bag di tangannya. Beatrice menoleh sopan, sementara Tyson tetap fokus pada komputernya tanpa menoleh sedikit pun.

"Nyonya, Anda datang kemari?" tanya Beatrice dengan nada hormat.

Mera mengangguk, senyumnya masih lebar. "Nona Beatrice, ini hadiah dari Lowis. Aku hanya bertugas untuk memberikannya padamu," katanya sambil menyerahkan paper bag itu kepada Beatrice.

Beatrice menerimanya dengan bingung, memandangi paper bag yang cukup banyak dengan tatapan heran. Hal itu akhirnya menarik perhatian Tyson, yang sejak tadi hanya diam. Ia melirik ke arah Beatrice dan Mera dengan tatapan tajam, namun tidak berkata apa-apa.

"Maaf, Nyonya. Apa ini? Kenapa begitu banyak sekali?" tanya Beatrice, masih kebingungan.

"Tak apa. Itu dari Lowis, bukan dariku. Terima saja," jawab Mera dengan santai, membuat Beatrice mengangguk canggung dan mengucapkan terima kasih.

"Apakah Anda ingin minum kopi, Nyonya?" tawar Beatrice sopan.

"Boleh," jawab Mera, membuat Beatrice langsung keluar untuk membuatkan kopi.

Begitu Beatrice meninggalkan ruangan, Tyson menyandarkan punggungnya di kursi dengan gerakan lelah, matanya masih memancarkan ketidakpedulian.

Mera mendekati meja Tyson dan duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Dengan senyum yang tak pudar, ia berkata, "Apa boleh aku berbicara dengan Beatrice? Aku ada urusan sebentar, Son."

Namun, Tyson dengan tegas dan tanpa basa-basi menjawab, "Tidak boleh. Dia sedang bekerja dan tidak bisa diganggu."

Mera tersenyum kecil mendengar penolakan Tyson yang dingin. "Baiklah, aku akan berbicara dengannya nanti malam, setelah ia selesai dengan pekerjaannya," katanya, menatap Tyson dengan pandangan penuh arti sebelum akhirnya membiarkan percakapan terhenti di situ.

"Beatrice adalah orangku. Apa pun yang ia lakukan, semuanya atas izinku, termasuk berbicara denganmu. Dan untuk hari ini hingga satu minggu ke depan, dia akan sepenuhnya berada di sisiku. Tidak ada waktu untuk menemuimu atau melakukan sesuatu yang membuang-buang waktu."

Mera mendengarkan dengan senyum kecil yang terukir di wajahnya, seolah-olah menikmati setiap nada ketegasan Tyson. Ia menyela dengan nada santai, "Aku tahu dia orangmu. Aku tahu dia sekretarismu."

Ia sengaja menjeda ucapannya, menatap Tyson dengan penuh arti sebelum melanjutkan, "Aku juga tahu dia mainan ranjangmu."

Ucapan itu keluar begitu ringan dari mulut Mera, namun memiliki dampak seperti ledakan kecil di udara. Tepat pada saat itu, Beatrice, yang hendak masuk dengan membawa nampan berisi secangkir kopi, langsung berhenti di depan pintu. Ia terpaku mendengar kata-kata itu, tubuhnya membeku sementara genggamannya pada nampan semakin erat.

Mera, tanpa peduli pada suasana tegang yang tercipta, melanjutkan dengan senyum lebarnya, "Tapi mau bagaimanapun, dia memiliki kehidupannya sendiri. Termasuk memutuskan tentang hidupnya. Jadi, meskipun kamu mengatur dia sekeras apa pun, meskipun kamu memimpin jalannya, meskipun kamu adalah bosnya, dia tetap memiliki jalan hidup sendiri. Kamu tidak bisa mengatur semuanya seenaknya."

Tyson, yang biasanya tenang, kini menatap Mera dengan tajam, matanya seperti kilatan petir yang memancar dari amarahnya. Suaranya terkontrol, namun jelas mengandung ancaman saat ia membalas, "Kau salah besar. Justru karena dia mainan ranjangku, tidak seorang pun, termasuk kau, bisa meminjam mainanku seenaknya."

Kata-kata itu menghantam udara dengan berat, membuat suasana semakin panas. Beatrice, yang masih berdiri di depan pintu, merasakan jantungnya berdebar kencang. Jemarinya mencengkeram erat sisi nampan cokelat yang ia bawa, seolah mencari pegangan untuk menenangkan dirinya. Dalam hati, ia menggigit giginya kuat-kuat, menahan rasa sakit yang perlahan menjalar dari setiap kata yang ia dengar.

"Mainan ranjang..." gumam Beatrice dalam hatinya, suara itu menggaung dengan getir, menusuk harga dirinya.

Beatrice menelan salivanya perlahan, berusaha mengontrol emosi yang menggulung di dadanya sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam ruangan dengan langkah hati-hati. Ia mengatur ekspresi wajahnya agar tetap tenang meski pikirannya masih terngiang ucapan Tyson sebelumnya.

“Ini kopi Anda, Nyonya,” ujar Beatrice dengan nada sopan, menyajikan kopi buatannya pada Mera.

Mera mengangguk kecil, mengambil cangkir kopi itu dengan anggun. Ia menghirup aroma kopi yang hangat dan segar, menikmati momen itu dengan senyum puas.

“Nona Beatrice, nanti malam apa aku bisa mengajakmu pergi sebentar setelah kamu selesai dengan pekerjaanmu?” tanya Mera tanpa memedulikan peringatan tegas Tyson tadi. Tatapannya begitu ramah, namun ada nada manipulatif yang terselip di balik senyumnya.

Beatrice, meski terkejut dengan permintaan tersebut, tetap mengangguk dengan sopan, memberikan senyum manis yang terlatih. “Tentu, Nyonya,” jawabnya pendek.

Tyson, yang sedari tadi diam di kursinya, memicingkan mata pada Beatrice, tatapannya tajam dan penuh ketidakpuasan.

Mera menghabiskan kopinya dengan tenang sebelum bangkit dari duduknya. “Kalau begitu, aku pamit dulu,” katanya dengan nada santai. Namun, sebelum pergi, Mera sengaja mendekati Beatrice sedikit lebih dekat, seolah memastikan bahwa kehadirannya memberikan kesan yang cukup dalam, sesuai permintaan Lowis.

Setelah Mera melangkah keluar dari ruangan, Beatrice dengan cekatan membereskan cangkir kopi Mera dan membawa paper bag hadiah yang sebelumnya diberikan padanya. Ia berusaha tetap terlihat profesional meski pikirannya bercampur aduk.

Sementara itu, Tyson menyandarkan tubuhnya di kursi, tatapannya dingin dan penuh ironi. Sebuah senyum getir terbit di wajahnya. “Dasar perempuan keras kepala,” gumamnya sinis, matanya mengikuti langkah Beatrice yang keluar ruangan.

Saat Beatrice menghilang di balik pintu, Tyson mengumpat kecil, tidak percaya bahwa Beatrice benar-benar mengiyakan permintaan Mera, meskipun ia sudah dengan jelas melarangnya. Perasaan kesal dan frustrasi memenuhi pikirannya, namun ia memilih diam, menyimpan rasa geram itu dalam hati.

***

Malam harinya, sekitar pukul 7 malam, Beatrice melangkah masuk ke dalam ruangan Tyson. Wajahnya tetap tenang meski ada sedikit kelelahan yang terlihat dari rautnya. Ia membawa clipboard di tangannya, memastikan semua laporan pekerjaannya tersusun rapi.

“Maaf, Tuan. Semua pekerjaan sudah saya selesaikan,” ujar Beatrice sopan, berdiri dengan posisi tegak di depan meja kerja Tyson. “Apa Anda masih memerlukan saya? Jika tidak ada urusan lagi, saya pamit undur diri.”

Tyson, yang sedang menulis sesuatu, mengangkat kepalanya perlahan. Bolpoin masih ada di tangannya, matanya tajam menatap Beatrice. Setelah hening sejenak, ia membuka suara dengan nada tegas.

“Mulai hari ini, jangan pulang sebelum aku selesai bekerja. Dan jangan pulang ke rumah sebelum mengantarku ke rumah lebih dulu,” ucapnya dingin, tanpa nada kompromi. Tyson kemudian menunjuk sofa di sudut ruangan dengan dagunya. “Kau bisa menungguku di sana.”

Mata Beatrice melebar sejenak mendengar perintah itu, tetapi ia segera menyembunyikan ekspresinya. Ia menelan salivanya perlahan, mengepalkan tangan erat-erat di sisi tubuhnya, mencoba menahan emosi yang mendidih dalam dirinya. Tatapannya berubah datar, namun ada bara kemarahan yang jelas tersirat di matanya.

Melihat Beatrice tetap berdiri di tempatnya tanpa bergerak, Tyson mengangkat kepalanya sekali lagi. “Kenapa? Kau tidak dengar ucapanku?” tanyanya dengan nada datar namun menusuk, tatapannya dingin seperti biasanya.

Beatrice menarik napas dalam-dalam, menahan air mata yang mulai terasa menggenang. Dengan perlahan, ia mengangguk kecil, kemudian berjalan menuju sofa yang ditunjukkan Tyson. Tubuhnya kaku, dan setiap langkahnya terasa berat. Ia duduk di sofa tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, matanya menatap lurus ke depan, menghindari tatapan Tyson.

Hatinya terasa seperti dihimpit beban berat. Ia menahan diri untuk tidak meledak di tempat itu, memilih untuk tetap diam dan menunggu hingga Tyson selesai dengan pekerjaannya, meskipun batinnya bergolak hebat.

Mungkin selang beberapa jam, karena saking fokusnya dengan pekerjaannya, Tyson mengangkat kepalanya hingga tatapannya menangkap Beatrice yang tertidur dengan posisi duduk di sofa.

Tyson langsung menutup berkasnya, menyambar jasnya dan menghampiri Beatrice.

Menutupkan jasnya pada bagian depan tubuh Beatrice lalu mengangkat tubuh ramping itu keluar dari ruangannya.

Dari lift keluar Zege, asisten sekaligus teman dekatnya.

“Bagaimana bisa Beatrice tertidur?” gumam Zege heran seraya membawa tas Beatrice.

Tyson hanya diam dan terus berjalan masuk ke dalam lift.

“Bagaimana urusan senjata?” tanya Tyson dingin dengan mempererat bopongannya pada Beatrice.

Zege mengangguk dengan santai, “Semua aman terkendali, hanya saja tadi ada kapal asing yang berada di pelabuhan, seperti baru datang hari ini. beberapa pengawal kuminta untuk tetap di sana dan memantau. Karena kapal itu bukan untuk parawisata atau turis, atau apapun itu, hanya kosongan. Takutnya beberapa dari mereka sedang menyelundupkan sesuatu.” Tyson mengangguk setuju seraya melangkah keluar dari lift dan menyusuri lobi.

Begitu sampai depan, terlihat Lowis bersandar di mobilnya, ia terlihat sedikit menyipitkan tatapannya kala Beatrice berada di bopongan Tyson dalam keadaan terlelap.

Zege langsung membukakan pintu untuk Tyson lalu menghampiri Lowis.

“Maaf tuan muda, nona Beatrice sepertinya kelelahan, anda bisa menemuinya besok atau lusa, jika perlu kata tuan untuk tidak menemuinya sama sekali,” kata Zege menyampaikan setiap kata yang Tyson katakan tadi.

Lowis mengetatkan rahangnya seraya menatap mobil Tyson yang perlahan menjauh pergi.

Lowis mengumpat dan bergumam, “Kau kira aku akan menyerah, sebelum aku bisa menghancurkanmu, aku tidak akan pernah menyerah dalam merebut mainanmu.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel