Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Hanya Milikku

Sudah beberapa hari ini, Creya mengurung diri di dalam kamar. Tirai jendela yang biasanya terbuka untuk membiarkan cahaya matahari masuk kini tertutup rapat, membuat ruangan terasa suram. Beberapa piring bekas makanan dibiarkan begitu saja di meja kecil di sudut ruangan, menunjukkan betapa acuhnya Creya terhadap sekelilingnya. Ia bahkan tidak menghadiri pemotretan yang dijadwalkan, sesuatu yang sangat tidak biasa bagi dirinya yang biasanya perfeksionis dalam pekerjaan.

Pikirannya terus-menerus berputar pada kejadian saat makan malam di kediaman keluarga Lynch. Wajahnya memerah karena kesal saat mengingat Beatrice yang dengan mudah merebut perhatian Tyson, membuat segala rencananya untuk meminta maaf hancur berantakan.

"Semua ini gara-gara Beatrice! Kalau saja dia tidak ada di sana, aku pasti bisa meminta maaf pada Tyson, dan semuanya akan selesai," gumam Creya kesal sambil memeluk bantal erat-erat. "Kalau seperti ini, bagaimana aku bisa mendapatkan Tyson kembali?" keluhnya, frustrasi.

Tiba-tiba, suara pintu yang terbuka dengan kasar memecahkan keheningan ruangan. Creya terlonjak kaget, matanya membelalak melihat Gever berdiri di ambang pintu. Wajahnya terlihat muram, dan matanya yang memerah menunjukkan jelas bahwa ia sedang dalam kondisi sangat marah.

"Creya!" suara Gever menggelegar memenuhi ruangan, membuat Creya mundur selangkah dengan gugup.

Gever menatapnya dengan pandangan tajam, napasnya memburu seperti menahan amarah yang siap meledak. "Berhenti menyalahkan orang lain atas kegagalanmu sendiri! Kau pikir dengan mengurung diri seperti ini akan menyelesaikan segalanya? Bangun! Hadapi kenyataan!" ujar Gever dengan nada penuh penekanan.

Creya terdiam, kedua tangannya mencengkeram ujung bantal yang ia peluk, merasa terpukul namun tidak tahu harus berkata apa. "Aku juga sedang berusaha untuk membangkitkan diriku sendiri pa, aku sedang merencanakan sesuatu untuk membalas Beatrice," gumamnya pelan, namun Gever hanya mendekat dengan langkah tegas, tatapannya tidak melunak sedikit pun.

"Justru itu. Aku tahu kau terobsesi dengan Tyson. Aku tahu kau merasa Beatrice adalah penghalang. Tapi tahu apa? Itu bukan cara untuk menyelesaikan masalah. Bangun dan lakukan sesuatu yang berarti, atau kau akan kehilangan segalanya, termasuk harga dirimu sendiri!" ujar Gever tajam, meninggalkan Creya terdiam dengan kalimatnya yang menusuk.

“Tapi, Pa! Aku sudah berusaha keras dan mati-matian untuk mendekati Tyson. Dia itu sangat sulit didekati, kecuali kalau Beatrice yang melakukannya!” bentak Creya, suaranya bergetar antara kesal dan frustrasi. Matanya memerah, menahan tangis yang hampir meledak. Ia merasa segala usahanya sia-sia.

Gever mendengus pelan, lalu membuang napas panjang dengan kesal. Tanpa banyak bicara, ia berjalan menuju jendela kamar dan menarik gorden tinggi besar dengan kasar, membiarkan cahaya matahari pagi yang terang menyusup ke dalam ruangan. Sinar matahari yang tajam langsung mengenai wajah Creya, membuatnya memalingkan muka sambil menutupi matanya dengan tangan.

“Lihat dirimu, Creya,” kata Gever dengan nada tegas, menatap putrinya yang kini duduk merapat di ujung ranjang. “Kamu itu cantik, berbakat, dan memiliki karier yang sukses. Kamu adalah putriku, darah dagingku. Kamu punya uang, kuasa, dan segalanya. Bagaimana bisa kamu membandingkan dirimu dengan Beatrice?” Suaranya penuh tekanan, menyiratkan rasa kecewa sekaligus keinginan untuk menyadarkan Creya.

“Dia itu apa? Tidak ada apa-apanya dibandingkan kamu! Beatrice hanyalah mainan Tyson, itu saja. Kalau kamu lebih dominan, lebih percaya diri, maka kamu akan menang. Kamu harus tahu cara memainkan permainan ini, Creya,” lanjut Gever, mencoba menyuntikkan semangat ke dalam jiwa putrinya yang sedang terpuruk.

Creya terdiam, menatap ayahnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Ada campuran rasa terluka dan keraguan dalam dirinya. Namun, sebagian dari kata-kata Gever mulai menyentuh logikanya. Ia tahu ayahnya benar—ia memiliki segalanya untuk mengalahkan Beatrice, tetapi keyakinannya sendiri yang terus meruntuhkan kepercayaan dirinya.

Gever melipat tangannya di depan dada, berdiri tegap di tengah kamar yang kini dipenuhi cahaya matahari. Suaranya rendah namun tegas, mencerminkan sosok pria berpengalaman yang tahu bagaimana cara bermain dalam permainan kehidupan.

"Jika kamu tidak bisa merebut Tyson untuk saat ini, singkirkan dulu Beatrice," kata Gever, matanya menatap tajam ke arah Creya. Setiap katanya diucapkan dengan penuh perhitungan, seolah-olah ia sedang memberikan arahan dalam strategi perang. "Dengan kamu menyingkirkan Beatrice, kamu akan memiliki peluang lebih besar untuk bersama Tyson. Isi kekosongan Tyson dengan kehadiranmu, dan saat itu dia tidak akan punya pilihan selain memilih kamu."

Creya terdiam, duduk mematung di tepi ranjangnya. Matanya perlahan mengalihkan pandangan dari ayahnya ke lantai, pikirannya mulai mencerna maksud dari kata-kata tersebut. Awalnya, ia merasa sedikit ragu, tetapi semakin lama, kata-kata itu terdengar masuk akal. Wajahnya yang sebelumnya terlihat frustrasi dan penuh kemarahan kini berubah. Ada cahaya baru dalam matanya, tanda bahwa ia mulai memahami arah dari ucapan Gever.

“Jadi, aku harus…” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.

“Iya,” potong Gever cepat, melihat perubahan di wajah putrinya. “Fokus pada rencana ini. Kalau Beatrice tidak ada, Tyson tidak akan punya alasan untuk menolakmu. Jangan biarkan dirimu kalah sebelum bertarung, Creya. Ingat, kamu ini lebih dari cukup untuk mendapatkan apa yang kamu mau.”

Creya mengangkat wajahnya, menatap ayahnya dengan pandangan yang perlahan dipenuhi determinasi. Bibirnya yang semula mengatup rapat akhirnya tersenyum tipis. Ia kini mengerti bahwa untuk mencapai tujuannya, ia harus mengambil langkah berani, tidak peduli seberapa besar risikonya.

***

Beatrice menggeliat perlahan di atas ranjang, tubuhnya terasa berat namun nyaman. Cahaya matahari pagi menembus tirai, memantulkan kehangatan lembut ke wajahnya. Ia membuka matanya, berkedip beberapa kali hingga pandangannya perlahan menjadi jelas. Yang pertama kali tertangkap oleh matanya adalah sosok yang memukau—Tyson, dengan bertelanjang dada, duduk santai di sofa dekat jendela.

Perutnya yang berotot dan dihiasi six-pack terlihat sempurna, seakan terpahat oleh tangan dewa. Kulitnya bersinar lembut ketika disinari sinar matahari yang menembus kaca, memberikan efek dramatis yang membuat sosoknya terlihat seperti patung hidup. Rambutnya basah, meneteskan butir-butir air yang jatuh perlahan melewati garis rahangnya yang tegas. Setiap gerakannya terlihat santai, namun penuh kekuatan tersembunyi. Kalung putih dengan liontin berbentuk bulan sabit menggantung di lehernya, menciptakan kontras dengan kulitnya yang hangat. Kalung itu seperti simbol, mencerminkan aura dingin, kejam, namun misterius yang selalu melekat pada Tyson.

Beatrice merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, dan tanpa sadar ia menelan ludah. Pemandangan ini bukan hal baru baginya—ia sudah sering melihat Tyson bertelanjang dada—namun entah kenapa pagi ini terasa berbeda. Kesempurnaan itu seolah terlalu mempesona untuk diabaikan. Ia merasa seperti terperangkap dalam pesona Tyson yang hampir tak manusiawi.

Matanya terus menatap Tyson tanpa bisa berpaling. Setiap detail dari pria itu, dari tubuhnya yang berotot, rambut basah, hingga tatapannya yang dingin, membuat Beatrice terpesona hingga sulit bernapas. Ia mencoba merasionalisasi pikirannya, namun hatinya menolak. Dalam hati kecilnya, ia tahu—Tyson bukan hanya tampan, tetapi juga bahaya yang memikat.

Tyson menoleh tiba-tiba, membuat Beatrice terkejut. Ia menahan napas sejenak, merasa gugup hingga tak sadar sedikit gelagapan. “Kamu sudah bangun?” suara Tyson terdengar datar, dingin seperti biasa, tanpa emosi yang bisa ditebak. Ia bangkit dari sofa dengan gerakan anggun dan mendekati ranjang.

Beatrice buru-buru mengangguk, mencoba menyembunyikan kegugupannya. Ia langsung bangun, duduk tegap untuk menghilangkan rasa canggung yang mulai menguasainya. Namun, kehadiran Tyson yang semakin dekat malah membuatnya semakin sulit mengendalikan diri. Tyson duduk di tepi ranjang, hanya beberapa inci darinya. Udara di antara mereka terasa berat, dan Beatrice sengaja menghindari kontak mata dengan pria itu, takut apa yang terlihat di matanya akan mengkhianati perasaannya.

“Kenapa Anda tidak membangunkan saya kemarin malam? Bagaimana dengan Nyonya Mera?” tanya Beatrice dengan nada cemas, mencoba memecah keheningan yang mulai terasa menekan. Ia bahkan tidak tahu apakah pertanyaannya terdengar masuk akal—satu-satunya yang ia pikirkan hanyalah bagaimana mengalihkan fokus dari tatapan Tyson yang terasa terlalu tajam.

Tyson memiringkan kepala sedikit, mengamati Beatrice dengan tatapan lekat, seperti sedang membaca pikirannya. “Kau tidak perlu memedulikan mereka,” katanya singkat namun tegas. “Kau hanya perlu mendengarkan perintahku.”

Kata-kata itu membuat Beatrice menatap Tyson, meski hanya sekilas. Namun tatapan itu saling bertemu, dan waktu seolah berhenti. Ada sesuatu yang berbeda dalam atmosfer saat ini. Mata Tyson tetap dingin dan penuh kendali, tetapi di sana ada sesuatu yang lain, sesuatu yang hampir tak terlihat. Sementara itu, Beatrice merasa jantungnya berdebar keras, dan ia tidak mengerti kenapa dirinya begitu canggung pagi ini—ini bukan dirinya yang biasanya.

Biasanya, ia bisa menjaga ketenangan di hadapan Tyson, tetapi kali ini semuanya terasa berbeda. Mungkin karena tatapan pria itu, atau mungkin karena caranya berbicara yang begitu mendominasi. Beatrice tidak yakin, tetapi satu hal yang pasti—ia merasa dirinya tidak pernah selemah ini di hadapan Tyson.

Tyson meraih tengkuk Beatrice hingga wajah mereka saling berdekatan satu sama lain.

“Kutegaskan sekali lagi, kamu hanya milikku! Milikku seorang! Tak boleh seorangpun memilikimu, termasuk Lowis atau siapapun,” tegas Tyson dengan penuh penekanan di setiap ucapannya.

Beatrice menelan salivanya, tatapannya malah terfokus dan terpusat pada mata elang Tyson yang terlihat sangat indah sekali.

“Maksud anda mainan ranjang?” tanya Beatrice membuat Tyson memicingkan matanya dengan sinis.

Cengkraman di tengkuk Beatrice terasa amat erat saat ini.

“Mainan ranjang atau hanya teman tidur, apa masalahnya, hidupmu di atas kendaliku. Semua kehidupanmu, adalah milikku!” tekan Tyson di akhir kalimatnya sebelum ia melepas cengkramannya.

Tyson langsung beranjak dari tepi ranjang dan menyambar kaos putih oblong di atas sofa.

“Jangan lupakan pilmu!” peringati Tyson sebelum ia beranjak pergi dari kamar.

Beatrice terdiam, termangu di ranjang, pikirannya seolah berhenti berpikir saat ini.

Kenapa semua ucapan Tyson bak hipnotis baginya? Kenapa ia sulit dalam melawan Tyson?

Hingga Beatrice merasakan ada sesuatu yang berbeda dengannya, cara ia memandang Tyson bukan lagi sebagai seorang atasan yang ia takuti, melainkan sebagai seorang pria yang ia kagumi.

Beatrice mengusap cepat air matanya, memungut semua bajunya dan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya.

Di bawah guyuran shower ia mengusap seluruh tubuhnya dengan rasa malu dan jijik, namun di satu sisi, ia tidak bisa mengelak, kala ia selalu menerima dengan lapang dada sentuhan dari Tyson.

Kenapa aku harus mengenalnya disaat aku bisa mengenal pria lain yang lebih baik darinya batin Beatrice dalam hati sembari mengusap rambutnya.

Beatrice bergegas mandi untuk segera pergi dari sana. Hari ini jadwalnya ia menjenguk ibunya di rumah sakit.

Begitu Beatrice turun, aroma masakan yang begitu lezat sungguh menggoda perut dan menyeruak ke dalam hidungnya.

Itu sungguh menggoda selera makannya saat ini.

Terlihat Tyson mengenakan apron sibuk dengan alat masaknya, seharusnya Beatrice yang ada di sana, tumben sekali Tyson masuk ke dapur untuk masak.

“Maaf tuan, hari ini saya izin terlambat masuk, kemungkinan pukul 1 siang waktu makan siang saya baru bisa kembali ke kantor, hari ini jadwalnya saya menjenguk ibu di rumah sakit,” jelas Beatrice yang mana ia memberitahukan akan alasannya dengan lugas.

Tyson hanya diam dan menyajikan semua masakannya di atas piring yang sudah ia tata rapi dan ia susun dengan perfect di atas meja.

“Duduk!” perintahnya singkat dan padat.

Beatrice menelan salivanya dan langsung duduk. Tyson melepas apronnya dan duduk berhadapan dengan Beatrice, ia bahkan mengambilkan nasi begitu banyak untuk Beatrice.

“Terima kasih,” ucap Beatrice begitu ia menerim piringnya.

Beatrice mulai menyuapkan suapan pertamanya, sungguh lezat dan terasa begitu kuat cita rasanya.

Tyson terlihat begitu lahap, tidak ada tatapan atau percakapan yang terbuka untuk menghilangkan keheningan dan kecanggungan saat ini.

Beatrice menelan kunyahannya dan menatap Tyson, dengan ragu ia berbicara, “Apa boleh saya minta cuti dua hari?” Tyson masih diam, berusaha menyelesaikan makanannya.

Begitu selesai, ia mengusap mulutnya dengan tisu dan menatap Beatrice yang menunggu jawabannya.

“Lalu siapa yang akan menggantikanmu? Zege sedang sibuk dengan urusan lain, aku tidak mau orang lain mengurusku!” Beatrice menelan salivanya kenapa ucapan di akhir Tyson tadi membuat jantung Beatrice menggila.

Sadarlah Beatrice, kau hanya mainannya, apa yang kau harapkan darinya, batin Beatrice dalam hati.

Tiba tiba Beatrice tersentak kaget kala kedua kakinya dihimpit kedua kaki Tyson di bawah sana.

“Aku benci dibohongi dan dikhianati, kuingatkan untuk kamu tidak melakukan salah satu atau keduanya, jadi laporkan apapun yang kamu lakukan padaku, mungkin aku bisa membantu atau memahamimu, kamu mengerti?” Beatrice terpaku dengan tatapan Tyson, hanya diam dan tak menjawab apapun.

Beatrice hanya bisa mengangguk dan menarik kedua kakinya dengan sedikit gelagapan.

Tyson lalu beranjak dari meja makan dan naik ke lantai atas meninggalkan Beatrice seorang diri dengan kebingungannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel