Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tempat Judi

Beatrice melangkah cepat menuju rumah sakit dengan perasaan yang sedikit gelisah. Ia datang untuk menjenguk ibunya, tetapi firasat buruk tiba-tiba menyelimutinya. Baru saja ia memasuki lorong rumah sakit, seorang pria berlari ke arahnya dengan napas tersengal.

"Beatrice, akhirnya kamu datang!" seru pria itu dengan nada lega, meski wajahnya menunjukkan ekspresi tegang.

Beatrice mengerutkan kening, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Ada apa, Paman?" tanyanya penuh kebingungan. Ia mencoba menerka, apakah ini ada hubungannya dengan kondisi ibunya?

Sam, pamannya, menelan ludah sebelum berbicara. "Barusan ayahmu datang," ucapnya, nada suaranya berat dan dipenuhi kekecewaan. "Dia mengambil semua uang yang kamu berikan untuk biaya rumah sakit ibumu."

Mata Beatrice melebar seketika. "Apa?" suaranya bergetar, tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

"Aku sudah berusaha mengambilnya kembali, tapi ayahmu malah memanggil teman-temannya dan… memukuliku demi mendapatkan uang itu," lanjut Sam, suaranya melemah.

Beatrice tercekat. Tatapannya perlahan turun ke wajah pamannya yang kini babak belur. Ada lebam di pelipisnya, sudut bibirnya pecah, dan luka kecil di dahinya. Hatinya mencelos melihat kondisi Sam yang begitu mengenaskan.

Tangan Beatrice mengepal erat. Amarah dan kesedihan bercampur jadi satu dalam dadanya. Bagaimana bisa ayahnya setega ini? Mengambil uang yang seharusnya digunakan untuk pengobatan ibu mereka, lalu menyakiti satu-satunya orang yang masih peduli pada mereka?

Dengan rahang mengatup, Beatrice menarik napas dalam. Kali ini, ia tidak akan diam saja.

Beatrice menatap pamannya dengan rahang mengatup erat. Matanya penuh amarah yang ia tahan dengan sekuat tenaga. "Di mana ayah sekarang?" tanyanya, suaranya datar namun menyimpan kemarahan yang siap meledak kapan saja.

Sam menelan ludah, ragu sejenak sebelum menjawab, "Tentu di tempat judi biasanya… Memang apa yang ingin kamu lakukan?" Nada suaranya dipenuhi kecemasan. Ia tahu betul bagaimana temperamen Beatrice, dan ia tidak suka arah pembicaraan ini.

Tanpa menjawab, Beatrice merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kartu. Ia menyerahkannya pada Sam dengan wajah tegas. "Ini tabungan terakhirku. Tolong, gunakan ini dulu untuk biaya pengobatan ibu. Jika kurang, beri tahu aku. Aku akan menutup sisanya setelah gajian."

Sam tertegun, merasa semakin bersalah dan tak berdaya. Ia ingin menolak, tapi tahu ini satu-satunya cara agar adiknya bisa tetap mendapatkan perawatan.

Sebelum Sam bisa mengatakan apa pun, Beatrice sudah melenggang pergi begitu saja, tanpa sedikit pun memberi tahu ke mana tujuannya.

"Beatrice! Mau ke mana kamu?!" seru Sam, namun hanya keheningan yang menjawab.

Sam mengacak rambutnya frustrasi, kalang kabut antara ingin mengejar keponakannya atau tetap di rumah sakit untuk mengurus adiknya. Tapi pada akhirnya, ia tak punya pilihan. Dengan desahan kesal, ia menatap kartu di tangannya dan melangkah menuju bagian administrasi.

Sambil berjalan, hatinya dipenuhi kegelisahan. "Beatrice… jangan lakukan sesuatu yang bodoh…" gumamnya lirih. Namun saat ini, ia tidak bisa melakukan apa pun selain berharap Beatrice baik-baik saja.

***

Beatrice turun dari mobilnya, ia telah sampai di tempat perjudian ayahnya yang biasa dikunjungi untuk bermain.

Tempat ini bukan seperti kasino megah yang terlihat terang benderang, melainkan lebih seperti ruang gelap yang tersembunyi di lorong-lorong sempit, jauh dari jangkauan aparat atau orang yang tidak tahu. Pintu masuknya bahkan terlihat seperti gudang tua yang tak terpakai, dengan papan kecil yang hampir tak terbaca, seakan berusaha menjaga kerahasiaannya.

Beatrice menguncir rambutnya, tak membawa apapun selain ponselnya dalam saku celana, ia langsung masuk ke dalam melewati pintu kayu besar yang berderit, hanya untuk disambut oleh ruang yang dipenuhi asap rokok dan suara berisik dari mesin judi serta percakapan yang terpotong-potong. Di dalamnya, cahaya remang-remang dari lampu neon yang redup menerangi ruang besar yang dipenuhi meja-meja permainan—poker, blackjack, dan roulette—seperti labirin. Suara koin yang jatuh, kartu yang dibagikan, dan suara mesin slot yang berbunyi tak henti-hentinya memberikan irama tersendiri.

Beatrice meneliti setiap meja, mencari sosok ayahnya. Ruangan yang Beatrice kira kecil dan sempit, ternyata seluas dan sepadat ini. bahkan ada beberapa wanita muda seusianya bermain kartu dengan begitu tenang dan santainya kala dikelilingi pria-pria dewasa tersebut.

Beatrice menaiki tangga dengan langkah cepat, nyaris berlari. Napasnya memburu, dadanya dipenuhi amarah yang siap meledak kapan saja. Saat mencapai lantai dua, matanya langsung menangkap sosok ayahnya yang tengah duduk di meja besar, dikelilingi oleh pria-pria lain yang tampak serius dalam permainan mereka. Asap rokok melayang-layang di udara, menciptakan atmosfer sesak yang semakin memperburuk suasana hatinya.

Tanpa ragu, Beatrice menerobos kerumunan dan langsung menghampiri pria itu. "Ayah!" serunya lantang, suaranya menggema di ruangan.

Dense, pria yang dipanggilnya ayah, menoleh dengan ekspresi jengkel. Ia mendesah panjang, seolah kehadiran putrinya adalah gangguan yang tidak diinginkan. Namun, alih-alih merespons, ia hanya kembali fokus pada kartu-kartu di tangannya, seakan-akan Beatrice tak lebih dari sekadar bayangan.

Tak bisa menahan diri lagi, Beatrice langsung menyambar kartu yang ada di tangan ayahnya dan melemparkannya ke lantai. Suasana seketika menjadi tegang. Para penjudi lain terdiam, menatap kejadian itu dengan ketertarikan tersendiri.

"Mana uangku?" tuntut Beatrice, suaranya bergetar karena kemarahan yang ia tahan.

Dense melengos, wajahnya menegang dengan amarah yang jelas terlihat. Matanya menatap Beatrice tajam, seakan gadis itu baru saja melakukan penghinaan besar di hadapan semua orang. Rahangnya mengatup erat, dan napasnya memburu menahan gejolak emosi.

Beatrice tidak peduli. Ia tidak akan membiarkan ayahnya menghindar kali ini.

“Yaaa Dense, kau berjudi dengan uang putrimu?” tanya salah satu pria di sana.

Dense hanya melemparkan tatapan tajamnya lalu beranjak dari kursi.

“Hei Dense, jangan tinggalkan mejamu, hutangmu masih banyak, kembali duduk sebelum kepalamu kupenggal,” ancam salah satu pria bertato yang tengah menghisap rokoknya tersebut.

Beatrice mengernyitkan keningnya, “Hutang? Berapa?” tanya Beatrice dengan galak.

Pria bertato itu melihat Beatrice dari atas hingga bawah, “Sangat banyak, bahkan kamu tidak akan mampu membayarnya. Bagaimana jika kamu serahkan putrimu semalam ini denganku, aku bisa mengurangi hutangmu, bahkan aku bisa meminjamkan uang lagi padamu.” Tanya pria itu pada Dense.

Dense menatap Beatrice, Beatrice menggelengkan kepalanya dan berkata, “Tidak, ayah tidak mungkin melakukannya kan. Ayo kita pulang dari sini. Ibu membutuhkanmu.” Kata Beatrice seraya menarik tangan Dense untuk segera pergi dari sana.

Dense menarik kuat tangan Beatrice hingga terhuyung, “Ibumu sudah sekarat, apa yang bisa diharapkan darinya. Kau juga pasti sudah lelah kan bekerja siang hingga malam hanya untuk pengobatannya. Ayah lihat kamu juga belum memiliki kekasih, tidurlah dengan tuan Sole, dia sangat kaya raya, jika perlu kau bisa menjadi istrinya, bagaimana?” tawari Dense membuat Beatrice terperangah tak percaya kala ayahnya akan berkata seperti itu.

Beatrice menatap Sole, tato di tangannya, tubuh yang kekar, tinggi rapi dengan rambut legam, itu sungguh penampilan yang menjijikkan, Beatrice tidak ingin bersamanya, lebih baik ia memilih menjadi mainan Tyson daripada diperistri olehnya.

“Tidak, Beatrice tidak mau. Akan Beatrice bayar hutang ayah namun bukan begini caranya,” kata Beatrice seraya menarik tangannya dan hendak pergi.

Namun beberapa pengawal langsung menghadang Beatrice dan menggiringnya untuk kembali ke meja besar itu.

“Bukankah dulu ayah sudah pernah bilang, jangan pernah masuk ke dalam tempat seperti ini, itu akan merugikanmu, kini kamu sudah masuk di sini, jangan salahkan ayah jika kamu harus bersama tuan Sole,” kata Dense seraya menarik tangan Beatrice untuk diberikan pada Sole.

Brugh

Beatrice terduduk di atas pangkuan Sole, “Wahh tubuhmu sungguh indah sekali sayang, kuyakin kamu pasti hebat di ranjang. Bagaimana, kita lakukan sekarang?” tanya Sole seraya membelai pipi Beatrice.

Beatrice langsung meraih botol di sampingnya dan memukulkannya pada kepala Sole.

Dengan cepat Beatrice beranjak dari pangkuan Sole dan menodongkan pecahan botol itu pada siapapun yang mendekatinya.

“Beatrice apa yang kamu lakukan?” marah Dense yang mana Ia takut Sole akan menghabisinya setelah ini.

Sole menggelengkan kepalanya berusaha beranjak dari sofa dan mendekati Beatrice.

“Dense, aku sangat suka tipe perempuan berani dan liar seperti ini, ini sungguh memancing andrenalinku,” kata Sole mendekat membuat Beatrice memicingkan matanya tajam.

“Jangan mendekat!” teriak Beatrice kala dirinya tersudut membuat Sole tersenyum miring.

Dengan cekatan dan cepat Sole merebut pecahan kaca itu meski tangannya harus terluka demi bisa mendapatkan Beatrice, lalu melemparkan pecahan kaca itu ke sembarang arah.

“Aku sungguh tidak sabar untuk menikmati tubuhmu,” kata Sole dengan bahagianya kala membayangkan mendapatkan Beatrice.

Beatrice menggigit tangan Sole untuk bisa kabur, namun ia malah mendapatkan tamparan keras dari Sole.

“Jika kau terus melawan, aku hanya akan menghajarmu hingga pingsan, dengan begitu aku bisa dengan leluasa untuk menjamah tubuhmu,” kata Sole dengan tawa kerasnya.

Dengan kasar ia menarik tangan Beatrice untuk bangun dan menyeretnya menuju kamar.

“LEPASKAN TANGANMU!” teriak Tyson membuat seluruh kepala menoleh termasuk Beatrice.

“Tyson?” gumam Beatrice tak percaya kala Tyson dapat menemukan tempat seperti ini.

Sole langsung menyembunyikan Beatrice di belakang punggungnya dan melayangkan tatapan tajamnya pada Tyson.

“Jangan suka mengambil barang milik orang lain, jika kau seorang penikmat wanita juga, cari wanita lain, wanita ini milikku!” tekan Sole di akhir kalimatnya.

Seketika kata-kata "Beatrice milikku" keluar dari mulut Sole, Tyson tanpa berpikir dua kali langsung mengayunkan kakinya keras ke perut pria itu. "Ugh!" Sole terjerembab ke lantai, meringis kesakitan. Namun, Tyson tidak berhenti di situ. Matanya yang penuh kemarahan menyala liar, dan tanpa ragu, ia langsung menerjang Sole, menghujani wajahnya dengan pukulan bertubi-tubi.

Bugh! Bugh! Bugh!

Darah mulai mengalir dari hidung dan mulut Sole, tapi Tyson tidak peduli. Setiap pukulan yang ia layangkan penuh dengan kemarahan yang meledak-ledak, seakan ingin memastikan bahwa Sole benar-benar tidak akan berani menyebut nama Beatrice lagi.

Ruangan itu menjadi sunyi. Tak seorang pun berani bergerak, apalagi menghentikan Tyson. Semua hanya bisa berdiri kaku, ketakutan menyaksikan kebrutalan pria itu. Beatrice pun tak terkecuali. Tubuhnya membeku di tempat, tangannya gemetar. Matanya menatap Tyson dengan keterkejutan sekaligus ketakutan.

Sole kini tergeletak tak sadarkan diri di lantai, wajahnya babak belur, nyaris tak bisa dikenali. Tyson mengatur napasnya yang memburu, lalu melirik ke arah Beatrice. Mata mereka bertemu, dan Beatrice bisa merasakan dinginnya tatapan pria itu—tajam, penuh kendali, namun tetap menuntut kepatuhan.

Tanpa berkata apa-apa, Tyson melepas jasnya dan menyampirkannya ke bahu Beatrice. Sentuhannya begitu tiba-tiba, membuat gadis itu tersentak kecil, tapi ia terlalu takut untuk menolak.

Lalu, tanpa banyak bicara, Tyson membungkuk, mengangkat tubuh ramping Beatrice ke dalam gendongannya dengan mudah, seakan beratnya bukan masalah baginya. “Bawa dia ke markas, beserta yang lain,” perintahnya dingin kepada Zege sebelum melangkah pergi dari sana.

Tak ada yang berani membantah. Tyson telah membuat pernyataan yang jelas—Beatrice adalah miliknya, dan siapa pun yang mencoba mengambilnya akan menanggung akibatnya.

***

Setibanya di mansion, Tyson langsung membawa Beatrice ke kamarnya, mendudukkannya di tepi ranjang.

Terlihat dokter pribadinya sudah menunggu, paman Williem.

Tanpa berkata apapun, Williem langsung memeriksa Beatrice mengobati luka di tangannya.

Sedangkan Tyson berdiri di sampingnya, memperhatikan dengan seksama dan penuh kecermatan.

Tidak ada percakapan apapun selain Williem yang menanyakan keadaan yang dirasakan Beatrice sendiri.

Williem langsung mengemas tasnya dan menghadap Tyson, “Nona Beatrice baik-baik saja, dia hanya terkejut. Tolong ganti perbannya dua kali dalam sehari sertakan pereda nyerinya juga.” Tyson hanya mengangguk lalu mengantar ke depan pamannya.

Begitu kembali Tyson tidak menemukan keberadaan Beatrice di ranjang, terdengar suara gemericik air di kamar mandi membuat Tyson mengetatkan giginya dan bergegas menghampirinya.

Brak

Beatrice terjengkit kaget dengan tangan yang menutup rapat bajunya yang hampir terbuka.

“Tu-tuan, ada perlu apa?” tanya Beatrice gugup dan panik.

Tyson langsung masuk dan mendorong pelan Beatrice ke dinding dengan tangan yang berada di kepala belakang Beatrice, melumat lembut bibir tipis itu.

Beatrice hanya diam dan membalas, ciuman Tyson selalu memabukkan, sulit untuk diabaikan.

Tyson menarik dirinya dan menatap mata Beatrice, “Kubantu untuk mandi.” Katanya hendak membantu membuka kancing baju Beatrice, namun Beatrice menahan dada bidang Tyson.

“Saya akan mandi sendiri,” tolaknya membuat Tyson menautkan alisnya tanda marah.

“Mandi sendiri? Tidak lihat bagaimana tanganmu sekarang? Paman Williem berpesan untuk tidak basah lebih dulu, jangan membantah, aku sudah pernah melihat semua tubuhmu, apa yang perlu dimalukan,” kata Tyson yang mana ia kembali melumat bibir Beatrice dengan tangan yang mulai melepas kancing baju Beatrice.

Ciuman yang semula hanya berawal di bibir kini mulai merambah ke leher hingga turun ke bawah. Hampir setiap jengkal dari tubuh Beatrice kini terjamah oleh bibir seksi Tyson.

Perlahan Tyson mengangkat tubuh Beatrice dan memasukkannya ke dalam bath up dengan tangan kanan yang diletakkan di tepi bath up agar tidak basah.

Beatrice sungguh malu saat ini, dirinya polos di hadapan Tyson, belum lagi Tyson memandikannya, ini sungguh canggung dan memalukan.

Namun mau bagaimana lagi, Tyson tidak bisa dibantah, ia selalu keras kepala dan sulit dikendalikan.

Tyson begitu fokus menggosok tubuh Beatrice dengan lembut, keheningan yang ada sungguh membuat kecanggungan di antara mereka.

“Shit, aku tidak bisa menahan lagi,” umpatnya yang langsung meraih tengkuk Beatrice dan memangutnya lembut.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel